DUA puluh tahun bukanlah usia yang pendek buat sebuah
perusahaan. Kalau nasib memang bagus kemajuan yang dicapainya
bisa menyilaukan mata. PT Pembangunan Jaya mula-mula beroperasi
dari sebuah ruangan sempit di Balai Kota. Kemudian pindah ke
sebuah bangunan toko diapit leveransir ikan asin di Jalan Pasar
Senen. Kemudian pindah ke Pusat Perdagangan Senen yang ludes
dimakan api ketika peristiwa 15 Januari dulu. Sekarang
perusahaan itu bertengger di gedung bertingkat 13 di Jalan
Thamrin, Jakarta.
Dari kegiatan yang semula berpusat di Jakarta, perusahaan yang
berdiri tang gal 3 September 1961 itu sudah beroperasi di
beberbagai daerah. Malahan sejak beberapa waktu yang lalu ia
punya proyek di Arab Saudi dan Singapura. Selain terkenal dalam
usaha tanah dan bangunan (real estate) dia juga bergerak di
bidang industri, perdagangan dan pariwisata.
Begitu dibentuk pemerintah daerah, proyek pertamanya adalah
meremajakan Pasar Senen--satu proyek yang pada tahun 1965
berharga Rp 12 milyar. Tapi "pesanan" ini tidak langsung bisa
dikerjakan, karena tawar-menawar dengan masyarakat yang terlibat
di pasar itu memerlukan waktu 2 tahun. Ini berarti Jaya harus
berkelahi melawan inflasi.
Uang yang dipegang lantas dipergunakan untuk membangun 150 rumah
di Slipi yang kemudian dibeli oleh pihak bank. "Inilah usaha
real estate Jaya yang pertama," ucap dr. Soemarno, 71 tahun,
bekas gubernur itu sekarang duduk sebagai Ketua Dewan Komisaris,
karena Gubernur Tjokropranolo yang seharusnya memegang jabatan
itu kabarnya lebih suka menjadi penasihat saja.
Berapa besar kemampuan melawan inflasi nampaknya merupakan
patokan kemajuan yang dicapai Jaya. Omsetnya dari tahun ke tahun
maju mantap. Tahun ini misalnya omsetnya diperhitungkan mencapai
Rp 125 milyar. Tapi yang nampaknya lebih penting adalah
kemampuannya mempertahankan pertumbuhan rata-rata 50% per tahun.
"Ini merupakan keajaiban. Berarti kami bisa melampaui tingkat
inflasi yang rata-rata 15% per tahun," kata Ir. Ciputra, PresDir
PT Pembangunan Jaya.
Duduk melonjor dengan kaki telanjang di rumahnya di daerah
Slipi, Jakarta, Ciputra, 50 tahun, memberi kesan kcmajuan yang
dicapai perusahaan tersebut bukanlah semata-mata karena prestasi
pribadinya. "Ada perbedaan yang prinsipil antara Pembangunan
Jaya dengan perusahaan-perusahaan lain. Di sini Yayasan Marga
Jaya yang dimiliki karyawan yang berjumlah 7000 orang merupakan
pemegang saham paling besar sesudah DKI. Di perusahaan lain
karyawan tidak menentukan. Tapi di Jaya mereka menentukan calon
direksi. Mereka ikut menentukan kebijaksanaan perusahaan. Inilah
yang akan membuat perusahaan ini akan hidup ribuan tahun yang
akan datang," ulasnya.
Perusahaan yang 60% sahamnya dimili DKI sekarang punya 27 anak
perusahaan. Tujuh di antaranya patungan dengan Belanda,
Australia, Inggris, Hongkong dan Jepang. "Tetapi yang menarik,
keuntungan yang kaml peroleh justru dari 20 perusahaan yang 100%
milik Indonesia. Kalaupun ada keuntungan dari perusahaan
patungan, maka itu datang dari perusahaan yang manajemennya
dipegang secara bersama antara pihak Indonesia dan asing. Ini
menunjukkan manajemen Indonesia unggul," kata Ciputra.
Patungan Rugi
Kalangan yang mengamati perkembangan Jaya menyebutkan bahwa daya
cium bisnis kelompok Ciputra memang tajam. Dalam bidang
pariwisata misalnya, Giputra melihat sumber keuntungan dengan
membangun Putri Duyung Cottage di Ancol. Satu pikiran yang
menurut Ciputra mungkin tidak bisa muncul dari seorang pengusaha
Barat. "Mereka akan berkau untuk apa membangun cott di situ.
Kita harus membangun hotel berbintang lima. Tapi nyatanya Putri
Duyung bisa beruntung ratusan juta dibanding Mandarin yang
setahun merugi," katanya.
Selain lotel Mandarin yang dikelola perusahaan dari Hongkong,
yang termasuk merugi adalah industri pipa PVC oleh Belanda dan
perusahaan cor beton vang dipegang pihak Australia.
Kemajuan yang dicapai Jaya memancing beberapa perusahaan daerah
untuk menggunakan jasa manajemennya. Di Nusa Tenggara Timur
perusahaan itu ikut serta membantu pengelolaan daerah sembari
memegang sepertiga dari saham perusahaan. Bantuan manajemen
tadi, menurut Ciputra segera distop kalau perusahaan daerah itu
sudah bisa berjalan sendiri.
Jaya juga diminta untuk membantu manajemen beberapa perusahaan
swasta di Ujungpandang dan Semarang. Ini nampaknya merupakan
pekerjaan cukup menantang di samping ikut sertanya Jaya dalam
proyek hydrocracker yang berharga US$ 950 juta di Dumai.
Terhadap anggapan yang mengatakan majunya Jaya berkat Pemerintah
Daerah DKI, Ciputra merlgatakan "Dari omset Rp 125 milyar tahun
ini hanya Rp 3 milyar yang merupakan porsi pekerjaan dari DKI."
Dengan suaranya yang terkenal serak dan berat, insinyur lulusan
ITB itu malahan mengritik DKI yang tetap mempertahankan saham
yang 60% dan terus-menerus mengambil dividen.
Kritik Ciputra ini bisa dianggap lumrah dalam sebuah perusahaan
sebesar Jaya. "Perdebatan-perdebatan memang sering terjadi, tapi
toh titik pertemuan selalu tercapai. Dan orang bisa melihat
bahwa perusahaan 'kan jadi," kata Pak Marno, Ketua Dewan
Komisaris.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini