Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Berdamai Dengan Si Abang

Kurangnya pemahaman akan perilaku gajah membuat konflik gajah dengan manusia kerap terjadi. Konflik yang mematikan.

2 Maret 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mereka memanggilnya dengan julukan kesayangan: Abang. Namun apa yang terjadi belakangan ini sama sekali bukan cerita yang menyenangkan. Si Abang kelewat kerap "mampir" ke kampung mereka di Kecamatan Pintu Rime Gayo, Kabupaten Bener Meriah.

Gara-gara gajah alias si Abang sering masuk kampung, rusaklah lahan tempat penduduk desa bercocok tanam. "Ada 800 hektare lahan termasuk sawah yang dirusak," tutur Mukhtar, Camat Pintu Rime Gayo, dua pekan lalu. Sebagian lahan bahkan tidak bisa dimanfaatkan lagi. Yang lebih menyedihkan, benturan gajah lawan manusia ini mengakibatkan beberapa orang kehilangan nyawa.

Pada Agustus 2014, seorang petani setempat bernama Firmansyah tewas diamuk mamalia berbelalai itu. Dua bulan berselang, nasib yang sama menimpa Hasan Basri, seorang kuli bangunan. Apa boleh buat, hubungan baik selama ini berantakan sejak tahun lalu.

Kematian Hasan Basri di atas jadi pelajaran penting. Awalnya, dengan pengetahuan minim, warga mencoba menggiring hewan yang "tersesat" itu ke luar kampung. Namun yang terjadi kemudian di luar harapan: si Abang yang terkepung dan letih mencari jalan keluar itu langsung menyerang Hasan Basri, 49 tahun.

Ada beberapa pengetahuan dasar yang harus dipahami agar pertemuan dengan gajah tak berujung pada konflik, apalagi jatuh korban. Saat mengetahui ada gajah, hendaknya warga berada di jarak minimal 50 meter. Jika mungkin, bergeserlah ke tempat yang lebih tinggi. Sayang sekali, Hasan, yang tengah asyik dengan handphone-nya, tak menjauh dan berada dalam jangkauan serangan.

Hasan tampaknya juga tak sempat memperhatikan telinga sang gajah. Daun telinga yang tak bergerak menunjukkan gajah masih siaga. Bila telinga bergerak-gerak, itu tandanya mereka telah tenang kembali. Pada saat inilah pengusiran dapat dilakukan dengan suara, layaknya mengusir ayam atau kucing. Biasanya gajah akan segera berlari menjauh.

Sejak kematian Hasan, dengan bantuan Pemerintah Kabupaten Bener Meriah, lima parit telah digali di wilayah Pintu Rime Gayo. Masing-masing dengan panjang 50 sampai 100 meter, lebar 3 meter, dalam 3 meter. Namun upaya untuk menutup akses masuk buat si Abang tak menunjukkan hasil. Pada Januari 2015, seorang warga kecamatan bernama Husna meregang nyawa diamuk gajah. Menurut rencana, beberapa parit serupa akan digali tahun ini.

Siapa pun tahu, gajah masuk ke permukiman lantaran pembalakan liar, berdirinya perkebunan dan pabrik, yang mempersempit habitat mereka. Keadaan semakin parah ketika hewan-hewan besar itu lapar dan harus mencari makan. Jadilah tebu, pelepah pisang, dan pinang di wilayah permukiman sebagai makanan utamanya.

Data World Wildlife Fund (WWF) Indonesia menyebutkan populasi gajah di Provinsi Aceh merupakan yang tertinggi di Sumatera, dengan estimasi 500 ekor pada 2014. Disusul oleh Lampung sebanyak 355 ekor dan Riau 310 ekor. Berikutnya Bengkulu sebanyak 240 ekor, Jambi 159 ekor, Sumatera Selatan 100 ekor, dan Sumatera Utara 60 ekor.?

"Menghalau adalah mengarahkan gajah ke tempat semestinya, bukan dengan cara memaksa," kata Syamsuardi, Koordinator Mitigasi Konflik Gajah-Harimau WWF Riau. Pengusiran dengan mengepung hanya membuat gajah merasa terancam. Jadi harus ditentukan ke mana sang gajah diarahkan. Kekompakan tim pengusir merupakan kunci keberhasilan penggiringan.

Namun pengetahuan praktis itu saja tidak cukup. Tim pengusir harus memahami tipe kelompok gajah yang masuk kampung. Pertama, sekawanan gajah jantan dewasa berjumlah 2-3 ekor dalam sekali melakukan perjalanan. Kedua, rombongan gajah. Jumlahnya bisa mencapai 40 ekor, terdiri atas betina dewasa, jantan remaja, dan anak-anak. Khusus untuk kelompok gajah ini, pengusiran harus terfokus pada betina dewasa yang menjadi pemimpin.

Sekadar info, korban serangan gajah jantan berbeda dengan korban betina. Korban gajah jantan dikenali dari daging tubuhnya yang tercabik-cabik. Sedangkan korban gajah betina ditandai dengan ciri patah tulang di beberapa bagian tubuh.

Hal yang juga patut dipertimbangkan dalam menghalau gajah adalah waktu dan kondisi cuaca. Jika hari sudah gelap, sebaiknya bertahan dan menjauh dari wilayah yang mungkin dilalui gajah. Senter, obor, bahkan baju berwarna cerah akan membuat mereka semakin agresif.

Syamsuardi menceritakan dua contoh kejadian saat dia dan timnya menghalau gajah di Riau beberapa tahun lalu. Melihat pakaian cerah seorang anggota tim, gajah yang semula tenang mendekatinya, mengambil ancang-ancang untuk menyerang. Pada waktu lain, Syamsuardi pernah melihat seekor gajah tiba-tiba menendang dan menghancurkan sepeda motor berwarna oranye milik tim WWF. Padahal di tempat yang sama ada sepeda motor lain yang warnanya gelap.

Hujan juga bukan saat yang tepat untuk mengusir gajah. Air membuat tubuh mereka semakin segar dan bertenaga. Karena itu, untuk menyegarkan badan, hewan ini dapat berkubang hingga tiga kali dalam sehari. "Makanya, kalau hujan, ia happy, dan akan membahayakan manusia," ucap Syamsuardi.

Sekali diusir, gajah akan pergi menjauh. Namun, karena memiliki jalur khusus yang akan terus dilaluinya, suatu ketika ada kemungkinan mereka kembali. Buat mengantisipasi, pengusiran harus dilakukan dengan efektif lewat alat penghasil bunyi keras. Gajah cenderung menjauhi bunyi keras.

Sudah beberapa bulan warga Desa Alue Gading mempraktekkan pengusiran dengan mercon. Namun, menurut Syamsuardi, suara mercon yang berulang-ulang dalam waktu cepat justru membuat gajah panik dan terus berlari.

Alat yang lebih efektif adalah meriam karbit, yang terbuat dari pipa 1 meter dengan diameter 7,5 sentimeter. Satu sisinya diberi lubang dan disambungkan dengan tabung yang memiliki lubang berbentuk persegi. Bagian bawah pipa disumbat oleh kayu berbentuk lingkaran.

Ke dalam dua pertiga tabung yang telah diisi air, dimasukkan karbit. Selanjutnya api dinyalakan di dekat lubang tabung. Pada saat api mulai menyala, tutup lubang perlahan menggunakan tangan. Bunyinya cukup memekakkan telinga. "Ini sudah terbukti efektif di Riau sejak 2004," ucap Syamsuardi.

Penggunaan meriam karbit disambut baik oleh warga Desa Alue Gading. Penghalauan yang biasanya dilakukan berdasarkan naluri kini dilengkapi alat agar lebih terarah. "Selama ini kami belajar sendiri dan belum kompak," kata Suherri, Kepala Yayasan Penyelamatan Satwa Bener Meriah.

Satwika Movementi (aceh)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus