DI atas ngarai nun di Bukittinggi, hidup tak pernah berubah. Dinding gedung bergaya arsitektur Minangkabau itu masih diselimuti lumut, atapnya masih terdiri atas serangkaian seng yang sudah karatan, dan halaman itu masih penuh sesak dengan rumput liar. Tak mudah bagi pengunjung untuk menemukan gedung ini karena letaknya persis di bawah jalan raya. Yang membedakan hanyalah sebuah papan nama kecil yang terpasang di pintu masuk: "Perpustakaan Mohammad Hatta"—sebuah nama yang identik bukan saja dengan lahirnya republik ini, tapi juga dengan buku dan ilmu.
Di kota kelahirannya itu, masyarakat Bukittinggi membangun perpustakaan dengan menggunakan namanya untuk mengenang jasa Bung Hatta. Hatta pula yang meresmikan perpustakaan ini dengan membuka kunci pintu perpustakaan pada 12 Agustus 1976, persis pada hari ulang tahunnya yang ke-74. Juli silam, reporter TEMPO mencoba menelusuri perpustakaan ini. Bak sebuah rumah gadang yang terlupakan, perpustakaan itu jauh dari perawatan. Sunyi, senyap, tanpa aura intelektual, ruang baca perpustakaan yang berukuran 20 meter persegi itu, hari itu, dikunjungi tujuh orang siswa SMU, yang asyik membaca roman picisan. Padahal, di dinding belakang dan di lantai dua perpustakaan itu terdapat serangkaian rak buku yang menampung 21 ribu buah buku. Yang berminat mempelajari pemikiran Hatta dipersilakan mengunjungi sebuah lemari khusus yang berisi 100 eksemplar buku karya Hatta, di antaranya Patriot of Patriot, Sekitar Proklamasi, dan buku filsafat Pengantar Alam Pikiran Yunani, yang terdiri atas tiga jilid.
Di lantai dua perpustakaan itu, buku-bukunya bernasib lebih menyedihkan. Se-paruh ruangan itu penuh sesak dengan tumpukan buku yang sudah berubah warna menjadi kecokelatan, lapuk, dan berdebu. "Masa, buku dibiarkan lapuk di dalam lemari?" kata Trides, seorang guru SD yang menyempatkan diri mengunjungi perpustakaan itu sebulan sekali. Menurut Kepala Perpustakaan Syahrial, dalam sehari setidaknya ada 5 hingga 10 orang pengunjung yang tak lebih dari sekadar membaca koran dan majalah. "Jarang ada yang meminjam buku Bung Hatta," tutur Syahrial.
Kisah suram ini memang tak lepas dari masalah klise: soal dana. Jangankan punya komputer, perpustakaan ini bahkan tak memiliki mesin fotokopi. Pemerintah kota hanya memberikan dana Rp 5 juta per tahun untuk membeli buku, membayar gaji pegawai, dan memenuhi biaya operasional. Tak berlebihan jika sosiolog Muchtar Naim jengkel dan menilai pemerintah kota kurang memberikan perhatian. "Ini menandakan adanya kemunduran orang Minang, yang dari segi intelektual tak ada lagi yang patut dibanggakan," kata Muchtar, yang memimpin pembangunan perpustakaan itu.
Betulkah ini hanya persoalan orang Minang? Tentu saja tidak. Lihatlah Perpustakaan Yayasan Hatta di Yogyakarta, yang juga penuh sesak dengan hamparan ilalang setinggi dengkul. Tengok pula cat dinding bangunannya, yang juga belum pernah diperbarui, atau deretan buku di atas rak kayu, yang lebih akrab dengan debu ketimbang tangan pengunjung. Dan rasakan betapa senyapnya perpustakaan itu karena memang pengunjungnya hanya mencapai lima sampai tujuh orang setiap hari. Padahal, perpustakaan yang terdiri atas dua unit bangunan ini menyediakan 200 meja dan kursi. Tampaknya, pengunjung hanya ramai saat mahasiswa menghadapi ujian semester. "Saya lebih senang ke sini karena suasananya tenang, tidak ramai seperti perpustakaan di kampus," ujar Mali, mahasiswa UPN Veteran Yogyakarta.
Mahasiswa seperti Mali yang mengunjungi perpustakaan Hatta lazimnya tak meminjam atau membaca buku koleksi perpustakaan, tapi membawa buku sendiri untuk dibaca di perpustakaan. Padahal, menurut Fauzie Ridjal, Kepala Perpustakaan Yayasan Hatta, mereka memiliki 33 ribu eksemplar buku sejarah, kebudayaan, dan filsafat. Pemerintah hanya memberikan dana Rp 5 juta per tahun, sedangkan dana dari yayasan hanya mampu menggaji sekenanya 13 karyawan. Menurut Fauzie, dengan keterbatasan dana, seyogianya perpustakaan ini lebih tepat berfungsi sebagai memorial library. "Tapi untuk itu juga perlu dana yang memadai," tutur Fauzie.
Syahdan, Perpustakaan Hatta Foundation ini pernah dicita-citakan untuk menjadi perpustakaan terbesar di Asia Tenggara. Seperti yang diutarakan Deliar Noer dalam buku Mohammad Hatta: Biografi Politik (LP3ES, 1990), perpustakaan ini dibina oleh Yayasan Hatta. Hatta sendiri tidak duduk sebagai pengurus karena namanya dipinjamkan untuk "mempermudah dan memperlancar usaha pengumpulan buku, karena Hatta memang terkenal seorang yang sangat mencintai ilmu dan buku," demikian tulis Deliar Noer. Bahkan, pada 1950, yayasan itu bisa memperoleh buku-buku tentang peradaban Asia, Arab, dan Afrika seharga 5 juta gulden dari Belanda. Toh, pada 1962, Hatta sempat sedih melihat situasi perpustakaan yang, menurut dia, "…tidak terurus sebagaimana mestinya."
Kepedihan Hatta semakin memuncak pada saat hubungannya dengan Sukarno memburuk. Pada 1965, setelah peristiwa Gestapu, Hatta menulis surat kepada Masagung tentang perasaannya terhadap Sukarno: "…masih diambilnya (yaitu Sukarno) kesempatan untuk menyatakan iri hatinya kepada saya, dengan menyerahkan gedung Yayasan Hatta (Hatta Foundation) di Yogya yang baru sepertiga selesai kepada AURI untuk dijadikan rumah penginapan AURI." Saat itu, tampak betul hubungan Hatta dan Sukarno yang patah arang, lengkap hingga menyentuh persoalan yayasan ini.
Pendiri yayasan ini sesungguhnya bukan orang sembarangan, yakni Margono Djojohadikusumo, pendiri BNI 1946, yang juga orang tua ekonom Sumitro Djojohadikusumo. Bahkan, belakangan, nama yayasan itu berubah menjadi Yayasan Hatta-Margono. Tapi, dalam hal ini, William Shakespeare harus dipercaya: apa artinya sebuah nama. Nama besar Hatta dan Margono tak terpancar dari hidup perpustakaan itu. Bahkan, kini, mengganti atap sirap yang sudah bocor pun tak mampu. Tak ada dana untuk menambah koleksi buku, kata Fauzie Ridjal. Akibatnya, jumlah pengunjung turun dari tahun ke tahun. Sebagai gambaran, pada 1998 mereka berhasil meraup 9.500 pengunjung, tapi pada tahun 2000 perpustakaan itu hanya dikunjungi 5.000 orang, yang se-bagian besar terdiri atas mahasiswa S-2 dan S-3. Kerisauan Fauzie kini bertambah karena Universitas Gadjah Mada, sebagai pemilik tanah, akan menggunakan area itu. Dan kelangsungan hidup perpustakaan ini masih akan terus dipertanyakan….
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini