Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KETUA Umum Partai Golkar Jusuf Kalla tahu persis bagaimana harus mengatur waktu. Alih-alih jauh-jauh berapat di kantor Partai Golkar di Slipi, Jakarta Barat, untuk urusan Golkar dan Pemilu 2009, ia memilih rapat di belakang kediaman dinasnya di Menteng, Jakarta Pusat.
Rumah yang dipakai itu milik bekas Menteri Kehutanan Hasjrul Harahap. Di bangunan sewaan inilah sejumlah keputusan Golkar diambil. Yang terakhir adalah soal mekanisme penyaringan suara terbanyak untuk calon legislatornya pada pemilihan umum mendatang.
Dulu setiap calon bisa melenggang menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat asalkan berada pada nomor urut atas, sedangkan kini yang menentukan lolos-tidaknya seorang calon adalah pemilih. Mereka yang mengantongi suara terbanyaklah yang masuk Senayan. ”Free fight sehingga mesin partai bergerak penuh,” kata Firman Soebagyo, Ketua Pelaksana Harian II Badan Pemenangan Pemilu Partai Golkar, Rabu pekan lalu.
Senin dua pekan lalu, rapat pleno Dewan Pimpinan Pusat Golkar menyetujui keputusan itu. Rapat setengah jam ini menganulir hasil rapat sepekan sebelumnya yang memutuskan menggunakan mekanisme suara terbanyak seperti diatur dalam Undang-Undang Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2008. ”Pada pleno pertama banyak juga yang bertepuk tangan,” kata Firman. ”Tapi pada pleno kedua lebih banyak lagi.”
Sumber Tempo bercerita, keputusan ini sebenarnya sempat ditentang sejumlah pengurus pusat, tapi hanya segelintir yang berani berteriak. ”Kebanyakan bisik-bisik saja di belakang,” kata si sumber. Mereka ngedumel berpendapat, dengan sistem baru ini, sumbangsih mengurus partai selama ini tak diperhitungkan.
Selama ini, nomor urut kecil atau nomor jadi selalu menjadi privilese bagi pengurus pusat dan keluarganya. Nomor peci—istilah yang kerap dipakai untuk nomor urut atas—sering pula diperjualbelikan.
Dihapusnya sistem ”tradisi keluarga” itu melenyapkan kenikmatan lima tahunan yang selama ini dirasakan petinggi partai: peluang besar untuk menjadi anggota Dewan, gaji lima puluhan juta, uang reses seratus dua puluhan juta, dan tunjangan mobil-rumah-listrik.
Karena itu, banyak yang ”melawan” meski hanya bisik-bisik. ”Ini tidak benar,” ujar seorang anggota Fraksi Beringin kepada Tempo. Mereka berharap rapat pimpinan nasional Oktober mendatang bisa dipakai untuk mengubah keputusan itu. ”Posisi rapat pimpinan nasional kan lebih tinggi daripada rapat pleno pengurus pusat,” kata si sumber.
Orang yang dianggap sebagai biang keladi disetujuinya sistem proporsional terbuka adalah Ketua Dewan Penasihat Partai Golkar Surya Paloh. Sumber Tempo bercerita, awal Agustus sekitar pukul 10 malam, seusai rapat pembahasan calon anggota legislatif oleh tim tujuh yang dipimpin Jusuf Kalla, Paloh muncul.
Tim tujuh ini beranggotakan Wakil Ketua Agung Laksono, Sekretaris Jenderal Sumarsono dan dua wakilnya, Iskandar Manji dan Rully Chairul Azwar, serta Ketua Bidang Syamsul Muarif dan Andi Mattalata plus koordinator wilayah.
Dalam diskusi di ruang tamu, Surya Paloh mengatakan tren kinerja partai menurun: Golkar kalah di beberapa pemilihan kepala daerah dan ada kajian yang menyebutkan perolehan suara Golkar bakal anjlok hingga 12 persen dalam Pemilu 2009. Ini tentu jauh di bawah target Golkar, yang akan meraup 30 persen suara. ”Masak, ketika saya jadi ketua dewan penasihat, suara Golkar malah jeblok,” kata sumber ini menirukan ucapan Paloh.
Alasan lain digunakannya sistem proporsional terbuka adalah banyaknya pengurus pusat dan kerabat yang berebut nomor jadi. Akibatnya, daftar calon berubah berulang kali.
Di daftar calon Golkar, misalnya, beberapa nama petinggi partai dan keluarganya masih bertengger. Sebutlah misalnya Agung Gumiwang Kartasasmita dan Agus Gurlaya Kartasasmita di wilayah Jawa Barat 1 dan 2. Keduanya saudara kandung Ketua Dewan Perwakilan Daerah Ginandjar Kartasasmita.
Pengurus pusat partai juga bercokol di tempat pertama. Di antaranya Ketua Bidang Burhanuddin Napitupulu (Sumatera Utara 1), Enggartiasto Lukita (Jawa Barat 8), dan Firman Soebagyo (Jawa Tengah 3). Selain itu, ada Wakil Sekretaris Jenderal Priyo Budi Santoso (Jawa Timur 1) dan Rully Chairul Azwar (Bengkulu). Tapi, ya itu tadi, dengan sistem terbuka, nomor urut tak ada pengaruhnya.
Rully Azwar membenarkan, umumnya keberatan penggunaan sistem suara terbanyak datang dari pengurus pusat. Ia sendiri mengaku tak mempersoalkan keputusan itu. Rully percaya dia cukup mengakar dan dikenal masyarakat Bengkulu. Begitu juga Firman, yang merasa sering berkunjung ke daerah. ”Saya datang sampai ke tingkat kecamatan, lo,” katanya.
Menurut Muladi, Koordinator Wilayah Daerah Pemilihan DKI Jakarta, soal bilangan pembagi pemilih sebagai syarat memperoleh kursi juga sempat diperdebatkan. Angka 30 persen, seperti diamanatkan Undang-Undang Pemilihan Umum, sempat ditawar menjadi 10-15 persen saja.
Namun semua akhirnya sepakat pembatasan ini dihapuskan. Artinya, calon yang mendapat kursi nanti adalah calon dengan suara terbanyak sehingga persaingan menjadi terbuka. ”Setiap calon jadi berusaha maksimal dan tidak hanya menunggu karena punya nomor jadi.”
Menurut Paloh, upaya meyakinkan pengurus pusat relatif mudah. ”Ini masalah kecil,” katanya seraya tersenyum. ”Yang harus dipikirkan kan bagaimana meyakinkan masyarakat untuk memilih Golkar.” Menurut dia, persaingan dalam Pemilu 2009 sangat ketat. Naiknya suara golongan putih dalam sejumlah pemilihan kepala daerah menunjukkan, ”Mesin partai tidak bekerja,” kata Paloh.
Senin dua pekan lalu, sebelum rapat Dewan Pimpinan Pusat Golkar dibuka, seorang pengurus mengaku didekati oleh seorang petinggi fraksi. ”Sudah, diterima saja keputusan itu,” kata si petinggi. Jusuf Kalla memimpin rapat yang dimulai pukul sembilan malam itu dengan lugas. ”Setuju ya? Setuju ya?” kata Kalla. Lalu, tok, palu diketuk. Sistem nomor urut tumbang berganti suara terbanyak.
Cepatnya partai digelar tak urung mengundang gunjingan. ”Ibaratnya, pantat belum juga sempat duduk, rapat sudah selesai.” Tapi untuk soal ini Paloh membela Kalla. ”Kita kan banyak urusan. Goblok kalau rapat lama-lama,” ujarnya, terbahak.
Sedikitnya, lima orang sempat mempertanyakan keputusan ini. Artis Nurul Arifin, kandidat nomor 1 di Purwakarta, mempertanyakan beleid yang disebutnya tidak konsisten itu. Soalnya, dalam pembahasan Undang-Undang Pemilu, Golkarlah yang ngotot menolak proporsional terbuka.
Tapi Jusuf Kalla meyakinkan Nurul bahwa ia berpeluang lebih besar dengan suara terbanyak. Dalam Pemilu 2004, Nurul mengantongi suara terbanyak tapi tidak masuk Senayan karena suaranya justru disedot kandidat Golkar nomor jadi. ”Dengan sistem ini, Anda pasti masuk,” kata Kalla.
Penanya lainnya adalah Anton Lesiangi, salah satu ketua departemen di partai beringin. Menurut sumber ini, Anton berkeberatan dengan perubahan sistem karena ia harus berlaga secara terbuka dengan calon lain di Lampung—daerah muslim dan belum mengenal dia, yang Nasrani. Sebelumnya, ia berharap akan berkampanye dengan menjual nama partai dan bukan pribadinya. Karena itu, ia minta dipindahkan ke DKI Jakarta. Ia merasa lebih siap berlaga di Jakarta—kota kelahirannya. ”Kalau di Jakarta, ditaruh di nomor berapa pun saya siap.”
Lepas dari silang pendapat itu, ada kekhawatiran, calon jadi bisa menggugat Komisi Pemilihan Umum jika tak masuk Senayan akibat sistem yang baru. Maklum saja, bagaimanapun, Undang-Undang Pemilu masih menggunakan sistem nomor urut.
Soal ini, Kalla tak hilang akal. Kepada para calon anggota legislatif, disodorkan surat pengunduran diri. Surat itu mesti diteken meski tanggalnya masih dikosongkan—baru diisi sesudah penghitungan suara selesai tahun depan. Maksudnya, jika nanti si calon nomor atas tak mendapat suara yang cukup, ia tak bisa menggugat karena sudah menyatakan pengunduran diri. Sesuai dengan undang-undang, calon hanya bisa gagal menjadi legislator jika mengundurkan diri atau meninggal dunia. Soal ini, ”Secara legal sudah dibahas oleh ahli hukum seperti Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Andi Mattalata,” kata Firman Soebagyo.
Menurut Hadar Navis Gumay, Direktur Eksekutif Centre for Electoral Reform, langkah membuat surat pengunduran diri seperti ini dimungkinkan. Namun, menurut dia, untuk mempertegas penggunaan sistem suara terbanyak, harus dilakukan revisi terbatas terhadap Undang-Undang Pemilihan Umum.
Budi Riza, Rina Widiastuti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo