Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font size=2 color=#FF9900>Amerika serikat</font><br />Pendamping dari Delaware

Barack Obama memilih Joe Biden sebagai wakilnya. Melemahkan pencalonannya sebagai presiden?

25 Agustus 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Timothy Michael Kaine begitu bungah pada Kamis pekan lalu. Ia mengabarkan kepada ibunya di Minnesota bahwa ia menjadi salah satu dari tiga nama yang akan dipilih Barack Obama sebagai wakil presiden dari kubu Partai Demokrat. ”Ibu senang sekali mendengarnya,” ucapnya.

Tapi roman Gubernur Virginia itu berubah Jumat malam pekan lalu. Ia baru saja mendapat telepon dari Obama, yang boleh jadi akan merontokkan hati sang ibu. Pengacara 50 tahun yang dikenal vokal menentang beleid hukuman mati itu tak terpilih sebagai wakil Obama. Begitu pula Evan Bayh, senator dari Indiana yang semula memikat hati Obama, terlempar dari daftar pencalonan.

Yang tersisa satu nama: Joseph R. Biden Jr., senator dari Delaware. Tapi Obama tak kunjung mengumumkan Ketua Komite Hubungan Luar Negeri di Senat itu sebagai wakilnya. Satu nama yang sudah keluar dari daftar tiba-tiba masuk lagi. Dia adalah orang yang begitu menguras energinya selama satu setengah tahun ini: Hillary Clinton. Pada hari terakhir ketika Obama mesti memutuskan, para pendukung Hillary mengirimkan surat yang menyatakan siap habis-habisan mendukung Obama bila ia mau menggamit Hillary.

Apakah pasangan calon presiden-wakil presiden ideal yang dirindukan Amerika itu bersatu? Enam jam menunggu, wartawan akhirnya mendapat kepastian. Dari rumahnya di Illinois, Obama mengirimkan pesan pendek dan email kepada 10 juta pendukungnya pada Sabtu pagi pekan lalu. Sepuluh juta pendukung ini adalah orang yang dijanjikan bakal mendapat kabar pertama siapa yang layak menjadi pendampingnya. Dalam emailnya, yang juga diterima Tempo, Obama mengatakan, ”Dengan senang hati, saya mengabarkan Senator Joe Biden akan bergabung bersama kita.”

Obama akhirnya memilih senator 66 tahun itu ketimbang Hillary. Inilah wakil presiden yang, kata Obama, ”Tak akan sama dengan Dick Cheney.” Cheney menjadi pendamping Presiden George Walker Bush. Senator Illinois ini tak ingin mencontoh Bush yang menyerahkan kebijakan energinya kepada sang wakil dan membiarkan Cheney menyetir kebijakan luar negerinya. ”Semua keputusan ada pada saya karena saya presiden,” ia menegaskan dalam­ pidatonya Rabu pekan lalu di hadap­an sekitar 2.600 pendukungnya di Raleigh, Carolina Utara.

Dalam pidato itu pula Obama mengungkapkan ia mendambakan wakil presiden yang sejalan dengan ambisinya. Ia tak ingin angka pengangguran meningkat dan pendapatan per ka­pi­ta turun. Ia bermaksud membangun ­warga kelas menengah di negara adidaya itu. ”Di atas semua itu, saya ingin sese­orang yang mampu menjadi presiden dan dapat saya percayai,” Obama me­negaskan.

Ucapan ini amat beralasan. Wakil presiden harus mengambil alih jabatan jika sang presiden mundur, wafat, berhalangan, atau sedang berada di luar negeri. ”Saya ingin seseorang yang akan menantang pemikiran saya dan bukan cuma jadi penurut ketika menyangkut pembuatan kebijakan,” kata Obama dalam acara The Early Show di stasiun televisi CBS.

Biden memang lebih memenuhi kriteria Obama dibanding Kaine. Dia pernah dua kali menjadi kandidat kepresidenan Amerika. Adapun Kaine, dia pernah menjadi calon wakil presiden bagi Al Gore. Biden, senator kelahiran Pennsylvania, 20 November 1942, pernah mencalonkan diri pada 1988 dan terakhir pada 2008. Februari lalu, pada pemilihan pendahuluan di Iowa, Biden mundur. Ia menyebut Obama sebagai ”orang bersih yang pantas maju sebagai presiden”.

Biden telah berkecimpung di Se­nat selama lebih dari 30 tahun. Ia terpilih sebagai anggota Senat pada 1972. Saat itu dia baru berumur 29 tahun dan merupakan senator paling muda kelima sepanjang sejarah Amerika. Ketika tengah merayakan hari pertama sebagai anggota Senat, Biden mendapat mu­sibah yang sangat memukul. Istri dan anak perempuannya yang berusia 13 tahun yang tengah mengendarai mobil VW tewas tertabrak traktor. Ia kemudian tinggal bersama anak laki-laki satu-satunya.

Di Senat, Joe Biden amat menco­rong. Pengacara sekaligus orator cemerlang, dia punya akar Katolik yang kuat. Ia terhitung lihai membujuk para pemi­lih kerah putih, sesuatu yang menjadi kelemahan Obama. Majalah Time pada 1973 menyebutnya sebagai satu dari 200 sosok harapan Amerika.

Sebagai Ketua Komite Hubungan Luar Negeri di Senat, Biden amat berpengalaman dalam kebijakan luar negeri ataupun isu pertahanan. Bidang ini memang menjadi kelemahan Obama dibanding rivalnya dari Partai Republik, John McCain. Dalam debat di Iowa itu pula, Biden pernah memojokkan Obama dalam isu kebijakan luar negeri.

”Siapa di antara kita yang mampu menghentikan perang? Siapa yang paling paham tentang Pakistan? Siapa di antara kita yang bisa mengangkat telepon dan mengingatkan Putin soal kebijakannya yang salah pada Georgia? Siapa yang mengerti itu semua? Saya punya pengalaman selama 35 tahun,” ujarnya berapi-api.

Seorang anggota staf Obama menyebutkan Obama rupanya terkesan pada kampanye dan kapabilitas Biden dalam menangani isu internasional. Namun, Ben Porritt, juru bicara McCain, sebaliknya menyebut pilihan Obama pada Biden menunjukkan betapa dirinya tak cakap dalam menangani kebijakan luar negeri. ”Obama tak siap menjadi presiden,” kata Porritt.

Serangan terhadap Obama juga diramalkan akan semakin gencar. Ini berkaitan dengan sikap tak terpuji Biden di masa lalu. Ketika mencalon­kan diri sebagai calon presiden pada pemilihan 1988, ia ketahuan menjiplak pidato Neil Kinnock, Ketua Partai Buruh Inggris. Kasus penjiplakan itu membuat Biden memutuskan mundur dari pencalonan. Ia juga pernah menjiplak tugas saat kuliah hukum.

Jaringan Fox yang dekat dengan Partai Republik mengeluarkan percakapan mereka dengan Biden saat mundur dari pemilihan pendahuluan di Iowa. Ketika itu Biden menyatakan sama sekali tak tertarik menjadi wakil presiden. ”Saya tak bertarung untuk jabatan itu. Siapa pun dia, jika menawarkan (jabatan wakil presiden), saya tak akan menerimanya,” ujarnya.

Mungkin Biden telah melupakan percakapan itu. Ia mengangguk ketika tim pemilihan wakil presiden yang dipimpin Caroline Kennedy memasukkan namanya dalam daftar tiga besar pilihan Obama. Daftar ini menciut dari 20 kandidat kemudian menjadi tujuh dan tiga kandidat. Ia pada akhirnya juga meminggirkan Hillary, yang pada jam-jam terakhir menyodok perhatian Obama.

Sampai Sabtu siang pekan lalu, Bi­den, yang sepanjang hari tinggal­ ­di ru­mahnya­ di Delaware, belum me­ngeluar­kan komentar atas pilihan Oba­ma. Ia mungkin tak akan meraya­kan dengan pesta seperti saat dia terpilih menjadi senator pada usia 29 tahun. Dan dia mesti pula menenggang rasa dua kandidat lain yang tersisih. Termasuk pada Kaine, yang masih harus memberi tahu ibunya bahwa Obama urung memilih dirinya.

Yos Rizal Suriaji (AP, CNN, AFP, Washingtonpost.com)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus