Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kalau Weyerhaeuser Angkat Kaki

Perdebatan seru sedang berlangsung. Sebuah perusahaan kayu AS, Weyerhaeuser co yang patungan dengan perusahaan All Truba Indah akan menghentikan usahanya dan angkat kaki dari Indonesia.

10 Oktober 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WEYERHAEUSER bukanlah nama yang beken di kalangan perusahaan multinasional. Tapi di kalangan industri kayu, perusahaan yang berpusat di Tacoma, negara bagian Washington, AS ini dikenal sebagai salah satu raksasa. Tahun lalu penjualannya mencapai US$ 4,5 milyar. Weyerhaeuser memulai operasinya di Indonesia pada 1971 dengan membeli 65% saham PT International Timber Corporation of Indonesia (ITCI), sebuah perusahaan patungan dengan All Truba Indah, salah satu anak perusahaan PT Tri Usaha Bhakti, yang dulu dikenal punya Angkatan Darat. Daerah konsesinya meliputi 600.000 hektar di Kalimantan Timur. Perusahaan itu uga punya industri penggerga]ian kayu yang kapasitasnya baru diduakali lipatkan menjadi 200.000 meter kubik setahun. Dia juga dikabarkan sedang membangun pabrik plywood (kayu-lapis) yang sekarang ini sudah 50% selesai dan rencananya akan dibuka akhir tahun depan. Ekspor kayu gelondongannya tiap tahun 1 juta meter kubik sejak 1974. Tapi Weyerhaeuser dalam waktu dekat mungkin akan menghentikan usahanya di Indonesia. George H. Weyerhaeuser, direktur utama perusahaan itu, dalam keterangannya kepada koran The Asian Wall Street Journal di Hongkong mengatakan bahwa perusahaan yang dipimpinnya "mungkin akan mengundurkan diri sepenuhnya" dari Indonesia. Dia menambahkan dalam 60 hari ini, mulai pekan lalu, suatu keputusan yang kongkrit akan diambil. Bom Kenapa harus menutup usahanya di Indonesia? Dalam wawancara itu, DirUt Weyerhaeuser tak secara jelas menyebutkan alasan penutupan usahanya di Kalimantan Timur itu. Rugikah? Memang pemerintah Indonesia sudah memutuskan untuk mengurangi ekspor kayu gelondongan dengan separuh demi konservasi dan sekaligus merangsang produksi pengolahan kayu di dalam negeri. Ekspor kayu gelondongan Weyerhaeuser, sebagaimana juga sejumlah perusahaan lainnya, memang terpengaruh. Usaha penebangan di Indonesia dianggapnya tak menarik lagi. Kini pandangannya dialihkan ke Pulau Mindanao di Filipina Selatan. Di sana Weyerhaeuser rupanya berharap bisa mendapatkan kembali hak konsensi hutannya. Weyerhaeuser juga tak banyak menaruh harapan pada ekspor kayu-lapis dari Tndonesia. Alasannya menurut mereka. karena industri perumahan di AS dan Jepang -- industri yang paling banyak menghabiskan kayu-lapis -- kini masih payah. Anehnya, Weyerhaeuser malah akan mendirikan pabrik kayu-lapis di Lanad Datu, Sabah, Malaysia. Pabrik ini menurut mereka akan sama besarnya dengan yang sedang dibangun di Indonesia Usahanya di Sabah, merupakan usaha patun,ean fifty-fifty dengan suatu yayasan di Sabah. "Model" patungan ini, kalau memang betul begitu, bisa dipastikan tak'akan mereka peroleh lagi di Indonesia. Di sini berlaku ketentuan bahwal sesudah 10 tahun, pihak asing dalam usaha patungan harus merupakan pemegang saham minoritas. Artinya, sebagian besar saham harus sudah dijual kepada pihak Indonesia sesudah 10 tahun beroperasi. Dan perusahaan yang di Amerika juga dikenal besar di bidang usaha tanah dan bangunan (real estate), memang sudah menjual 25% dari sahamnya kepada Bank Pembangunan Indonesia, hingga saham yang dimilikinya kini tinggal 409.. Tapi itu pula soalnya: Weyerhaeuser rupanya kepingin memiliki 49%, dan berpendapat manajemen harus tetap mereka pegang. Kalau benar sebentar lagi Weyerhaeuser bakal angkat kaki dari Indonesia, maka yang terjadi itu mungkin akan merupakan pola yang setiap kali berulang Sebuah perusahaan asing yang patungan dengan perusahaan setempat, akan mcrasa kurang berminat dan mengancam untuk pergi, setelah menjadi peserta minoritas. Akan sanggupkah partner Indonesia meneruskan usaha itu sendiri? Men vedot pipanya dalam-dalam, Dir-Ut Tri Usaha Bhakti, Brigjen (Purn) J.M. Jocnoes, mulai membuka suaranya. "Bukan sombong, mengolah kayu itu bukanlah teknologi yang sukar. Bukan bikin bom atom," katanya. "Dan yang dilakukan Weyerhaeuser adalah menebang kavu, lalu diekspor." Rupanya antara Weyerhaeuser Co. dengan partnernya yang kini bernama All Truba Inter telah lama timbul ketidakcocokan. Antara lain soal isi perjanjian pembagian saham itu sendiri yang baru belakangan dirasakan berat sebelah oleh pihak All Truba. "Pihak Indonesia akhirnya merasa menjadi pemilik tidur," kata Joenoes. Pada pokoknya isi perjanjian yang dibuat pada 1971 itu menyebutkan bahwa setelah 10 tahun, saham All Truba menjadi 49% dan Weyerhaeuser 51%. Dir-Ut Joenoes yang berambut putih itu juga menjelaskan sejak 1971 hingga 1974 partner Indonesia tak pernah kebagian dividen. "Yang dibagikan hanya berupa utang setiap tahun US$ 1 juta," kata Dir-Ut Joenoes kepada wartawan TEMPO Widi Yarmanto. Disebut utang, karena pihak All Truba harus membayarnya kelak bila sudah memperoleh keuntungan, disertai bunga 8 « % setahun. Buntu Maka pada 1975 keluarlah Keppres No. 20 yang isi pokoknya berbunyi setiap usaha patungan asing yang baru, Hak Pengusahaan Hutan (HPH) harus berada di tangan nasional. Dan sesudah 10 tahun, 51% saham di tangan pengusaha nasional. Tapi menurut Joenoes, "Weyerhaeuser tak pernah mau mengakui peraturan yang baru itu." Alkisah, pada awal tahun 1980 keluar lagi keputusan dari BKPM, yang menyatakan keharusan pihak Indonesia memiliki mayoritas saham. Keputusan di awal Januari itu oleh All Truba dipandang menyulitkan juga. Menurut Joenoes, dari tahun 1971 hingga timbulnya keputusan baru itu, All Truba tak pernah diikutsertakan dalam manajrmen perusahaan. "Berapa nilai saham pun tak kami ketahui," katanya. Weyerhaeuser ketika itu memiliki 65% saham. Mereka bersedia menjual seluruh miliknya, asal saja dibayar dengan harga US $ 420.000 per satu persen saham. Dan Dir-Ut Joenoes mengaku tak memiliki uang sebanyak itu. Bekas direktur utama perusahaan minyak Pertamin itu kemudian menceritakan hubungan All Truba Inter itu dengan Bapindo. Ia mengakui pada Februari 1981 sebanyak 25% dari saham Weyerhaeuser akhirnya dibeli oleh Bapindo, dengan perjanjian, saham tersebut bisa dimiliki kembali oleh All Truba Inter paling lambat delapan tahun sejak pembelian itu. Lewat jangka waktu itu Bapindo berhak menjualnya ke luar. Akan halnya kebolehan Weyerhaeuser mengelola kayu, Dir-Ut Tri Usaha shakti itu mengacungkan jempolnya. "Tapi mereka tak becus mengurusi industri penggergajian dan plywood," kilah Joenoes. Industri penggergajian (sawmll) yang didirikan pada tahun 1979 sampai sekarang, menurut Joenoes sudah merugi skitar US$ 2,5 juta. Sedang prospek kayu lapis yang memang rada seret diekspor itu, diharapkan bisa memperoleh pasaran yang lebih baik di dalam negeri. "Lebih-lebih kalau benar pemerintah bermaksud menggalakkan pembuatan perumahan kayu," katanya. Setelah dihitung-hitung, Dir-Ut Joenoes yang nampak masih gesit itu percaya "tak ada gunanya lagi bekerjasama dengan mereka." Kalau sikap partner Indonesia sudah sekeras ini, bisa dibayangkan perundingan antara keduanya akan mencapai jalan buntu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus