Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

<font color=#FF9900>Bebas Bicara,</font> Tak Bebas Bahaya

Penelitian terbaru menyatakan radiasi penggunaan telepon seluler dapat memicu epidemi tumor otak, yang membunuh lebih banyak orang ketimbang rokok, di masa mendatang. Tapi Organisasi Kesehatan Dunia masih beranggapan penelitian semacam itu ”lemah dan tak bisa disimpulkan”. Namun, tak ada salahnya berhati-hati.

25 Agustus 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TENGOKLAH iklan tarif telepon seluler dari berbagai per­usahaan. Tawaran mereka benar-benar menggiurkan: gratis bicara sepanjang hari, bebas menelepon semaumu atau ngobrol sampai dower, dan banyak iming-iming lainnya. Gara-gara tarif murah, orang dengan mudah berhalo-halo tanpa batas. Pulsa mungkin saja ”aman”, namun kesehatan bisa terancam.

Telepon seluler kini bagaikan ”separuh napas” bagi sebagian orang. Maklum, ia bukan lagi tergolong barang mahal. Pembantu rumah tangga atau buruh bangunan pun mengan­tongi telepon. Di Indonesia, menurut Budi Putra, pengamat dan pengelola blog teknologi komunikasi, pengguna telepon seluler kini mencapai 115 juta orang, sekitar separuh dari jumlah penduduk Indonesia. Menurut data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pengguna telepon seluler di seluruh jagat mencapai tiga miliar orang. Dua kali lipat dibanding data 2005.

Di balik semua kemudahan berkomunikasi, telepon seluler memunculkan kekhawatiran, terutama bagi kesehatan. Pemicunya, penelitian Vini Gautam Khurana, ahli bedah saraf dari Universitas Nasional Australia, Canberra, yang dipublikasikan pada akhir Maret lalu.

Selama 15 bulan, Khurana menelaah lebih dari 100 penelitian yang telah dilakukan berbagai lembaga, tentang keselamatan penggunaan telepon seluler. Hasil penelitian itulah yang menimbulkan gelombang reaksi besar hingga sekarang, karena Khurana menyatakan penggunaan telepon seluler akan memicu epidemi tumor otak, yang akan membunuh lebih banyak orang ketimbang rokok. Menurut riset profesor peraih 14 penghargaan medis ini, penggunaan telepon seluler—langsung dari handset—lebih dari 10 tahun akan menggandakan risiko terkena kanker otak.

Tidak hanya Khurana yang punya perhatian besar terhadap dampak buruk penggunaan telepon seluler, lembaga penelitian bergengsi lain juga demikian. Pada Juni lalu Mobile Telecommunications and Health Research di Inggris, bekerja sama dengan Imperial College, London, mengadakan peneli­tian besar-besaran tentang apakah telepon seluler bisa memicu gejala kanker otak, alzheimer, dan parkinson. Penelitian yang didanai pemerintah Inggris dan sejumlah perusahaan seluler ini akan ”membuntuti” 90 ribu orang res­ponden selama setahun. Lalu meng­evaluasi dampak kesehatannya.

Menjawab kekhawatiran dunia akan bahaya telepon seluler, Organisasi Kesehatan Dunia juga telah meluncurkan Health Evidence Network. Ini merupakan layanan informasi Organisasi Kesehatan Dunia Kantor Regional Eropa, sebagai referensi bagi pengambil keputusan di bidang medis. Ternyata, menurut organisasi kesehatan di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa ini, bukti bahwa radiasi telepon seluler dapat memicu tumor otak, tumor pada sel saraf pendengaran, tumor kelenjar saliva, leukemia dan limfoma, masih ”lemah dan tak bisa disimpulkan”. Alasannya, orang hanya memakai telepon dalam waktu terbatas—bukan sepanjang hari secara terus-menerus.

Meski begitu, lembar fakta Organisasi Kesehatan Dunia menyebutkan, tidak ada bukti bukan berarti tidak ada efek. Harus ada penelitian lanjutan yang lebih spesifik untuk tiap-tiap kasus. Untuk itu, pada Oktober 2009, organisasi ini akan mengeluarkan rekomendasi resmi tentang aturan menggunakan telepon seluler, tentu saja berdasar penelitian yang lebih kredibel. Khurana sendiri menyarankan untuk membuat penelitian dampak penggunaan telepon seluler dalam jangka 10-15 tahun, agar menghasilkan ”kajian ilmiah yang solid”.

Belum adanya kepastian tentang tingkat bahaya penggunaan telepon seluler itulah yang menjadi masalah. Para dokter di Indonesia menyatakan, meski pemakaian telepon seluler mening­kat belakangan ini, belum ada peneli­tian di Tanah Air tentang bahayanya bagi kesehatan. Menurut Silvia F. Lumempouw, dari berbagai kasus penyakit saraf yang ia tangani—termasuk alzheimer dan neuroma akustik—belum pernah ada yang terkait langsung dengan penggunaan telepon seluler. Spesialis saraf dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dan Rumah Sakit Dharma Nugraha ini menyatakan, radiasi dari seluler sebetulnya tak terlalu berbahaya jika dibandingkan dengan sumber radiasi lain seperti roentgen atau CT-scan. Para pekerja medis yang setiap hari berurus­an dengan radiasi pun aman, apalagi ”cuma” telepon.

Silvia juga mengingatkan, sebetul­-nya kita juga dikelilingi radiasi dari televisi, radio, komputer, dan berbagai peranti lain. Karena itu, ia menyarankan, kita juga wajib mewaspadai gejala akibat penggunaan telepon seluler yang berlebihan. ”Teknologi kan diciptakan untuk memudahkan, bukan untuk membuat sakit,” katanya.

Pengurus Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia ini membandingkan telepon seluler dengan obat. Jika sebelum dipasarkan, obat harus sukses melalui serangkaian proses (dicoba di hewan, lalu di manusia, kemudian di orang sakit), alat-alat teknologi pun seharusnya begitu. ”Mesti ada aturan dari sisi kesehatan, sebelum produk itu dipasarkan,” kata Silvia. Jangan hanya berorientasi pada kecanggihan tapi tak mementingkan sisi medis.

Himawan W.H. juga menyatakan hal senada. Dokter spesialis telinga, hidung, dan tenggorokan di jaringan Rumah Sakit Mitra Internasional ini menyebut semua radiasi pada dasarnya berbahaya. Namun ra­diasi dari telepon seluler relatif kecil.

Selain dari telepon seluler, potensi ­radiasi di sekitar kita yang pa­tut diwaspadai adalah penggunaan microwave, telepon tanpa kabel, paparan sinar matahari langsung, dan penerbangan. Laporan United States Federal Aviation Administration menyatakan, mereka yang terbang secara rutin terekspos radiasi setara dengan 170 kali dipindai sinar x. Karena selalu me­ngarungi udara itulah, pramugari dan pilot lebih ren­tan terkena ­kan­ker.

Andari Karina Anom

Menyerang Bagian Terlemah

Sel neuron, inti dari otak, bertanggung jawab atas aktivitas berpikir seseorang. Radiasi bisa menghambat regenerasi sel neuron sehingga memunculkan tumor.

Sel Endothellial bertugas mencegah substansi berbahaya dalam darah masuk ke otak. Radiasi telepon seluler bisa mengubah struktur protein di dalam sel itu sehingga toksin bisa masuk ke darah.

Penutup yang disebut ”dura”.

Pembuluh darah di otak.

Otak bagian terluar dilindungi tengkorak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus