Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Penyakit Wajib Warga Papua

12 Agustus 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUKAN orang Papua kalau belum pernah sakit malaria. Evert Ramandey, warga Kabupaten Polomak, Jayapura Selatan, Irianjaya, seratus persen meyakini ungkapan tersebut. Ia pun tak pernah risau saat parasit malaria menyerang tubuhnya. "Saya biasa kena malaria sekali sebulan," kata pemuda berusia 21 tahun ini. Malaria agaknya seperti "penyakit wajib" saja bagi warga Papua. Sulit mengelakkannya. Maklum, lingkungan wilayah ini cocok untuk perkembangbiakan nyamuk. Hutan, rawa-rawa, dan suhu udara yang ekstrapanas membuat nyamuk Anopheles sp. yang membawa parasit malaria hidup nyaman. Kondisi ini menjadikan Irian sebagai wilayah endemis malaria tertinggi di Indonesia. Di provinsi itu, sejak 1985, malaria menempati peringkat pertama penyakit yang ditangani pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) dan rumah sakit. Pada 1999, terjadi 32.486 kasus malaria. Setahun berikutnya, angka itu melonjak enam kali lipat hingga mencapai 222 ribu kasus dengan 146 korban meninggal. Kampanye pemasangan kelambu tempat tidur guna mencegah gigitan nyamuk sebenarnya telah sering digelar. Namun, anjuran ini kurang manjur. "Kelambu bikin hawa tambah panas," kata Evert. Hal itu diper-parah dengan keengganan masyarakat Irian berobat ke dokter. Selain kesulitan keuangan, lokasi desa yang terpencil di tengah hutan menghambat masyarakat menjangkau fasilitas kesehatan. Penduduk pun menoleh pada jalur alternatif, memanfaatkan daun dan akar tetumbuhan hutan. Evert, misalnya, meminum air rebusan kulit kayu pohon ular untuk melumpuhkan malaria. Ampuhkah ramuan dari kulit pohon kayu ular itu? Gejala malaria, demam, tubuh menggigil, mulut terasa pahit, dan pusing kepala, memang reda setelah Evert meminum ramuan kulit kayu ular. Namun, parasit malaria belum sepenuhnya tumpas. Buktinya, hampir setiap bulan parasit Plasmodium sp. kembali menggerogoti daya tahan tubuh Evert. Kalaupun berobat ke dokter, menurut Didik Irawan, konsultan Badan Kesehatan Dunia (WHO) di Irianjaya, sebagian besar pasien tidak berdisiplin. Obat yang diresepkan tidak diminum, tapi hanya menghuni laci meja. Kerap pula terjadi kekeliruan cara minum obat. Pil klorokuin, misalnya, mestinya diminum dengan aturan 4-4-2, yang disesuaikan dengan siklus hidup parasit. Artinya, empat tablet di hari pertama, empat tablet di hari kedua, dan dua tablet di hari ketiga. Namun, pasien hanya minum klorokuin tiga kali sehari. Kekeliruan dosis sering pula terjadi karena puskesmas kehabisan obat sehingga memberikan dosis yang rendah. Akibatnya, parasit malaria hanya pingsan sementara dan siap beraksi kembali bila kondisi tubuh manusia yang menjadi inang sedang menurun. Itu masih "belum apa-apa". Dampak lebih gawat adalah yang ditimbulkan oleh perubahan sifat atau mutasi genetik parasit malaria. Sebetulnya, tren mutasi ini sudah diperkirakan sejak pemerintah menggelar gerakan penyemprotan insektisida yang disponsori WHO pada 1971. Kala itu, gebrakan ini cenderung bersifat sepotong-sepotong. Teknologi penyemprotan tidak menjangkau seluruh habitat nyamuk. Program penyadaran masyarakat mengenai langkah pencegahan malaria juga tidak digelar intensif. Akibatnya, nyamuk-nyamuk yang bertahan menjelma menjadi spesies sakti yang tidak mempan lagi digempur obat-obatan untuk malaria. Jenis yang paling gesit bermutasi adalah Plasmodium falciparum yang memicu malaria tropika. Parasit ini mengobrak-abrik pembuluh darah tepi yang memasok darah ke seluruh tubuh, termasuk jaringan saraf. Pada tahap lanjut, otak bakal terganggu, tingkat kesadaran merosot drastis, dan pasien menjadi koma atau bahkan meninggal. Pada ibu hamil, serangan malaria bisa merusak pertumbuhan janin sehingga memicu keguguran atau bayi lahir prematur ataupun cacat. MCh, Kristian Ansaka

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus