Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Otokritik dari negeri kanguru

Pada pekan film australia di tim, film-film australia banyak menampilkan persoalan aborigin. pekan film ditutup dengan film nyi ronggeng karya almarhum alam surawijaya, untuk usaha pelestariannya.

2 Juni 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TRILBY, si gadis Aborigin itu, menjerit ke arah ibunya, "Nyonya itu bukan sedang berbuat sesuatu pada kita. Ia sedang berbaik hati pada dirinya sendiri." Dan Trilby, yang berpendidikan Barat itu, segera mengambil buntelan pakaian bekas sumbangan nyonya (kulit putih) tetangganya, dan mencemplungkannya ke tempat sampah. Aborigin memang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari persoalan Australia. Paling tidak, kesan itulah yang terlihat dan sebagian film Australia yang diputar pada Pekan Film Australia di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 21-25 Mei lalu. Melalui High Tide, Travelling North, Phar Lap, Burke & Wills. Fringe Dwellers, Ground Zero, Playing Beatie Bow, serta sejumlah film pendek, pekan film yang diselenggarakan oleh Kedubes Australia serta Pusat Kebudayaan TIM itu berhasil menampilkan sebagian persoalan Australia, yang sekaligus persoalan universal. Misalnya, kisah Trilby tadi lewat film Fringe Dwellers. Ia tumbuh di antara kemiskinan pinggiran kota. Ia seorang wa- nita muda yang cantik, cerdas, berpendidikan, dan penuh cita-cita. Ia adalah gadis Aborigin yang tak segan menampar pipi gadis kulit putih yang mengejek kehitaman warna kulitnya. Tapi toh Trilby tak sudi dikasihani dan dibela oleh orang kulit putih lain. Film yang disutradarai Bruce Beresford ini berhasil menyuguhkan salah satu "persoalan khas" Australia. Trilby, diperankan dengan baik oleh Kristina Nehm, adalah contoh seorang gadis yang "berdiri di perbatasan". Ia adalah Aborigin yang berpikiran "modern", tapi tetap dianggap berbeda dengan orang kulit putih. Film lain yang juga berbicara soal hak orang-orang Aborigin adalah Ground Zero karya Michael Pattinson. Film yang meraih sukses komersial itu bercerita mengenai seorang fotografer dan sineas muda yang menguak misteri percobaan bom atom pada 1950-an di Australia. Semuanya itu dimulai dari keinginan tahu anak muda tersebul (diperankan Colin Friels) tentang ayahnya -- seorang sineas yang ditugasi membuat film tentang percobaan bom tersebut yang raib di daerah Maralinga, tempat percobaan itu. Sementara itu, sebuah komite sedang menyidangkan kasus percobaan bom yang telah mengorbankan banyak nyawa pendu-duk -- sebagian besar Aborigin -- yang berada di sekitar tempat percobaan. Di sinilah kita disuguhi ketegangan bagaimana pengadilan dipolitisir oleh banyak pihak, termasuk intelijen Australia. Dengan segala upaya mereka menghalangi anak muda itu menunjukkan film buatan ayahnya sebagai barang bukti -- agar pemerintah tak perlu memberi kompensasi yang tinggi bagi para keluarga Aborigin. Film yang sama sekali tidak menyuguhkan ritme Hollywood ini boleh dikatakan sebuah "dokumen" Australia yang spektakuler. Sebuah sikap idealis generasi muda Australia yang mempertanyakan titik yang hilang dari sebuah garis sejarah mereka sendiri. Dengan sudut pengambilan gambar yang unik dan fotografi yang canggih, film ini berhasil meraup sekantung penghargaan dari Australian Film Industry (AFI) sehaga film terbaik, sound system terbaik, dan editing terbaik 1987. "Memang, selama dekade terakhir, film-film Australia lebih banyak memasukkan persoalan Aborigin, karena persoalan Abo- rigin adalah problem yang memprihatinkan," demikian kata Stephen Murphy, 31 tahun, pakar film Australia dari Australian Film and Television School, yang datang ke Indonesia khusus untuk Pekan Film Australia ini. Menurut pakar dalam bidang sound system ini, dan sekitar 12 sampai 15 produksi film Australia setahun, pasti ada film-film yang menyentuh soal Aborigin dan rasialisme. Murphy benar. Bahkan film Burke & Wills -- sebuah film bertema seja-rah tentang perjuangan ekspedisi yang dipimpin Burke dan Wills menyeberangi Benua Australia akhir abad ke-19 -- juga masih menyentuh soal rasialisme. "Mereka, orang-orang hitam itulah, yang menolong saya," demikian rintihan satu-satunya anggota ekspedisi yang bertahan setelah rekan-rekannya bertumbangan digerogoti keringnya gurun. Namun, tentu saja tak semua film yang dihidangkan adalah melulu otokritik perihal Ahorigin. Misalnya, High Tide adalah sebuah kisah aneh tentang seorang wanita yang tengah menunggu mobilnya diperbaiki di pinggir pantai. Di tengah ba- nyak peristiwa, mendadak ia bertemu dengan anaknya yang 12 tahun silam pernah ia buang. Secara mengagumkan, sutradara Gillian Amstrong mampu memadukan unsur komedi dan tragedi dalam film ini, sehingga menjadi suatu tontonan yang memikat. Kemudian film Playing Beatie Bow karya Don Crombie adalah sebuah dongeng luar biasa tentang petualangan gadis Abigail yang terlempar ke masa 150 tahun yang silam. Meski Imogen Annersley memerankan Abigail dengan datar, kekuatan film ini justru pada peristiwa-peristiwa ajaib yang ditampilkan lewat adegan-adegan yang mempesona. Pekan film ini sekaligus menampilkan film Nyi Ronggeng sebagai penutup. Yang belakangan ini tentu saja bukan hasil karya sutradara Negara Kanguru, melainkan karya almarhum Alam Surawidjaja. Peran Australia dalam film ini adalah melestarikannya. Dengan biaya sekitar 12.000 dolar Australia, film yang digarap pada 1969 ini dibuatkan dua buah kopi sebesar 16 mm untuk disimpan di Australia, dan satu kopi serta aslinya diserahkan ke sinematek Indonesia. Dengan menonton film-film Australia ini, kita belajar sebagian persoalan yang mereka hadapi, yang sekaligus persoalan universal. Tambahan lagi, kita juga tahu, sineas Negara Kanguru bukan hanya bisa menghasilkan serial film televisi yang pop macam Return to Eden saja. Leila s. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus