Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Melawan anak sulung

Hasil penelitian sulloway dari as menyimpulkan anak sulung cenderung mempertahankan pandangan tradisional yang berlaku. adik-adiknya sebagai pembela teori-teori baru. anak sulung mewakili otoritas.

2 Juni 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERTENGKARAN anak sulung dengan adik-adiknya bukan cuma kisah pertengkaran keluarga. Banyak debat besar di balik perubahan yang membangun sejarah umat manusia diwarnai pola per- tengkaran "adik kakak" itu. Misalnya Copernicus. Ilmuwan yang pertama kali membuktikan bumi mengelilingi matahari, bukan sebaliknya, adalah anak kedua dari empat bersaudara. Ketika dia menegakkan teorinya yang mengguncangkan kosmologi, Copernicus berhadapan dengan Tycho Brahe. Bukan saja sebagai anak sulung, Brahe juga anak tunggal dalam keluarganya. Pembela kosmologi tradisional ini menentang habis-habisan pandangan baru Copernicus itu. Contoh lain, Charles Darwin, anak kelima dari enam bersaudara. Ketika memperkenalkan teori seleksi alam dalam pembentukan kehidupan di bumi -- yang kemudian dikenal sebagai teori evolusi -- dia diserang banyak ilmuwan lain. Da- lam suatu debat besar yang terjadi. Darwin terutama harus menghadapi ilmuwan Louis Aggasiz, seorang anak sulung. Perdebatan antara anak sulung dan bukan anak sulung memang bukan sebuah kebetulan. Ini pendapat Dr. Frank Sulloway, ahli sejarah ilmu pengetahuan di Massachusetts Institute of Technology, Amerika Serikat. Ia baru menyelesaikan penelitian besar tentang hubungan perilaku seseorang dengan urutan kelahirannya. Hasil penelitiannya itu dipublikasikan Science Times dua pekan lalu. Anak sulung, menurut Sulloway, cenderung mempertahankan pandangan-pandangan tradisional yang berlaku. Mereka pembela kemapanan. Karena itu, dalam perkembangan ilmu pengetahuan sangat jarang ditemui anak-anak sulung membangun teori baru. Terobosan besar dalam ilmu pengetahuan kebanyakan dilakukan oleh adik-adik mereka, yang bukan anak sulung. Hubungan antara karakter dan urutan kelahiran sudah lama diperdebatkan para psikolog. Khususnya, sejak 1874 ahli perilaku Sir Francis Galton berpendapat bahwa anak sulung punya keistimewaan. Misalnya, bila dibandingkan dengan adik- adiknya, anak sulung memiliki daya juang lebih tinggi dalam memburu kemajuan dan posisi. Padahal, pandangan Galton sudah sering ditentang. Dalam psikologi, hubungan antara perilaku dan urutan kelahiran hingga kini masih melahirkan debat. Paling akhir, perbedaan pendapat itu tercermin dalam penelitian sosiolog Dr. Judith Blake dari Universitas California Los Angeles. Da- lam jurnal Science, JuLi tahun lalu, Blake menyangkal ada hubungan perilaku dengan urutan kelahiran -- setelah membuat penelitian dengan 113.000 respondennya. "Dalam banyak kasus kaitannya sekilas ada, dan itu merangsang kita membangun kesimpulan. Tapi setelah diamati secara mendalam, kita tidak menemukan apa-apa," katanya. Hasil tes Blake menunjukkan tingkat kecerdasan sama sekali tidak dipengaruhi oleh urutan kelahiran. Di samping itu, perbedaan perilaku yang berkaitan dengan urutan kelahiran sangat dipengaruhi berbagai faktor lain, seperti tingkat pendidikan dan kondisi sosial ekonomi. Karena itu, kata Blake, mustahil menarik sebuah teori perilaku yang dida- sarkan pada urutan kelahiran. Namun, penelitian Blake agaknya tidak sampai membuat para ahli tak percaya pada penemuan Sulloway. Ketika Februari lalu ahli sejarah ilmu pengetahuan ini mengemukakan hasil penelitiannya dalam pertemuan American Association for the Advancement of Science, banyak ahli perilaku mendukung. "Penemuannya padat dengan data. Saya tidak bisa menentang argumentasinya," kata Jerome Kagan, psikolog terkemuka dari Universitas Harvard. Sulloway memang berhati-hati dalam membangun pendapatnya. Ia mendasari pandangannya bukan dengan sebuah penelitian perilaku, tapi penelitian yang disesuaikan dengan bidang keahliannya. Dia menganalisa 2.784 perdebatan besar dalam ilmu pengetahuan dalam kurun waktu 400 tahun. Dari 2.784 perdebatan itu, 28 di antaranya tercatat sebagai revolusi ilmu pengetahuan. Sebagian besar tokoh ilmu, di balik revolusi itu, bukan anak sulung. Hanya lima di antaranya anak sulung, antara lain dua ilmuwan besar Albert Einstein dan Isaac Newton. Dan yang menarik, pada 28 debat besar tadi terlibat 37 saudara kandung: tujuh anak sulung dan 30 "adik". Ini mirip pertengkaran dalam keluarga, antara adik dan kakak, yang berhadapan frontal. Setelah meneliti dengan cermat, Sulloway menemukan dari tujuh anak sulung itu, enam di antaranya penentang keras teori baru. Dari 30 ilmuwan yang bukan anak sulung, 27 di antaranya pendukung fanatik pandangan baru. Setelah mempelajari dan menganalisa semua teoretikus yang terlibat dalam 28 debat besar itu, kesimpulan Sulloway makin jelas. "Secara keseluruhan, hanya 34% dari teori-teori anak sulung berkaitan dengan pandangan baru," katanya. Sedangkan kemungkinan itu pada mereka yang bukan anak sulung hampir dua kali lipat, yaitu 64%. Dalam teori-teori ilmu sosial, dia juga menemukan bahwa penentang pandangan lama umumnya bukan anak sulung. Bahkan mereka punya kecenderungan untuk memberontak. Merekalah yang berada di balik gerakan-gerakan yang di kemudian hari menjadi momen bersejarah. Cuma masih dipertanyakan mengapa anak sulung itu konformistis dan condong pada konservatisme. "Mungkin karena anak sulung di masa pertumbuhan cenderung berdamai dengan otoritas orangtua," jawab Sulloway. Anak sulung bahkan se- ring menggantikan peran orangtua mengawasi adik-adiknya. Kecenderungan ini di kemudian hari membangun watak mengakui kekuasaan di sekeliling mereka. Karena anak sulung mewakili otoritas, sebaliknya "adik-adik" mewakili pemberontakan, seperti dalam pertengkaran keluarga, adik menentang si abang yang anak sulung. "Anak sulung adalah anggota kemapanan, karena hubungan dekatnya dengan orangtua," kata Sulloway. Dan lazim, menurut ilmu pertumbuhan, anak-anak yang lebih muda selalu mencoba mengetes sampai di mana batas aturan dan kekuasaan orangtua. Jim Supangkat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus