PERTENTANGAN pandangan tentang aborsi biasanya berada di te- ngah dua jenis abortus provokatus. Yang satu, abortus provokatus kriminalis, tindakan yang melanggar hukum. Yang lain, abortus provokatus medisinal, dilakukan dengan alasan medis. Dan pada masa sekarang ini tak mudah membagi mana abortus yang "baik" dan yang "jahat". Di balik aborsi yang kriminal tadi terdapat berbagai fenomena sosial. Karena itu, menurut dr. Kartono Mohamad, Wakil Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia, yang juga anggota Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), "Persoalan aborsi sekarang ini sudah berge- ser dari masalah kesehatan ke masalah masyarakat." Sedangkan salah satu fenomena sosial di balik dilema aborsi adalah pengguguran kandungan di luar nikah. Khususnya kehamilan di kalangan remaja yang, konon, meningkat. Namun, apa benar demikian? Untuk mencari jawabannya, belum lama ini Kelompok Kajian Humaniora, Yogyakarta, mendiskusikannya di Masjid Al-Amin, Gowongan. Pembicaranya Helly P. Sutjipto dan Faturochman. Kedua peneliti muda dari Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada ini memaparkan hasil penelitian mereka tentang "Sikap Remaja terhadap Abortus". Penelitian berlangsung awal 1989 di Bali dan Daerah Istimewa Yogyakarta. "Kami sengaja mengambil kedua daerah ini karena kami asumsikan mempunyai ciri-ciri budaya yang menonjol," kata Faturochman. Respondennya terdiri dari remaja yang berstatus belum menikah. Mereka berusia 14 tahun hingga 24 tahun. Di Provinsi DIY dijaring 745 responden. Di Bali penelitian melibatkan 690 responden. Jadi, jumlah responden 1.435 orang. Jumlah responden pria dan wanita berimbang -- 731 pria dan 704 wanita. Responden dipilih secara purposive, dengan metode angket dan wawancara. Adakah para responden setuju dengan pengguguran kehamilan yang di luar nikah? Jawabannya malah di luar dugaan. Ternya- ta, 73,77% responden pria dan 76,8% responden wanita menginginkan bayi yang dikandung di luar nikah itu tetap dipelihara hidup. Yang setuju bayi itu digugurkan sedikit, hanya 6,4% responden pria dan 10,1% responden wanita. Tapi secara umum terungkap pula besarnya toleransi para remaja pada aborsi, khususnya kalau cukup beralasan untuk dilakukan. Misalnya, karena tak mampu merawat bayi, umur ibu masih terlalu muda, pria yang menghamilinya tidak ber- tanggung jawab, kehamilan terjadi sebab diperkosa, alasan ekonomi, dan calon ibunya masih sekolah. Bahkan 54,8% dari 1.435 responden setuju aborsi dilakukan bila kehamilan karena perkosaan. Sedangkan mereka yang setuju aborsi dengan alasan pria yang menghamilinya tak bertanggung jawab ada 29,1% . Yang setuju aborsi karena calon ibu tidak mampu merawat bayi tercatat 22,1%. "Dan yang mengejutkan, ada 34,3% responden setuju tindakan aborsi dilakukan dengan alasan calon ibu itu masih sekolah," kata Helly. Ternyata, mereka berani melakukan tindakan aborsi cuma karena masalah sepele seperti itu. "Mereka lebih mementingkan sekolah daripada mengasuh bayinya," tambahnya. Menurut Helly, saat ini pandangan wanita terhadap aborsi sudah mulai mengarah pada masalah hak wanita untuk tidak mengandung. Sebuah kecenderungan yang sedang melanda dunia. "Mereka pada dasarnya memang tidak ingin mengandung," katanya. Dalam diskusi itu keduanya juga mengemukakan perbedaan kecenderungan menggugurkan kandungan di negara-negara maju di Eropa dan Amerika Serikat dengan di Indonesia. "Pengguguran kandungan di sini umumnya dilakukan oleh wanita muda yang belum menikah, sebagai upaya untuk menutupi aib," kata Faturochman. "Rasa malu, atau menutupi aib itu, demi nama baik keluarga. Kehormatan ini terpaksa dipertahankan dengan jalan pintas." Sebaliknya di negara-negara maju tadi. Menurut Faturochman, aborsi paling banyak dilakukan ibu-ibu yang telah melahirkan. Mereka melakukan aborsi dengan alasan tidak ingin mengandung lagi. Jadi, sesungguhnya bisa dikategorikan sebagai salah satu usaha keluarga berencana. Kata Faturochman, penelitiannya menunjukkan wanita-wanita yang melakukan aborsi umumnya memiliki kepribadian yang kurang kuat. Karena itulah, ia berpendapat, "Aborsi pada masyarakat kita lebih banyak dilakukan oleh orang-orang yang mementingkan kesenangan diri sendiri." Mereka sengaja menolak hamil karena ingin menikmati hidup, atau mencari kesenangan. Pandangan yang egosentris itu tercermin pada jawaban responden tentang hubungan seks sebelum menikah. Secara umum, yang pria lebih permisif kalau dibanding dengan si wanita. Tentu, terdapat pula faktor afeksi. "Dalam hal ini cinta dan sudah dekatnya jenjang perkawinan ikut mem- pengaruhi sikap permisif itu," kata Helly. Untuk menguatkan pandangannya, Helly mengutip data aborsi dari RS Dr. Soetomo, Surabaya, tahun 1988. "Dari 881 pasien aborsi itu 60% melakukannya karena memang tidak menghendaki kelahiran anak yang mereka kandung," ujar Helly. Dari 506 pasien yang memang berniat melakukan aborsi, 23% tercatat bukan pertama kalinya mencoba mengugurkan kandungan. Sebelumnya mereka pernah melakukan percobaan aborsi, malah secara ilegal. Menurut Helly, saat ini ada kecenderungan dalam masyarakat kita mengadopsi aborsi seperti yang terjadi di negara-negara Barat. "Kecenderungan ini makin hari semakin menguat. Bahkan dewasa ini sedang terjadi proses memperjuangkan legalisasi aborsi. Sekelompok orang dalam masyarakat ingin pengguguran kandungan itu diberi izin secara legal," ujarnya. Ketika melakukan penelitian di Bali, ia tanya kepada gadis-gadis di sana tempat praktek yang melakukan aborsi. Jawabannya tanpa kekhawatiran. "Malah ringan saja mereka menunjuk tempat yang saya maksudkan itu," kata Helly. Heddy Lugito, Jim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini