WEYERHAEUSER bukanlah nama yang beken di kalangan perusahaan
multinasional. Tapi di kalangan industri kayu, perusahaan yang
berpusat di Tacoma, negara bagian Washington, AS ini dikenal
sebagai salah satu raksasa. Tahun lalu penjualannya mencapai US$
4,5 milyar. Weyerhaeuser memulai operasinya di Indonesia pada
1971 dengan membeli 65% saham PT International Timber
Corporation of Indonesia (ITCI), sebuah perusahaan patungan
dengan All Truba Indah, salah satu anak perusahaan PT Tri Usaha
Bhakti, yang dulu dikenal punya Angkatan Darat.
Daerah konsesinya meliputi 600.000 hektar di Kalimantan Timur.
Perusahaan itu uga punya industri penggerga]ian kayu yang
kapasitasnya baru diduakali lipatkan menjadi 200.000 meter kubik
setahun. Dia juga dikabarkan sedang membangun pabrik plywood
(kayu-lapis) yang sekarang ini sudah 50% selesai dan rencananya
akan dibuka akhir tahun depan. Ekspor kayu gelondongannya tiap
tahun 1 juta meter kubik sejak 1974.
Tapi Weyerhaeuser dalam waktu dekat mungkin akan menghentikan
usahanya di Indonesia. George H. Weyerhaeuser, direktur utama
perusahaan itu, dalam keterangannya kepada koran The Asian Wall
Street Journal di Hongkong mengatakan bahwa perusahaan yang
dipimpinnya "mungkin akan mengundurkan diri sepenuhnya" dari
Indonesia. Dia menambahkan dalam 60 hari ini, mulai pekan lalu,
suatu keputusan yang kongkrit akan diambil.
Bom
Kenapa harus menutup usahanya di Indonesia? Dalam wawancara itu,
DirUt Weyerhaeuser tak secara jelas menyebutkan alasan penutupan
usahanya di Kalimantan Timur itu. Rugikah? Memang pemerintah
Indonesia sudah memutuskan untuk mengurangi ekspor kayu
gelondongan dengan separuh demi konservasi dan sekaligus
merangsang produksi pengolahan kayu di dalam negeri.
Ekspor kayu gelondongan Weyerhaeuser, sebagaimana juga sejumlah
perusahaan lainnya, memang terpengaruh. Usaha penebangan di
Indonesia dianggapnya tak menarik lagi. Kini pandangannya
dialihkan ke Pulau Mindanao di Filipina Selatan. Di sana
Weyerhaeuser rupanya berharap bisa mendapatkan kembali hak
konsensi hutannya.
Weyerhaeuser juga tak banyak menaruh harapan pada ekspor
kayu-lapis dari Tndonesia. Alasannya menurut mereka. karena
industri perumahan di AS dan Jepang -- industri yang paling
banyak menghabiskan kayu-lapis -- kini masih payah.
Anehnya, Weyerhaeuser malah akan mendirikan pabrik kayu-lapis di
Lanad Datu, Sabah, Malaysia. Pabrik ini menurut mereka akan sama
besarnya dengan yang sedang dibangun di Indonesia Usahanya di
Sabah, merupakan usaha patun,ean fifty-fifty dengan suatu
yayasan di Sabah.
"Model" patungan ini, kalau memang betul begitu, bisa dipastikan
tak'akan mereka peroleh lagi di Indonesia. Di sini berlaku
ketentuan bahwal sesudah 10 tahun, pihak asing dalam usaha
patungan harus merupakan pemegang saham minoritas. Artinya,
sebagian besar saham harus sudah dijual kepada pihak Indonesia
sesudah 10 tahun beroperasi.
Dan perusahaan yang di Amerika juga dikenal besar di bidang
usaha tanah dan bangunan (real estate), memang sudah menjual 25%
dari sahamnya kepada Bank Pembangunan Indonesia, hingga saham
yang dimilikinya kini tinggal 409.. Tapi itu pula soalnya:
Weyerhaeuser rupanya kepingin memiliki 49%, dan berpendapat
manajemen harus tetap mereka pegang.
Kalau benar sebentar lagi Weyerhaeuser bakal angkat kaki dari
Indonesia, maka yang terjadi itu mungkin akan merupakan pola
yang setiap kali berulang Sebuah perusahaan asing yang patungan
dengan perusahaan setempat, akan mcrasa kurang berminat dan
mengancam untuk pergi, setelah menjadi peserta minoritas.
Akan sanggupkah partner Indonesia meneruskan usaha itu sendiri?
Men vedot pipanya dalam-dalam, Dir-Ut Tri Usaha Bhakti, Brigjen
(Purn) J.M. Jocnoes, mulai membuka suaranya. "Bukan sombong,
mengolah kayu itu bukanlah teknologi yang sukar. Bukan bikin bom
atom," katanya. "Dan yang dilakukan Weyerhaeuser adalah menebang
kavu, lalu diekspor."
Rupanya antara Weyerhaeuser Co. dengan partnernya yang kini
bernama All Truba Inter telah lama timbul ketidakcocokan. Antara
lain soal isi perjanjian pembagian saham itu sendiri yang baru
belakangan dirasakan berat sebelah oleh pihak All Truba. "Pihak
Indonesia akhirnya merasa menjadi pemilik tidur," kata Joenoes.
Pada pokoknya isi perjanjian yang dibuat pada 1971 itu
menyebutkan bahwa setelah 10 tahun, saham All Truba menjadi 49%
dan Weyerhaeuser 51%.
Dir-Ut Joenoes yang berambut putih itu juga menjelaskan sejak
1971 hingga 1974 partner Indonesia tak pernah kebagian dividen.
"Yang dibagikan hanya berupa utang setiap tahun US$ 1 juta,"
kata Dir-Ut Joenoes kepada wartawan TEMPO Widi Yarmanto.
Disebut utang, karena pihak All Truba harus membayarnya kelak
bila sudah memperoleh keuntungan, disertai bunga 8 « % setahun.
Buntu
Maka pada 1975 keluarlah Keppres No. 20 yang isi pokoknya
berbunyi setiap usaha patungan asing yang baru, Hak Pengusahaan
Hutan (HPH) harus berada di tangan nasional. Dan sesudah 10
tahun, 51% saham di tangan pengusaha nasional. Tapi menurut
Joenoes, "Weyerhaeuser tak pernah mau mengakui peraturan yang
baru itu."
Alkisah, pada awal tahun 1980 keluar lagi keputusan dari BKPM,
yang menyatakan keharusan pihak Indonesia memiliki mayoritas
saham. Keputusan di awal Januari itu oleh All Truba dipandang
menyulitkan juga. Menurut Joenoes, dari tahun 1971 hingga
timbulnya keputusan baru itu, All Truba tak pernah
diikutsertakan dalam manajrmen perusahaan. "Berapa nilai saham
pun tak kami ketahui," katanya. Weyerhaeuser ketika itu memiliki
65% saham. Mereka bersedia menjual seluruh miliknya, asal saja
dibayar dengan harga US $ 420.000 per satu persen saham. Dan
Dir-Ut Joenoes mengaku tak memiliki uang sebanyak itu.
Bekas direktur utama perusahaan minyak Pertamin itu kemudian
menceritakan hubungan All Truba Inter itu dengan Bapindo. Ia
mengakui pada Februari 1981 sebanyak 25% dari saham Weyerhaeuser
akhirnya dibeli oleh Bapindo, dengan perjanjian, saham tersebut
bisa dimiliki kembali oleh All Truba Inter paling lambat delapan
tahun sejak pembelian itu. Lewat jangka waktu itu Bapindo berhak
menjualnya ke luar.
Akan halnya kebolehan Weyerhaeuser mengelola kayu, Dir-Ut Tri
Usaha shakti itu mengacungkan jempolnya. "Tapi mereka tak becus
mengurusi industri penggergajian dan plywood," kilah Joenoes.
Industri penggergajian (sawmll) yang didirikan pada tahun 1979
sampai sekarang, menurut Joenoes sudah merugi skitar US$ 2,5
juta. Sedang prospek kayu lapis yang memang rada seret diekspor
itu, diharapkan bisa memperoleh pasaran yang lebih baik di dalam
negeri. "Lebih-lebih kalau benar pemerintah bermaksud
menggalakkan pembuatan perumahan kayu," katanya. Setelah
dihitung-hitung, Dir-Ut Joenoes yang nampak masih gesit itu
percaya "tak ada gunanya lagi bekerjasama dengan mereka." Kalau
sikap partner Indonesia sudah sekeras ini, bisa dibayangkan
perundingan antara keduanya akan mencapai jalan buntu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini