Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Yang Indonesia Yang Untung

PT. Pembangunan Jaya telah berusia 20 tahun. dari kegiatan yang semula berpusat di Jakarta perusahaan ini sudah punya proyek di Arab Saudi & Singapura. 60% sahamnya dimiliki oleh DKI.

10 Oktober 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA puluh tahun bukanlah usia yang pendek buat sebuah perusahaan. Kalau nasib memang bagus kemajuan yang dicapainya bisa menyilaukan mata. PT Pembangunan Jaya mula-mula beroperasi dari sebuah ruangan sempit di Balai Kota. Kemudian pindah ke sebuah bangunan toko diapit leveransir ikan asin di Jalan Pasar Senen. Kemudian pindah ke Pusat Perdagangan Senen yang ludes dimakan api ketika peristiwa 15 Januari dulu. Sekarang perusahaan itu bertengger di gedung bertingkat 13 di Jalan Thamrin, Jakarta. Dari kegiatan yang semula berpusat di Jakarta, perusahaan yang berdiri tang gal 3 September 1961 itu sudah beroperasi di beberbagai daerah. Malahan sejak beberapa waktu yang lalu ia punya proyek di Arab Saudi dan Singapura. Selain terkenal dalam usaha tanah dan bangunan (real estate) dia juga bergerak di bidang industri, perdagangan dan pariwisata. Begitu dibentuk pemerintah daerah, proyek pertamanya adalah meremajakan Pasar Senen--satu proyek yang pada tahun 1965 berharga Rp 12 milyar. Tapi "pesanan" ini tidak langsung bisa dikerjakan, karena tawar-menawar dengan masyarakat yang terlibat di pasar itu memerlukan waktu 2 tahun. Ini berarti Jaya harus berkelahi melawan inflasi. Uang yang dipegang lantas dipergunakan untuk membangun 150 rumah di Slipi yang kemudian dibeli oleh pihak bank. "Inilah usaha real estate Jaya yang pertama," ucap dr. Soemarno, 71 tahun, bekas gubernur itu sekarang duduk sebagai Ketua Dewan Komisaris, karena Gubernur Tjokropranolo yang seharusnya memegang jabatan itu kabarnya lebih suka menjadi penasihat saja. Berapa besar kemampuan melawan inflasi nampaknya merupakan patokan kemajuan yang dicapai Jaya. Omsetnya dari tahun ke tahun maju mantap. Tahun ini misalnya omsetnya diperhitungkan mencapai Rp 125 milyar. Tapi yang nampaknya lebih penting adalah kemampuannya mempertahankan pertumbuhan rata-rata 50% per tahun. "Ini merupakan keajaiban. Berarti kami bisa melampaui tingkat inflasi yang rata-rata 15% per tahun," kata Ir. Ciputra, PresDir PT Pembangunan Jaya. Duduk melonjor dengan kaki telanjang di rumahnya di daerah Slipi, Jakarta, Ciputra, 50 tahun, memberi kesan kcmajuan yang dicapai perusahaan tersebut bukanlah semata-mata karena prestasi pribadinya. "Ada perbedaan yang prinsipil antara Pembangunan Jaya dengan perusahaan-perusahaan lain. Di sini Yayasan Marga Jaya yang dimiliki karyawan yang berjumlah 7000 orang merupakan pemegang saham paling besar sesudah DKI. Di perusahaan lain karyawan tidak menentukan. Tapi di Jaya mereka menentukan calon direksi. Mereka ikut menentukan kebijaksanaan perusahaan. Inilah yang akan membuat perusahaan ini akan hidup ribuan tahun yang akan datang," ulasnya. Perusahaan yang 60% sahamnya dimili DKI sekarang punya 27 anak perusahaan. Tujuh di antaranya patungan dengan Belanda, Australia, Inggris, Hongkong dan Jepang. "Tetapi yang menarik, keuntungan yang kaml peroleh justru dari 20 perusahaan yang 100% milik Indonesia. Kalaupun ada keuntungan dari perusahaan patungan, maka itu datang dari perusahaan yang manajemennya dipegang secara bersama antara pihak Indonesia dan asing. Ini menunjukkan manajemen Indonesia unggul," kata Ciputra. Patungan Rugi Kalangan yang mengamati perkembangan Jaya menyebutkan bahwa daya cium bisnis kelompok Ciputra memang tajam. Dalam bidang pariwisata misalnya, Giputra melihat sumber keuntungan dengan membangun Putri Duyung Cottage di Ancol. Satu pikiran yang menurut Ciputra mungkin tidak bisa muncul dari seorang pengusaha Barat. "Mereka akan berkau untuk apa membangun cott di situ. Kita harus membangun hotel berbintang lima. Tapi nyatanya Putri Duyung bisa beruntung ratusan juta dibanding Mandarin yang setahun merugi," katanya. Selain lotel Mandarin yang dikelola perusahaan dari Hongkong, yang termasuk merugi adalah industri pipa PVC oleh Belanda dan perusahaan cor beton vang dipegang pihak Australia. Kemajuan yang dicapai Jaya memancing beberapa perusahaan daerah untuk menggunakan jasa manajemennya. Di Nusa Tenggara Timur perusahaan itu ikut serta membantu pengelolaan daerah sembari memegang sepertiga dari saham perusahaan. Bantuan manajemen tadi, menurut Ciputra segera distop kalau perusahaan daerah itu sudah bisa berjalan sendiri. Jaya juga diminta untuk membantu manajemen beberapa perusahaan swasta di Ujungpandang dan Semarang. Ini nampaknya merupakan pekerjaan cukup menantang di samping ikut sertanya Jaya dalam proyek hydrocracker yang berharga US$ 950 juta di Dumai. Terhadap anggapan yang mengatakan majunya Jaya berkat Pemerintah Daerah DKI, Ciputra merlgatakan "Dari omset Rp 125 milyar tahun ini hanya Rp 3 milyar yang merupakan porsi pekerjaan dari DKI." Dengan suaranya yang terkenal serak dan berat, insinyur lulusan ITB itu malahan mengritik DKI yang tetap mempertahankan saham yang 60% dan terus-menerus mengambil dividen. Kritik Ciputra ini bisa dianggap lumrah dalam sebuah perusahaan sebesar Jaya. "Perdebatan-perdebatan memang sering terjadi, tapi toh titik pertemuan selalu tercapai. Dan orang bisa melihat bahwa perusahaan 'kan jadi," kata Pak Marno, Ketua Dewan Komisaris.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus