MA SHWE nyaris kehilangan nyawa. Juni lalu, ibu rumah tangga yang tinggal di Bangkok, Thailand, ini terserang malaria yang ganas. Infeksi parasit sudah mencapai pembuluh darah di jaringan otak hingga menghantar perempuan 35 tahun ini pada kondisi koma. Dokter memperkirakan umur Shwe hanya tersisa belasan jam.
Kemudian, datanglah pertolongan itu. Seorang dokter menyuntik Shwe dengan obat yang disarikan dari daun qinghaosu. Hasilnya, Shwe sanggup bangun dari koma. Meskipun masih lemah, kondisi tubuhnya juga berangsur membaik. "Paling tidak, saya bisa lolos dari kematian," kata Shwe seperti dikutip Asian Wall Street Journal, dua pekan lalu.
Apa gerangan daun qinghaosu itu? Sebetulnya, tanaman bernama ilmiah Artemisia annua ini bukan pendatang baru di dunia pengobatan. Sejak 2000 tahun silam, para tabib Cina mengenal khasiat qinghaosu untuk menggusur malaria. Awal 1960, ilmuwan Cina mulai giat meneliti tumbuhan ini. Artemisinin, kandungan senyawa aktif di dalam daun qinghaosu, beraksi dengan efisien. Dua atom oksigennya merusak ikatan zat besi (ferrum, Fe) yang ada pada sel-sel darah merah yang dimakan plasmodium. Menyusul pemecahan ikatan zat besi, muncul racun yang membuat sel-sel parasit hancur berantakan.
Pada tahun 1981, pemerintah Cina mulai menerapkan qinghaosu untuk mengikis malaria. Ternyata sukses. Tahun 1970-an, Cina memang mencatat jutaan kasus malaria tiap tahun, sementara saat ini tercatat kurang dari 100 ribu kasus malaria per tahun. Thailand pun mengikuti jejak Cina, dengan hasil yang cukup fantastis. Hanya dalam enam tahun, 1994 sampai 2000, qinghaosu berjasa menurunkan kasus malaria di Thailand sampai 90 persen.
Namun, seperti umumnya tanggapan terhadap obat tradisional, para ilmuwan Barat bersikap skeptis menanggapi temuan daun qinghaosu. Padahal mereka sendiri sebenarnya tak punya cukup penelitian yang intens tentang malaria. Soalnya, malaria identik dengan penyakit penduduk negara miskin, yang tidak menjanjikan untung melimpah. Walhasil, industri obat pun enggan menanam jutaan dolar untuk penelitian daun qinghaosu.
Sementara itu, malaria melaju kian agresif. Menurut Gerald Keusch, ilmuwan yang menjadi komandan Prakarsa Multilateral untuk Malaria (MIM), selama ini para ilmuwan terbius mantra yang menyebut bahwa malaria menelan sejuta korban tiap tahun. Padahal angka itu jelas kuno karena dirilis setengah abad silam. Riset terbaru, digelar MIM sejak tahun 1997, menunjukkan malaria "berprestasi" menelan 700 ribu-2,7 juta jiwa per tahun. Dan 90 persen kematian itu terjadi di Afrika.
Tentu saja bukan cuma Afrika yang terkena dampak malaria. Mobilitas masyarakat dunia yang kian tinggi memungkinkan parasit menyebar ke segala penjuru. Indonesia, yang kini punya 15 juta penderita malaria, dengan iklim tropis yang ideal untuk kehidupan nyamuk, pun termasuk wilayah rawan. Apalagi malaria yang menyerang balita berisiko meninggalkan bekas yang serius, yakni keterbelakangan mental dan kecerdasan rendah. Hal ini sudah pasti membahayakan kualitas bangsa di masa depan. Karena itu, "Malaria sudah tak bisa lagi ditoleransi," demikian tutur Keusch dalam The American Journal of Tropical Medicine and Hygiene edisi pekan lalu.
Nah, bagaimana malaria bisa berkembang begitu agresif? Keusch menjelaskan, deretan faktor eksternal seperti derap industrialisasi, polusi, pemanasan global, dan merebaknya lokasi pengungsian telah mengubah sifat parasit malaria. Plasmodium menjelma menjadi makhluk yang tahan banting mengatasi gempuran obat. Penyemprotan pestisida DDT (dietil difenil trikloroetan), yang masih dilegalkan di sebagian besar negara Afrika, juga turut membuat mutasi parasit ini makin melesat.
Adalah Profesor Carol Sibley, ahli genetika dari Universitas Washington, Seattle, AS, yang memotret percepatan laju mutasi parasit malaria di Afrika. Selama lima tahun terakhir, Sibley banyak menjumpai strain baru parasit malaria di beberapa negara di Afrika. Enam bulan lalu, misalnya, Sibley menjumpai tiga strain baru Plasmodium falciparum pada sembilan pasien malaria di Tanzania. Sibley mengakui, masih dibutuhkan serangkaian verifikasi untuk memastikan penemuannya. Namun, yang pasti, parasit malaria di Afrika kini melaju lebih ganas. Obat-obatan turunan kina termasuk klorokuin tak lagi berdaya melawan aksi parasit malaria.
Menyimak makin ganasnya malaria di Afrika, sebagian ilmuwan menyarankan pengobatan dengan daun qinghaosu. Namun, apa boleh buat, riset mengenai artemisinin dalam qinghaosu belum terlalu agresif sehingga harganya pun masih relatif mahal. Satu paket obat klorokuin, misalnya, cuma berharga 10 sen dolar, sedangkan obat yang dibuat dari turunan senyawa artemisinin bisa mencapai US$ 40.
Kendala qinghaosu pun bukan cuma soal harga. Sampai kini para ilmuwan belum bersepakat mengenai keamanan artemisinin. Menurut Amir Syarief, farmakolog dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, konsumsi artemisinin dalam waktu lama berisiko menekan jumlah cikal bakal sel darah merah. Akibatnya, pasien bisa mengalami anemia.
Selain itu, seperti diungkapkan Syafruddin, Kepala Laboratorium Malaria di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jakarta, terdapat indikasi artemisinin mengganggu sistem saraf pusat. Karena itu, pemerintah belum merekomendasikan qinghaosu sebelum ada riset yang komplet. Lembaga Eijkman dalam waktu dekat akan menggelar uji klinis untuk memastikan kadar keamanan tanaman tersebut. Namun, meski izin resmi belum muncul, qinghaosu telah menerbitkan harapan mengikis malaria di Indonesia. Buktinya, "Saya dengar beberapa dokter di sini sudah menggunakan qinghaosu secara sembunyi-sembunyi," kata Syafruddin.
Mardiyah Chamim, Dewi Rina Cahyani, dan Syarief Amier
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini