Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Agar Tubuh Tak Menjadi Lembah Silikon

Seorang dokter menemukan rasio untuk mengukur aman atau tidaknya kadar silikon di dalam tubuh.

2 Maret 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perempuan 36 tahun itu tak mau nama aslinya dipublikasikan. "Saya malu," ujarnya ketika ditemui di Klinik Bedah, kawasan Hayam Wuruk, Jakarta Pusat. Kedatangannya Senin pekan lalu itu untuk berkonsultasi perihal dagunya yang asimetris. Di bawah bibirnya ada belahan yang membagi dua sisi dagunya tepat di tengah. Tapi sisi kanan dagu lebih panjang ketimbang yang kiri. Ini adalah imbas dari kesalahannya saat remaja, ketika tergiur untuk mempercantik diri dengan cara instan: menyuntikkan silikon nonmedis ke dagu.

Waktu berusia 17 tahun, di salon langganannya, Kenanga-sebut saja namanya begitu-diberi satu kali suntikan seharga tak sampai Rp 500 ribu. "Saya sih pingin cantik saja," kata Kenanga, yang kini sudah memiliki dua anak. Pemilik salon mengatakan yang dimasukkan ke tubuhnya adalah kolagen. Tapi, lima tahun berselang, bentuk dagunya memanjang sebelah. Entah bagaimana, gravitasi hanya menarik silikon di belahan bagian kanan.

Dari dokter, ia tahu bahwa yang diinjeksikan bukan kolagen, melainkan silikon sintetis yang tidak aman buat tubuh. "Saya ditipu, kagetlah saya," ujarnya. Memperbaiki kerusakan itu tak mudah. "Saya sudah tiga kali menjalani operasi, mungkin akan yang keempat kalinya jika dokter yang saya datangi saat ini menyarankannya," kata Kenanga.

Nasi sudah lembek, terpaksa kini ia harus mengeluarkan uang berlipat kali biaya suntik silikon. Apa yang dialami Kenanga juga dialami banyak perempuan di Indonesia. Kebanyakan melakukan itu karena biaya suntik silikon jauh lebih murah daripada operasi plastik, yang bisa puluhan hingga ratusan juta rupiah. "Orang kaya pun ada yang disuntik, bahkan selebritas. Kasus ini agak terpendam, tapi banyak," ujar dokter spesialis kulit dan kelamin, Ago Harlim.

Setidaknya dalam setiap pekan selalu ada yang dioperasi gara-gara salah suntik tersebut. Bahkan Ago acap menemukan pasien yang lebih parah daripada Kenanga. Dari situlah, saat mengambil gelar doktoral, ia mengajukan disertasi berjudul "Peran Sitokin TNF-alfa dan IFN-gamma, IL-10, T-reg (CD4+ CD25+) dan Indoleamine 2,3-Dioxygenase pada Granuloma akibat Suntik Silikon di Dagu". Pada pertengahan Februari lalu, Ago berhasil mendapatkan gelar doktor dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Sebanyak 54,8 persen dari 31 pasien tidak tahu bahwa yang disuntikkan adalah silikon cair. Mereka mendapatkannya dari salon atau layanan pintu ke pintu. "Padahal yang disuntikkan itu adalah silikon yang dipakai industri untuk menambal akuarium," tutur Kepala Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Universitas Kristen Indonesia, Jakarta, ini.

Sepakat dengan Ago, dokter spesialis bedah plastik Vera Ikasari menjelaskan bahwa silikon cair tidak boleh digunakan sama sekali oleh ahli bedah plastik untuk tindakan operasi. "Menyuntikkan bahan silikon cair ke dalam tubuh adalah tindak kriminal," katanya dalam balasan surat elektronik. Badan Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) sudah melarang penggunaannya untuk tubuh sejak 2012. Di Indonesia, aturan untuk silikon cair non-medical grade belum ada.

Ago mengatakan, saat silikon disuntikkan, tubuh menganggapnya sebagai benda asing. Karena itu, sistem kekebalan manusia memerintahkan sel fagosit memakan benda yang tidak dikenali ini. Masalahnya, karena ukuran silikon cair terlalu besar, fagosit kadang tidak sanggup menghancurkannya.

Akibatnya, silikon akan menetap dan menyebabkan granuloma (bengkak, merah, dan meradang). Tiap individu memiliki toleransi berbeda terhadap silikon yang masuk. Maka reaksinya pun berbeda. Ada yang meradang, bengkak, dan nyeri, ada pula yang bagian tubuhnya hanya berbentuk tidak proporsional seperti Kenanga. "Daguku sih emang enggak merah dan meradang, cuman pas hamil dulu sempat gatal," kata Kenanga.

Dengan melihat pengaruh buruk tersebut, Ago kemudian meneliti rasio peradangan pada mereka yang disuntik silikon. Rasio ini penting untuk menentukan tindakan yang harus dilakukan kepada pasien yang sudah disuntik silikon cair seperti Kenanga. "Saya teliti toleransi imun mereka," ujarnya mengenai pasien yang datang dengan kondisi dagu bengkak karena peradangan. Hasilnya, pada pasien yang sudah menderita granuloma, kadar toleransi imunnya rendah.

Rasio itu didapat dari kadar zat yang mendukung terjadinya peradangan (zat pro-inflamasi) dan zat yang menolak peradangan (zat anti-inflamasi). Dua material ini ada di dalam tubuh dan saling melengkapi ketika benda asing yang membahayakan masuk ke tubuh.

Cara mendapatkan rasio tersebut adalah dengan pemeriksaan darah. Zat yang masuk kelompok pro-inflamasi diwakili kadar TNF-alfa dan interferon gamma (dua zat yang keluar dari sel ketika terjadi peradangan). Sedangkan zat anti-inflamasi diukur dari kandungan interleukin-10 (IL-10), indoleamine 2,3-dioxygenase atau IDO (enzim yang berperan dalam keseimbangan imun), dan T-reg (regulator sistem kekebalan tubuh).

Ago menemukan rasio batas aman adanya silikon di dalam tubuh. Jika dalam darah, rasio TNF-alfa berbanding interleukin-10 sebesar 10,6 dan rasio TNF-alfa berbanding IDO sebesar 0,3, itu dianggap "aman". "Rasio itu yang belum ada selama ini," kata Komisaris Rumah Sakit JMB di Tangerang dan Pekanbaru tersebut.

Ambang inilah yang bisa dipakai untuk menentukan tindakan yang harus dilakukan kepada pasien yang sudah disuntik silikon. "Yang sudah meradang ya tinggal dioperasi saja, diambil semuanya," ujar Ago. Begitu pula yang sudah kelihatan salah bentuk tanpa peradangan, anjurannya juga masuk kamar bedah.

Sedangkan pada kasus yang tidak jelas antara radang dan bentuk yang tidak proporsional, ia menyarankan pemeriksaan darah dan melihat rasio zat pro-inflamasi dan anti-inflamasi tersebut. Bila rasionya di atas ambang batas aman, tindakannya adalah operasi. Jika rasionya di bawah kadar tersebut, pasien cukup diberi obat antiradang dengan pemantauan berkala.

Selain menentukan tindakan yang perlu dilakukan kepada pasien yang sudah disuntik silikon cair industri, rasio itu penting untuk mengetahui kesiapan orang disuntik silikon yang masuk kategori medical grade. Kalau rasionya di atas ambang tersebut, tentu tidak boleh disuntik. Bila rasionya di bawah itu, aman untuk mendapat silikon medis.

Apakah ada silikon cair yang masuk kategori medical grade atau yang dibolehkan oleh kesehatan? Menurut Ago, ada. Silikon bukan soal kecantikan belaka. Dalam kasus kecelakaan, misalnya, retina mata terlepas (ablasi retina), dibutuhkan pula zat ini. Begitu pula pada kasus operasi tengkorak kepala.

Dokter spesialis bedah plastik rekonstruksi, Budiman, tidak sepakat. Ia menyatakan silikon cair yang selama ini dianggap aman untuk medis pun, sebenarnya, sudah tidak dianjurkan lagi di dunia kedokteran. Yang dibolehkan, menurut dia, adalah silikon cair dan silikon gel yang sudah dimasukkan ke kantong dengan bahan khusus yang aman bagi tubuh. Artinya, Budiman menganggap apa pun bahan yang dipakai untuk suntik silikon tetap dilarang. "Tidak ada manfaatnya," ujar dokter yang berpraktek di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto ini.

Itu karena silikon cair tidak akan berada di satu tempat dalam jangka waktu lama. "Dia (silikon) berpindah sesuai dengan hukum gravitasi," kata Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Bedah Plastik, Rekonstruksi, dan Estetika Cabang Jakarta ini. Sifat serupa berlaku untuk silikon dari bahan gel.

Vera sepakat dengan Budiman bahwa silikon cair tersebut akan menyatu dan bereaksi dengan jaringan tubuh sekitarnya. Karena cair, silikon itu mengalir ke mana-mana bersama darah. Silikon yang tertinggal inilah yang memungkinkan terjadinya kekambuhan. Vera, yang berpraktek di Rumah Sakit Umum Bunda, mengatakan injeksi silikon cair memberikan kerusakan permanen.

Sanggahan Budiman itu bukan berarti hasil penelitian Ago tidak berguna. Dunia kedokteran masih bisa memanfaatkan rasio Ago itu untuk menentukan tindakan terhadap pasien yang sudah disuntik silikon. Ago sendiri menganggap penelitiannya perlu diuji lagi sebelum bisa diterapkan. "Saya masih perlu uji validitas," ujar Ago tentang rencana menjadikannya tata laksana yang bisa dipakai di dunia medis.

Selain masalah validitas, tempat pengujian zat-zat yang terlibat peradangan masih terbatas. Di Jakarta saja Ago memakai lembaga molekuler Eijkman dan di Surabaya dengan Laboratorium Patologi Universitas Airlangga. "Ini kan baru. Saya optimistis nanti akan lebih banyak tempat pengujian," katanya.

Dianing Sari


54,8% dari 31 pasien tidak tahu bahwa yang disuntikkan adalah silikon cair. Mereka mendapatkannya dari salon atau layanan pintu ke pintu. "Padahal yang disuntikkan itu adalah silikon yang dipakai industri untuk menambal akuarium."

Rasio batas aman adanya silikon di dalam tubuh ialah jika dalam darah, rasio TNF-alfa berbanding interleukin-10 sebesar 10,6 dan rasio TNF-alfa berbanding IDO sebesar 0,3.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus