Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Enam Jam Di Juanda

6 pesawat garuda dilarang mengudara dari juanda oleh komandan lanuma juanda, surabaya sebelum memenuhi kewajiban membayar penuh berbagai bea. hankam kabarnya turun tangan.

10 Oktober 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAGI itu sebuah pesawar DC-9 Garuda yang datang dari Jakarta mendarat dengan mulus di Lapangan Udara AL (Lanudal) Juanda, Surabaya. Para penumpang pun turun diikuti oleh para awak pesawat. Tapi pesawat "shuttle" yang sejam kemudian biasanya bertugas terbang lagi ke Jakarta ternyata tetap nongkrong di situ. Kerusakan mesin? Itu reaksi pertama para penumpang yang sedang menunggu diangkut bis ke pesawat. Ternyata yang terjadi lebih jauh dari itu. Pada 22 September itu, ketika hari masih terbilang pagi, sebanyak lima buah pesawat F-28, punya Garuda baik yang baru mendarat maupun yang akan bertolak dari pangkalan Juanda menuju Jakarta dan Solo, tidak diizinkan mengudara oleh Komandan Lanudal Juanda. Latarbelakang larangan terbang yang mendadak itu sungguh membuat kaget banyak orang. Semua pesawat Garuda itu baru boleh terbang lagi kalau sudah memenuhi kewajiban membayar penuh berbagai bea. Jadi tidak 75% dari bea sebenarnya seperti berlaku selama ini. Orang di Atas Tentu saja pihak Garuda menolaknya. Sebab selama ini mereka merasa telah membayar bea pendaratan sesuai dengan ketetapan Menteri Perhubungan. Juga sesuai dengan SK Bersama Menteri Perhubungan, Keuangan dan Menhankam. Yang terakhir ini berlaku bagi pelabuhan-pelabuhan udara yang berada dalam daerah pangkalan udara Angkatan Bersenjata, seperti: Hussein Sastranegara, Juanda, Ahmad Yani, Adisucipto dan Panasan. Sedang Komandan Pang kalan Lanudal Juanda, seperti kata sebuah sumber di Departemen Perhubungan, menuntut tarif yang sama dengan pelabuhan udara Kemayoran dan Halim Perdanakusumah. Kedua pelabuhan udara tersebut memang menarik tarif yang 100% untuk penerbangan domestik. Insiden di Juanda itu memang cepat sampai ke telinga orangorang di Jakarta. Kabarnya para pejabat di kantor pusat Garuda di Jl. Juanda, Jakarta, angkat telepon ke kantor Dirjen Perhubungan Udara. Dan dari situ telepon juga berdering ke kantor Hankam. Bisa diduga dari kantor pusat ABRI itu pula datang instruksi ke Komandan Lanudal Juanda, meminta agar pesawat-pesawat Garuda yang grounded (dilarang terbang) selama kurang lebih enam jam itu segera diminta mengudara lagi. Soalnya memang selesai setelah "masing-masing orang tua turun tangan," ujar seorang di Kanwil Perhubungan Udara Surabaya. Lewat pukul 12.00 siang itu, ke-6 pesawat itu dibolehkan terbang satu per satu, selang 10 menit. Berapa rugi Garuda? "Kami cuma rugi waktu," kata sebuah sumber Garuda di Lanudal Juanda. "Sekitar 23 penerbang an kami setiap hari, Selasa itu toh bisa terpenuhi." Komandan Pangkalan Juanda Kol. Laut Suhendro, yang merangkap sebagai kepala stasiun udara di situ, tak berhasil ditemui TEMPO. Dan tak seorang pun di antara anak buahnya yang merasa berwenang memberikan keterangan ke luar. Namun begitu Sardjono Sutopo, Kepala Kanwil III Ditjen Perhudara, berpendapat debat perkara tarif itu sebenarnya disebabkan beda pendapat yang belum juga selesai antara pihak Garuda dengan pengelola Lanudal Juanda. "Sebenarnya itu tak usah terjadi, 'kan sudah jelas peraturannya." Dalam SK Bersama 3 Menteri itu, menurut Sardjono sebenarnya sudah ditetapkan secara terperinci tentang berbagai biaya dan tarif menurut klasifikasi pelabuhan udara. Antara lain mengenai biaya pendaratan, penyimpanan pesawat (hanggar), bea penumpang, bea pelayanan pengangkutan penumpang dengan bis menuju ke dan dari pesawat, dan lain-lain. Biaya pendaratan sebuah DC-9 di Juanda, setelah dikorting 25%, menjadi Rp 33.345, untuk DC-10 Rp 196.450 dan F-28 sebanyak 19.240. Toh tarif yang dipegang teguh oleh Garuda itu tak dengan sendirinya berlaku untuk penerbangan lain. Seperti kata Mamahit, kepala cabang penerbangan swasta Bouraq yang berpangkalan (Jome-base) di Juanda, "kami setiap kali membayar tarif yang dimirita pihak Lanudal." Pelabuhan Udara Juanda sendiri yang sejak 20 Oktober tahun lalu sudah diputuskan bertaraf kelas 1, sebenarnya berada di bawah pengelolaan Departemen Perhubungan. Entah mengapa, penyerahannya selalu tertunda-tunda sampai sekarang. Di mana macetnya? "Wah, itu urusan Orang-orang di atas, tapi semua surat pengoperan sebenarnya sudah final," kata Kanwil Sardjono.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus