PERS telah menghukum H.R. Dharsono? Pertanyaan ini muncul setelah Dewan Kehormatan PWI dua pekan lalu mengimbau para wartawan dan penerbitan pers agar lebih mengendalikan diri dalam pemberitaan yang menyangkut asas praduga tak bersalah, khususnya mcngenai penahanan beberapa tokoh. Pemberitaan mengenai penahanan beberapa tokoh, antara lain Letjen (pur.) H.R. Dharsono, bekas pangdam VI/Siliwangi dan juga bekas sekjen ASEAN, bersumbcr dari Kejaksaan Agung. Dalam suatu jumpa pers yang dihadiri Jaksa Agung Muda Bidang Inteligen Nugroho dan kepala Humas Keiaksaan Aun A.A.G. Nurah, 19 November lalu, penahanan Dharsono sertalatar belakangnya diungkapkan. Dengan serta-merta media massa memberitakannya. Harian sore Sinar Harapan sore itu juga memuatnya sebagai berita utama, dengan kepala berita besar: H.R. Dharsono Ditahan, dengan sebaris keterangan di atasnya. Dituduh Melakukan Tindak Pidana Subversi. Esoknya semua harian pagi Jakarta memuat berita yang sama. Suara Karya memilihnya menjadi berita utama dengan kepala berita H.R. Dharsono Ditahan. Tapi Kompas, koran terbesar di Indonesia denan oplah lebih dari 400 ribu, tampaknya lebih berhati-hati. Dengan kepala berita yang kecil, tidak mencolok Peristia Tanjung Priok Desember ke Pengadilan. Di bawahnya, dengan huruf yang lebih kecil: H.R. Dharsono Ditahan. Yang menarik, ternyata isi berita berbeda. Sinar Harapan dan Kompas cuma melaporkan penahanan Dharsono, dengan tuduhan melakukan tindak pidana subversi karena menghadiri rapat gelap yang diadakan di rumah A.M. Fatwa. Sumber nama pejabat yang dikutip: A.A.G. Ngurah. Suara Karya mengutip keteranganJaksa Agung Muda Bidang Inteligen Nugroho, tidak cuma memberitakan penahanan Dharsono. Dilaporkannya juga bahwa bekas gubernur Jakarta Ali Sadikin hanya dimintai keterangan dan tidak pernah ditahan. Penyanyi Rhoma Irama "pernah ditahan beberapa hari", tapi sudah dilepas karena tidak ada tanda-tanda terlibat peristiwa Tanjung Priok atau pengeboman BCA. Ketua Dewan Kehormatan PWI Rosihan Anwar menilai, pemberitaan pers mengenai penahanan Dharsono telah melanggar etik jurnalistik, khususnya menyangkut asas praduga tak bersalah. "Pemberitaan itu seolah-olah telah menyatakan yang bersangkutan telah bersalah," ujarnya. Namun, ditambahkannya, hal ini "bukan seluruhnya kesalahan wartawan", karena mereka menyiarkannya berdasarkan keterangan sumber berita. Apakah itu berarti Kejaksaan Agung yang bersalah? Rosihan Anwar secara tidak langsung menjawab, "Kode etik jurnalistik seharusnya bukan hanya dimengerti kalangan wartawan, tapi Juga masyarakat, karena menyangkut juga kepentingan masyarakat." Menurut dia, untuk menulis berita yang seimbang, keterangan resmi Kejaksaan Agung itu seyogyanya udak dimuat sebagai berita utama dengan huruf-huruf besar. "Cukup ditulis di suatu sudut saja dan tidak mencolok", katanya. Redaksi seyogyanya kemudian juga menulis suatu tajuk rencana yang mengupas berita itu, dengan inti imbauan terhadap situasi politik dewasa ini. PendaDat yang serupa dikemukakan Suardi Tasrif, pengacara terkemuka yang menjabat wakil ketua Dewan Kehormatan PWI. "Yang berhak menyatakan seseorang bersalah hanya keputusan pengadilan," katanya. Pemberitaan media mengenai beberapa tokoh, "Bukan kesalahan wartawan seratus persen," ujarnya. Menuru dia, yang melangar asas pradua tak bersalah ini, sebetulnya, "pejabat yang memberi keterangan". Tapi bukankah pihak kejaksaan, sesuai dengan tugasnya, dapat saja menuduh? Barangkali itu sebabnya pemimpin redaksi Suara Karya, Sjamsul Basri, menganggap penjelasan Kejaksaan Agung mengenai penahanan beberapa tokoh itu tak melanggar asas praduga tak bersalah, karena masih diberi keterangan "didakwa". "Jadi, telah memenuhi asas itu," katanya. Koran yang dipimpinnya, katanya, selalu memperhatikan asas tersebut. Perihal korannya, yang ternyata pemberitaannya lain dengan koran-koran lain, katanya karena "ada kekhilafan". Karena ada tugas lain, wartawan SK terpaksil meninggalkan tempat jumpa pers di Kejaksaan Agung itu, sebelum acara selesai, schingga tidak mendengar "imbauan" tentang cara pemuatan berita tersebut. "Kami sudah minta maaf," ujar Sjamsul Basri. Adapun kepala Humas Kejaksaan Agung yang dihubungi TEMPO tak bersedia memberi komentar tentang imbauan Dewan Kehormatan PWI itu. "Itu hanya atasan saja yang bisa menjawab," kata Ngurah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini