KALAU perempuan ingin mencegah kanker payudara, kawinlah ketika umur paling lambat 20 tahun. Ini pandangan Prof. Dr. Soeripto, yang dikemukakan Kamis, 17 Mei lalu, di Aula Universitas Gadjah Mada dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar. Tapi ahli patologi kelahiran Nganjuk. Jawa Ti- mur, 50 tahun silam ini mengingatkan mereka agar jangan kawin -- atau melakukan hubungan kelamin -- di bawah usia 16 tahun. Yang ini diimbaunya untuk menghindarkan kanker leher rahim. Penyebab kanker itu multifaktorial. Mungkin karena "faktor dalam" -- yaitu terjadinya perubahan-perubahan pada inti sel suatu jaringan tubuh, baik perubahan genetik maupun perubahan susunan kimiawi sel-sel. Dan yang "faktor luar" bisa karena virus, bahan kimia, hormon dan gangguan imunitas. Faktor ini bahkan menimbulkan perubahan pada sel-sel jaringan. "Jika faktor-faktor tersebut bekerja, maka sel tak dapat lagi mengatur diri dan tumbuh tanpa tujuan," kata patolog itu. Pada proses in sel-sel normal berubah jadi sel-sel ganas. Mula-mula menimbulkan tumor, lama kelamaan menjelma sebagai kanker. Sementara itu, karena pengaruh hormon yang dihasilkan indung telur, sel-sel pada jaringan payudara dan rahim setiap bulan mengalami perubahan. Ketika seorang perempuan melahirkan anak, jumlah hormon oestrogen turun. Penurunan ini diimbangi dengan diproduksinya beberapa jenis hormon, misalnya hormon prolatin yang menghasilkan air susu. Pada usia melahirkan dini (20 tahun), keseimbangan hormonal itu -- saat kemunculan prolatin yang menekan oestrogen -- berlangsung tepat waktu. Namun, bila usia melahirkan lebih dari 20 tahun, terjadi rentang waktu yang lama antara haid pertama dan saat melahirkan. Di masa ini, hormon oestrogen yang tidak berfungsi berbalik mempengaruhi pertumbuhan sel. Tapi celakanya hormon ini cenderung bersekutu dengan faktor penyebab kanker. Dan tentang kanker payudara, simaklah uraian Soeripto. Kalau seorang perempuan terlambat kawin, maka proses menyusuinya juga terlambat. Karena keterlambatan proses menyusui ini, kondisi hormonal yang tidak imbang tentu berulang-ulang tak berfungsi. Keadaan inilah yang mengakibatkan risiko tingginya terkena kanker payudara. Itu sebabnya seorang ibu sebaiknya menyusui sendiri bayinya. Menguatkan pendapatnya itu, Soeripto merujuk penelitiannya pada 1976 dengan Siti Murwani. Di situ ia menunjukkan ada perempuan dengan anak lebih dari empat, justru rendah risikonya terkena kanker payudara. Bahkan ia juga mengkaji penelitian Bernadino Ramazzani, ahli patologi yang pertama memperkenalkan kanker payudara. Ramazzani menemukan bahwa angka kanker payudara di kalangan biarawati Katholik, yang tentu saja tak pernah menyusui, sangat tinggi. Peneliti lain, Stevenson, pada 1913 melaporkan bahwa kematian akibat kanker payudara yang paling banyak di kalangan perempuan yang tidak kawin. Walau demikian, jangan berhubungan kelamin di bawah 16 tahun. Karena pada wanita muda itu lapisan luar (epitel) leher rahim belum masak. Menurut Soeripto, berhubungan kelamin ketika usia terlalu muda bisa menimbulkan perubahan di lapisan epitel. Ini malah merangsang pertumbuhan epitel yang tidak henti-hentinya. Pertumbuhan tidak terkontrol ini mengakibatkan sel-sel jaringan epitel menjadi sel-sel ganas, dan akhirnya menimbulkan kanker leher rahim. Soeripto juga mengamati bahwa kanker leher rahim itu menyebar cukup luas di kalangan masyarakat dengan kondisi sosial ekonomi rendah. Bukan cuma karena banyak wanitanya menikah di bawah 16 tahun. Tapi faktor kebersihan yang tidak mereka perhatikan ikut menaikkan risiko kanker leher rahim. Berdasarkan hasil sebuah penelitian, Soeripto menyebutkan 70% wanita dari kelompok ini -- dan kawin di bawah 16 tahun -- terkena kanker leher rahim. Kalau anak banyak mengurangi risiko kanker payudara, justru sebaliknya pada kasus kanker leher rahim. Malah, anak banyak menaikkan risiko terkena kanker ini. Menurut penelitian wanita single punya risiko rendah terkena kanker leher rahim. "Ada penelitian pada 1950 yang menunjukkan kanker leher rahim sama sekali tak ditemukan pada biarawati Katholik yang tidak mengenal hubungan seks," kata Soeripto Namun, yang menarik dikaji adalah sebagian anjuran Soeripto, yang justru bertentangan dengan konsep Keluarga Berencana (KB). Misalnya, kawin saat usia 20 dan boleh punya anak banyak dengan alasan mengurangi kanker payudara. "Saya memandang masalah ini dari sudut penyakit kanker bukan dari sudut KB," alasannya. Menghadapi beda pendapat ini, Soeripto bermaksud mengajak ahli KB berdiskusi. "Sama-sama kita teliti pada usia berapa yang paling baik menikah dan melahirkan anak. Siapa tahu setelah dilakukan penelitian ternyata bedanya tak jauh, misalnya usia 21 yang paling cocok nikah," katanya. Sedangkan Dr. Siswati Ningsih, staf ahli BKKBN Daerah Istimewa Yogyakarta, mengatakan bahwa lembaganya menganjurkan wanita menikah pada usia antara 20 dan 30 tahun. Ini didasarkan penelitian para ginekolog. Dan pandangan Prof. Soeripto itu masih perlu dibahas. Kalau perlu diadakan penelitian yang lebih dalam lagi. "Secara pribadi saya menghargai anjurannya, apalagi itu didasarkan hasil penelitian," katanya. Ia bahkan sepandangan dengan Soeripta tentang risiko kawin muda. Apalagi ini menunjang program KB. Dan risiko kematian wanita yang melahirkan di bawah usia 15 tahun, katanya, tujuh kali lebih besar dari yang melahirkan pada usia 20-30 tahun. Di samping itu, secara kejiwaan wanita di bawah 16 tahun belum siap mempunyai anak. Selain ibu-ibu yang masih muda remaja itu belum cukup dewasa untuk membesarkan anak, Siswati sering melihat mereka mengalami gangguan psikis waktu hamil. Laporan Biro Yogya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini