Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA abad ke-21 ini, adakah pemimpin Indonesia yang bermoral? Jika memang ada yang perlu diingat dan ditiru oleh mereka yang aktif ber-politik masa kini, mereka perlu mengingat sikap, perbuatan, kebijakan, dan reputasi Mohammad Hatta yang berkaitan dengan moralnya. Seorang pemimpin bisa saja cekatan dalam menentukan langkah; atau memiliki banyak pengikut atau bahkan didukung secara membabi buta oleh masyarakat, tapi itu semua belum menjamin moralnya. Namun, jika seorang pemimpin berangkat dari ke-pemilikan moral yang tinggi, niscaya musuh politiknya tak akan dapat berkutik kecuali dengan fitnah. Hatta, salah seorang proklamator kemerdekaan Indonesia kita, adalah seorang pemimpin yang langka, yang senantiasa memperlihatkan moral tinggi dalam bergerak, baik secara prihadi maupun dalam bermasyarakat dan dalam berpolitik. Ia dikenal sebagai pemimpin yang bersih dan tak pernah berupaya memperkaya diri dan keluarga. Ia juga bersih dalam menilai kekuasaan yang sebenarnya dapat ia permainkan untuk menjaga kedudukannya. Dalam hubungannya dengan perempuan, ia selalu menghargai perempuan tersebut sembari tetap menjaga jarak berdasarkan akhlak yang dituntut dari seorang muslim yang saleh. Akibatnya, ia kerap dianggap kaku dalam berhubungan. Dalam dunia politik, dulu dan kini, ia adalah suri teladan. Sejak tahun 1930, ia telah mulai berbeda pandangan dengan Sukarno. Ketika itu Sukarno menyetujui pembubaran Partai Nasional Indonesia (PNI), kemudian bergabung dengan Partai Indonesia (Partindo). Hatta dengan tegas mengemukakan perlunya PNI dipertahankan sesuai dengan prinsip PNI itu sendiri. Tetapi ia mengemukakan kritiknya secara wajar tanpa melecehkan. Ia sadar bahwa dalam politik bangsa dan masyarakat kita masih perlu dibina, maka ia pun memberi contoh dengan mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia. Partainya menjadi partai kader. Dalam masa Demokrasi Terpimpin, Hatta berusaha mendidik masyarakat melalui brosur kecil—antara lain Demokrasi Kita—agar mampu mempelajari langkah-langkah Sukarno yang menyimpang dari cita-cita demokrasi kita, tetapi toh ia mengemukakannya dengan lurus. Meski Sukarno memberangus brosur itu, toh Hatta tak kunjung henti mengirim surat kepada Sukarno yang berisi anjuran dan nasihat agar mengubah pendiriannya, dan agar ia kembali kepada cita-cita kemerdekaan semula. Dalam na-sihatnya itu, Hatta tak pernah melecehkan atau mengecilkan arti diri pribadi Sukarno. Pada zaman Orde Baru, saat Soeharto mulai berkuasa (tahun 1966), bersama beberapa orang kalangan muda Islam, Hatta berusaha mendirikan suatu partai baru, Partai Demokrasi Islam Indonesia, yang tidak dibenarkan oleh Presiden Soeharto. Dengan rela ia tunduk pada Soeharto dan menganjurkan kepada generasi yang lebih muda agar tetap pada maksud semula, karena masa akan berubah. Pada tahun 1971, Orde Baru untuk pertama kali menyelenggarakan pemilihan umum dengan menyediakan kursi bagi sejumlah golongan dan daerah, yang mengakibatkan pemilihan umum ini hanya berlaku bagi sebagian kalangan DPR dan MPR. Hatta terpaksa mengingatkan Soeharto bahwa pemilihan umum seharusnya diberlakukan bagi segenap anggota lembaga per-wakilan tersebut. Bila tidak, menurut Hatta, sebaiknya pemilihan umum tak usah di-selenggarakan. Sejak itu secara berangsur ia banyak mengkritik pemerintah Orde Baru, antara lain dalam bidang ekonomi. Tetapi Hatta sekadar mengingatkan; ia tidak menggalang massa. Sikap Hatta dalam berpolitik itu jelas berdasarkan akhlak dan moral. Di masa kanak-kanak, Hatta sudah menikmati ajaran Islam. Ia berasal dari rumah yang turut mengurus lembaga surau; tempat pendidikan Islam secara tradisional di kampungnya di Batuhampar, antara Bukittinggi dan Payakumbuh. Sembari bersekolah di HIS Bukittinggi, ia juga mengaji secara teratur di bawah ajaran Syeikh Muhammad Djamil Djambek, salah seorang pembaru Islam di Minangkabau. Ketika menempuh pendidikan di MULO, Padang, ia juga memperoleh bimbingan agama dari Haji Abdullah Ahmad, juga seorang pelopor pembaru Islam di daerah tersebut. Maka, ketika ia menjadi bendahara Jong Sumatranen Bond (Persatuan Pemuda Sumatra) di Padang, dan kemudian sebagai bendahara pengurus pusat JSB di Jakarta (di ibu kota ini, Hatta menempuh pendidikan sekolah dagang menengah, Prins Hendrik School), ia melaksanakan tugasnya dengan baik, bersih, dengan pembukuan yang sangat rapi. Tak mengherankan jika saat Hatta menjadi wakil presiden, baik sebelum maupun sesudah ia berumah tangga, tidak pernah terbetik berita yang mengarah pada kemiringan. Mungkin ada juga yang menganggap ia cukup kaku dalam pergaulan, tetapi bisa juga dikatakan bahwa ia menjaga jarak. Ketika Hatta berkunjung ke kawasan Maluku, para penyambutnya, baik pejabat maupun tokoh setempat—yang lazim menyelenggarakan tari lenso pada kesempatan kunjungan pejabat—malah sengaja menunda acara tarian tersebut hingga Hatta meninggalkan pertemuan. Sesudah Hatta tidak lagi ada di tempat, tari lenso pun ramai digelar oleh para hadirin. Menurut sejumlah tokoh Maluku saat itu, mereka ingin menghormati pendirian Hatta. Bagaimana Hatta mempertahankan pendirian politiknya? Jika ia menganggap sebuah pendapat politik yang tidak wajar, ia akan menentangnya dengan keras. Contoh sikapnya yang keras terpancar pada saat sidang pleno Komite Nasional Indonesia Pusat (sebagai pengganti parlemen di masa revolusi) yang diselenggarakan di Malang pada 25 Februari hingga 5 Maret 1947. Sidang itu dihadiri oleh semua anggota KNIP (termasuk yang beberapa saat se-belumnya diangkat oleh Presiden dengan alasan bahwa jumlah anggota yang ada terlalu sedikit). Saat itu, KNIP belum memperlihatkan keterwakilan daerah dan golongan yang tumbuh sejak kemerdekaan, terutama sesudah Oktober 1945, ketika KNIP bagai dijadikan perwakilan rakyat yang sesungguhnya. Perubahan kepartaian yang ada juga menuntut perubahan pada komposisi keanggotaan KNIP. Sebelum sidang KNIP di Malang, sudah terdengar suara pro dan kontra. Ada yang menolak penambahan anggota KNIP, sementara Presiden Sukarno dalam pembukaan sidang pleno KNIP di Malang itu mengemukakan bahwa sebelum dapat diselenggarakan pemilihan umum, adalah kewajiban Presiden untuk mengangkat para anggota lembaga perwakilan karena Presiden "dianggap sebagai wakil dari seluruh rakyat". Ucapan ini jelas menggugah reaksi para anggota. Maka, banyak anggota yang menentang keputusan pemerintah dalam "menyempurnakan" keanggotaan KNIP itu. Akibatnya, untuk beberapa saat, terkesan bahwa ada kesenjangan pendapat antara pemerintah dan KNIP. Terjadilah perdebatan sengit selama dua hari. Dengan suara yang keras dan tegas, Hatta menghentikan perdebatan itu dengan mengemukakan bahwa bila KNIP memang tidak mempercayai Presiden dan Wakil Presiden, lembaga itu dapat memilih presiden dan wakil presiden lain. Maka, suasana sidang pleno langsung hening, mereka tak menyangka akan mendengar ucapan ini dari Hatta. Seketika saja, mereka tak melanjutkan kritiknya terhadap keputusan pemerintah tersebut. Para anggota terdiam dan akhirnya menerima tuntutan Hatta. Keputusan Presiden menambah anggota KNIP diterima. Peristiwa ini mencerminkan sifat Hatta yang tegas, jelas, dan tidak menginginkan kekuasaan. Dalam keadaan seperti ini, tampaknya tidak ada seorang pun dalam KNIP yang ingin menangguk di air keruh. Saat itu, jelas bagi anggota KNIP, wibawa Hatta menjaga kedudukan Presiden Sukarno. AGAKNYA akan sukar untuk percaya bahwa Hatta pun bisa kekurangan uang. Tetapi gajinya pada awal tahun 1950 hanya Rp 3.000. Beberapa tahun kemudian, gajinya Rp 5.000. Kenaikan ini semulanya di-tolaknya, tetapi akhirnya ia menerimanya juga. Sebab, jika ia tetap menolaknya, akibatnya gaji pejabat lain, termasuk gaji perdana menteri, akan ikut mandek. Setelah berhenti dari jabatannya sebagai wakil presiden pada Desember 1956, Hatta mulai menghadapi kenyataan pahit dalam hidupnya. Pada saat itu, Hatta memerintahkan I. Wangsawijaya, sekretaris pribadinya, untuk mengembalikan dana taktis sebagai wakil presiden sejumlah Rp 25.000. Padahal, dana taktis tersebut tidak perlu dipertanggungjawabkan. Sesungguhnya, dana pensiun yang di-terima Hatta tidak memadai sama sekali untuk hidup. Ia juga menolak tawaran beberapa perusahaan, termasuk perusahaan asing, untuk menjadi komisaris perusahaan. Mengapa? Alasannya, "Apa kata rakyat nanti?" Ia khawatir bahwa perjuangannya membela rakyat tidak akan murni lagi, dan ia mudah dituduh meninggalkan rakyat bila ia menjabat komisaris sebuah perusahaan. Dalam otobiografinya, Hatta menulis bahwa memang ia memperoleh honorarium dari beberapa buku yang ditulisnya. Ia juga mengakui bahwa beberapa kawannya membantu dia dalam menjalani hidup sekeluarga dan ia menerimanya karena kawan-kawannya memberikan bantuan itu dengan ikhlas. Belakangan barulah pemerintah memberikan perhatian kepadanya dengan menaikkan jumlah pensiun yang diterimanya. Pada saat keterpurukan negeri kita saat ini, sosok Hatta menjadi satu dari sedikit tokoh yang bercahaya. Indonesia, tentu saja, apalagi Minangkabau khususnya, memerlukan banyak Hatta. Bukan hanya pemikiran dan sikap politiknya, tetapi juga moral dan akhlaknya akan menjadi monumen teladan di hati rakyat Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo