PAGI itu sebuah pesawar DC-9 Garuda yang datang dari Jakarta
mendarat dengan mulus di Lapangan Udara AL (Lanudal) Juanda,
Surabaya. Para penumpang pun turun diikuti oleh para awak
pesawat. Tapi pesawat "shuttle" yang sejam kemudian biasanya
bertugas terbang lagi ke Jakarta ternyata tetap nongkrong di
situ. Kerusakan mesin? Itu reaksi pertama para penumpang yang
sedang menunggu diangkut bis ke pesawat. Ternyata yang terjadi
lebih jauh dari itu.
Pada 22 September itu, ketika hari masih terbilang pagi,
sebanyak lima buah pesawat F-28, punya Garuda baik yang baru
mendarat maupun yang akan bertolak dari pangkalan Juanda menuju
Jakarta dan Solo, tidak diizinkan mengudara oleh Komandan
Lanudal Juanda. Latarbelakang larangan terbang yang mendadak itu
sungguh membuat kaget banyak orang. Semua pesawat Garuda itu
baru boleh terbang lagi kalau sudah memenuhi kewajiban membayar
penuh berbagai bea. Jadi tidak 75% dari bea sebenarnya seperti
berlaku selama ini.
Orang di Atas
Tentu saja pihak Garuda menolaknya. Sebab selama ini mereka
merasa telah membayar bea pendaratan sesuai dengan ketetapan
Menteri Perhubungan. Juga sesuai dengan SK Bersama Menteri
Perhubungan, Keuangan dan Menhankam. Yang terakhir ini berlaku
bagi pelabuhan-pelabuhan udara yang berada dalam daerah
pangkalan udara Angkatan Bersenjata, seperti: Hussein
Sastranegara, Juanda, Ahmad Yani, Adisucipto dan Panasan. Sedang
Komandan Pang kalan Lanudal Juanda, seperti kata sebuah sumber
di Departemen Perhubungan, menuntut tarif yang sama dengan
pelabuhan udara Kemayoran dan Halim Perdanakusumah. Kedua
pelabuhan udara tersebut memang menarik tarif yang 100% untuk
penerbangan domestik.
Insiden di Juanda itu memang cepat sampai ke telinga orangorang
di Jakarta. Kabarnya para pejabat di kantor pusat Garuda di Jl.
Juanda, Jakarta, angkat telepon ke kantor Dirjen Perhubungan
Udara. Dan dari situ telepon juga berdering ke kantor Hankam.
Bisa diduga dari kantor pusat ABRI itu pula datang instruksi ke
Komandan Lanudal Juanda, meminta agar pesawat-pesawat Garuda
yang grounded (dilarang terbang) selama kurang lebih enam jam
itu segera diminta mengudara lagi.
Soalnya memang selesai setelah "masing-masing orang tua turun
tangan," ujar seorang di Kanwil Perhubungan Udara Surabaya.
Lewat pukul 12.00 siang itu, ke-6 pesawat itu dibolehkan terbang
satu per satu, selang 10 menit. Berapa rugi Garuda? "Kami cuma
rugi waktu," kata sebuah sumber Garuda di Lanudal Juanda.
"Sekitar 23 penerbang an kami setiap hari, Selasa itu toh bisa
terpenuhi."
Komandan Pangkalan Juanda Kol. Laut Suhendro, yang merangkap
sebagai kepala stasiun udara di situ, tak berhasil ditemui
TEMPO. Dan tak seorang pun di antara anak buahnya yang merasa
berwenang memberikan keterangan ke luar. Namun begitu Sardjono
Sutopo, Kepala Kanwil III Ditjen Perhudara, berpendapat debat
perkara tarif itu sebenarnya disebabkan beda pendapat yang belum
juga selesai antara pihak Garuda dengan pengelola Lanudal
Juanda. "Sebenarnya itu tak usah terjadi, 'kan sudah jelas
peraturannya."
Dalam SK Bersama 3 Menteri itu, menurut Sardjono sebenarnya
sudah ditetapkan secara terperinci tentang berbagai biaya dan
tarif menurut klasifikasi pelabuhan udara. Antara lain mengenai
biaya pendaratan, penyimpanan pesawat (hanggar), bea penumpang,
bea pelayanan pengangkutan penumpang dengan bis menuju ke dan
dari pesawat, dan lain-lain.
Biaya pendaratan sebuah DC-9 di Juanda, setelah dikorting 25%,
menjadi Rp 33.345, untuk DC-10 Rp 196.450 dan F-28 sebanyak
19.240. Toh tarif yang dipegang teguh oleh Garuda itu tak dengan
sendirinya berlaku untuk penerbangan lain. Seperti kata Mamahit,
kepala cabang penerbangan swasta Bouraq yang berpangkalan
(Jome-base) di Juanda, "kami setiap kali membayar tarif yang
dimirita pihak Lanudal."
Pelabuhan Udara Juanda sendiri yang sejak 20 Oktober tahun lalu
sudah diputuskan bertaraf kelas 1, sebenarnya berada di bawah
pengelolaan Departemen Perhubungan. Entah mengapa, penyerahannya
selalu tertunda-tunda sampai sekarang. Di mana macetnya? "Wah,
itu urusan Orang-orang di atas, tapi semua surat pengoperan
sebenarnya sudah final," kata Kanwil Sardjono.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini