ARIE Hanggara bak seorang martir. Kematian anak berusia 7 tahun karena tangan orangtuanya itu tampaknya mengguncangkan banyak orangtua. Seolah mereka baru sadar bahwa anak-anak pun punya hak-hak sendiri yang harus pula dihormati. Itu sebabnya, dalam Seminar Hak Asasi Anak, Selasa pekan lalu di TIM Theatre, kompleks Taman Ismail Maruki, persoalan yang dilontarkan berkisar soal itu. Yakni seberapa jauh orangtua boleh menghukum dan mengarahkan anak. Seminar ini - yang diselenggarakan oleh Perguruan Cikini, Jakarta, yang dihadiri sekitar 600 orangtua murid, guru, dan karyawan sekolah tersebut - memang diilhami oleh kematian Arie, murid kelas 1 di sekolah itu. Tampaknya hak asasi anak yang dicanangkan oleh PBB sudah sejak 20 November 1959 - bukan soal gampang. Dan di Indonesia selama ini kasus Arie ternyata bukan satu-satunya. Seorang bapak pada 16 Agustus lalu oleh Pengadilan Negeri Tangerang dijatuhi hukuman 1 1/2 tahun karena menganiaya anaknya hingga meninggal. Kasus ini mirip kasus Arie: terjadi dalam keluarga yang ayahnya cerai dan kawm lagi. Ayah tersebut, seorang buruh tani bertubuh tinggi dan kekar, tinggal di Kampung Juwet, Kecamatan Kresek, Tangerang, Jawa Barat. Di rumah bilik bambu berukuran 7 X 4 meter itu ia tinggal bersama istri keduanya dan dua anak. Satu anak perempuan bawaan istri keduanya, satu lagi Sara, anak kandungnya dari istri pertama. Sara, 12, itulah sang korban. Ceritanya, Sara konon tak kerasan di rumah itu dan sering menginap di rumah ibu kandungnya, di Kampung Gegambiran, sekitar 2 km dari rumah ayahnya. Pada akhir Maret yang lalu, ayahnya mulai tak senang akan peri lakunya ini. Sang ayah kemudian menyusul anak itu ke rumah istri pertamanya, dan menyuruhnya segera pulang. Tapi, tak seperti biasanya, Sara menolak, dan ayah itu lalu menempeleng si anak. Sara kemudian lari. Ayahnya mengejarnya. Begitu terpegang, Sara menerima tiga kali hantaman sandal plastik biru merk Lily dari ayahnya tepat dl kepalanya bagian belakang. Sara lolos lagi, lari lagi. Ketika anak yang rajin mengaji itu melompati serumpun pandan berduri, ia terjatuh. Dan ternyata ia tak bisa berdiri lagi. Ayahnya, yang tampaknya tahu anaknya cedera, lalu menggendong Sara pulang. Tiga jam kemudian, baru Sara diberi makan. Ia muntah-muntah, dan badannya panas. Dua jam kemudian, sekitar pukul 13.00 hari itu, 24 Maret, Sara meninggal. Menurut visum dari Lembaga Kriminologi Ul, Sara meninggal akibat "kekerasan benda tumpul pada kepala bagian belakang sebelah kanan". Adalah Sepuri bin Marsak, penghulu yang memandikan dan menguburkan Sara, yang mula-mula menaruh curiga. "Ada lebam merah di pundak Sara," lapor Sepuri kepada kepala Desa. Yang dilapori kemudian mengusut soal itu, dan ayah Sara ternyata berterus terang. "Anak saya meninggal sehabis saya pukuli," katanya kepada Kepala Desa. Tampaknya ada kecenderungan umum, orangtua tak mau mendengarkan anak. Seorang ibu, dalam Seminar Hak Asasi Anak itu menceritakan betapa ia marah karera anaknya, 7 tahun, tak mau berlatih Pramuka garagara hari gerimis. Kata anak itu, toh, tak akan ada juga yang datang latihan, termasuk pelatihnya sendiri. Si ibu yang kemudian memaksa anaknya berangkat - ia mengantarkan anak itu sendiri - kemudian menemukan kebenaran kata-kata anaknya. Tapi ia telanjur marah. Contoh lain dikemukakan oleh Siti Aisyah Sandjaja, psikolog Perguruan Cikini. Seorang pelajar mengeluh karena selalu dipaksa belajar agar berprestasi tinggi. Padahal, anak itu pernah mengalami gegar otak, dan bila ia terlalu keras belajar kepalanya lantas pusing. Orangtuanya tak mau ambil peduli soal gegar otak itu. Baru lewat psikolog sekolahnya, persoalan ini dibereskan antara orangtua dan si anak. Dalam keluarga, tampaknya anak memang anggota yang mudah menjadi sasaran kejengkelan oleh anggota yang lain. Menurut Singgih Gunarsa, doktor psikologi anak dari Fakultas Psikologi UI, pada garis besarnya ada tiga sebab munculnya kekerasan orangtua terhadap anak. Pertama, bila ibu merasa tertekan oleh ayah, atau sebaliknya, maka sasaran balas dendam paling mudah memang kepada anak. Sebab yang lain, bila dalam keluarga besar orang-orang tua di situ (ayah, ibu, kakek, paman) saling memaksakan kriteria moral yang berbeda-beda hingga membingungkan anak. Biasanya, kata Singgih, anak lalu tak betah di rumah. "Maka, orangtua cenderung selalu memarahi anak, anak makin tak kerasan di rumah, timbullah konflik," katanya. Sebab ketiga, bila orangtua terlalu mengukur prestasi di sekolah sebagai jaminan sukses anak. Maka, segala hal di rumah akan diarahkan agar anak rajin belajar. Dan bila prestasi si anak ternyata rendah, gampang sekali orangtua lantas berbuat dengan kekerasan terhadap anaknya. Yang tak disinggung Singgih Gunarsa, yakni faktor ekonomi. Baru-baru ini Antara memberitakan, di Irian Jaya seorang ayah menghajar anak gadisnya hmgga matl karena si anak menolak dinikahkan. Ayah tersebut telanjur berjanji kepada seorang pemuda yang memberinya utang Rp 110.000, bahwa anaknya akan dinikahkan kepada pemuda itu. Si ayah rupanya malu, tak bisa mengembalikan utangnya, sementara anak gadisnya, baru 10 tahun, tak mau dinikahkan. Maka, dihajarnyalah anak itu. Mula-mula cewek itu sempat lari ke rumah pamannya. Ayahnya mengejar, mengayunkan pisau mengenai kaki anak gadisnya. Si anak jatuh dan lantas dihantam sepotong kayu tepat di lehernya. Mati. Ayah itu kini ditahan di Polres Jayapura. Hak asasi anak memang harus dihormati. Tapi dari manakah para orangtua belajar tentang hal itu? Di kota-kota besar macam Jakarta atau Bandung lembaga konsultasi untuk ini relatif gampang diperoleh. Tentu, itu pun bagi kalangan masyarakat tertentu, karena ongkosnya tak murah. Di sekolah-sekolah, hanya yang favorit (artinya ada biaya) yang punya psikolog yang sewaktu-waktu bisa memberikan konsultasi. Tapi bagi kalangan bawah, apalagi di desa-desa, siapa yang akan membentahu mereka bagaimana harus bersikap terhadap anak? Sedangkan di Indonesia, yang disebut,anak itu sendiri agak membingungkan krierianya. Menurut Undang-Undang Kerja, 1948, yang disebut anak yaitu berumur 14 tahun ke bawah. Menurut Undang-Undang Kesejahteraan Anak, 1979, "Anak adalah seorang yang belum mencapai umur 2t tahun dan belum pernah kawin". Dalam Undang-Undang Perkawinan, 1974, anak adalah berusia 18 tahun ke bawah dan belum pernah kawin. Belum lagi adanya bermacam anggapan peranan anak dalam keluarga. Di kalangan kelas menengah, terutama di kota-kota, tampak dari diskusi itu anak memang diasuh, diarahkan agar memenuhi cita-cita orangtua. Kegagalan anak, artinya gagal mencapai sesuatu yang diharapkan orangtuanya, adalah aib bagi keluarga. MAKA, pada golongan masyarakat inilah banyak muncul kasus konflik antara anak dan orangtua. Dalam kalangan inilah, agaknya, masalah hak asasi anak jadi muncul. Dan, tampaknya, memang relevan. Menurut pasal 7 Deklarasi HakHak untuk Anak-Anak yang diserukan PBB, misalnya, anak "bebas mendapatkan pendidikan dan rekreasi dan kesempatan yang sama untuk mengembangkan kemampuan mereka masing-masing". Ilal "kemampuan mereka masing-masing" sering dilanggar para orangtua yang mengharap anaknya mengikuti kemauan orangtua. Tapi di kalangan keluarga miskin di desa-desa, terutama, hak asasl anak mungkin kurang relevan dipersoalkan. Sabtu pekan lalu, Sum Umi Lestari, dosen Universitas Brawijaya, Malang, meraih gelar doktor dengan penelitian tentang fungsi anak di kalangan masyarakat dua desa di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Kesimpulan dosen tersebut, di kalangan masyarakat lapisan bawah anak punya peranan sebagai "sarana produksi". Artinya, anak-anak di kalangan ini dibutuhkan untuk membantu orangtua bckerja, agar pendapatan keluarga bertambah. Apakah dengan demikian anak-anak itu kehilangan waktu berekreasi, dan tak tumbuh secara wajar, mungkin tak relevan dipersoalkan. Hak asasi anak memang bukan soal gampang, dan tampaknya relevansinya tergantung pula pada lingkungan. Tapi kasus Arie atau Sara yang lain memang tak diharapkan. Anak-anak itu, toh, tak minta dilahirkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini