Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Kalau Konflik Kpk-polri Tidak Reda, Rusak Negara Ini

2 Maret 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUHU politik memuncak ketika Ahmad Syafii Maarif mengatakan pengajuan Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia bukan inisiatif Presiden Joko Widodo. Pernyataan itu membuat panas kuping polisi dan politikus, termasuk Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri.

Megawati kemudian memanggil Syafii Maarif ke rumahnya di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat. "Selama dua jam kami bicara," kata Ketua Tim 9-tim independen bentukan Presiden Jokowi untuk mengatasi kekisruhan Komisi Pemberantasan Korupsi dan polisi-ini.

Dalam pertemuan itu, Syafii menyampaikan kepada Megawati bahwa ia tetap ingin Budi tidak dilantik. Tapi Mega bergeming dan tetap ingin melantik ajudannya ketika ia menjadi presiden itu. Meski banyak perdebatan, Syafii memuji sikap Megawati-yang saat berdialog cenderung tanpa amarah. "Kami juga mengobrol bagaimana TK (Taufiq Kiemas, almarhum) dulu mengontrol makanannya. Kami sama-sama punya penyakit gula," ujarnya.

Setelah Budi benar-benar tidak dilantik, Buya-sapaan akrab Syafii Maarif yang berarti panggilan bapak orang Minangkabau-sepertinya belum benar-benar puas. Masih banyak, kata dia, yang harus diperjuangkan. Dan yang menurut dia harus didorong berikutnya adalah pencopotan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Budi Waseso. "Dia ini ngawur, tidak mengerti reserse, main tersangkakan orang saja," ucap Buya.

Kini Tim 9 pimpinannya hanya pasif menunggu arahan selanjutnya dari Presiden. Pasalnya, tugas Tim 9 tidak terikat, sehingga kalau saat ini perseteruan KPK-polisi dianggap sudah selesai, Syafii dan anggota tim lainnya tak lagi bekerja. "Kalau diminta, kami akan memberi saran. Kalau tidak, ya, sudah," ujarnya.

Syafii berdiri tepat di depan pintu rumahnya di kawasan Nogotirto, Sleman, Yogyakarta, ketika menyambut Ali Nur Yasin dan Heru Triyono dari Tempo untuk wawancara pada Kamis pekan lalu. Ia tampak bugar di usianya yang tiga bulan lagi genap 80 tahun-meski uban tampak banyak di pelipis kiri dan kanan. "Saya baru saja kedatangan rombongan Zulkifli Hasan (Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat) tadi," kata Buya, yang memakai kemeja putih motif kotak-kotak.

Kandidat Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan datang ke rumah Anda meminta restu untuk maju dalam kongres akhir pekan ini (28 Februari-2 Maret 2015) di Bali?

Orang menemui saya itu biasa. Sebelum pemilihan umum tahun kemarin, yang datang ke saya juga ramai, termasuk Pak Jokowi. Saya hanya berpesan kepada dia (Zulkifli) agar kongres berlangsung baik, tidak ada intimidasi, dan tidak saling menjegal. Saya mendukung siapa pun Ketua Umum PAN. Zul memiliki visi bagus. Dia bilang akan menjadikan PAN partai terbuka dan modern serta memberdayakan kader-kader di daerah.

Anda diundang ke Bali?

Diminta, tapi saya tidak mau datang. Buat apa?

Selama ini posisi Ketua Majelis Pertimbangan Partai (MPP) PAN selalu diberikan kepada Amien Rais sebagai pendiri partai. Tapi, dalam Kongres PAN kali ini, Ketua MPP akan dipilih oleh peserta. Anda berminat jika ditawari posisi itu?

Tidak mau. Mau ngapain masuk partai? Pada 1998, saya juga diminta oleh Amien Rais jadi Ketua Umum PAN, saya tidak mau. Masak, saya begitu? Sampai umur saya habis pun saya tidak akan mau masuk partai politik karena saya tahu politik itu sarang serigala.

Anda beberapa kali menolak jabatan, termasuk ketika ditawari posisi di Dewan Pertimbangan Presiden.

Saya sudah tua dan sudah pernah jadi anggota DPA (Dewan Pertimbangan Agung). Saya bilang serahkan saja posisi itu ke yang lebih muda. Kok, Istana sepertinya kesulitan mencari orang untuk Wantimpres (Dewan Pertimbangan Presiden).

Tapi Anda menerima tawaran menjadi Ketua Tim 9, yang dibentuk Presiden Jokowi untuk mengatasi kekisruhan Komisi Pemberantasan Korupsi dan polisi?

Saya tiba-tiba didaulat dalam struktur tim untuk menjadi ketua. Ketika saya tanya, "Kok, saya dijadikan ketua tim? Apa-apaan, nih?" Jimly (Asshiddiqie) menjawabnya dengan sederhana. "Karena Bapak datang terlambat, ha-ha-ha.…" Jawaban itu guyon saja. Sebab, pada pertemuan tim yang pertama di Istana (Minggu, 25 Januari 2015), saya tidak bisa hadir-telat bergabung.

Awalnya bagaimana Tim 9 terbentuk?

Tim ini kan dibentuk Presiden untuk menyelesaikan kisruh KPK-Polri. Sebenarnya bukan sembilan nama yang bercokol di situ. Bahkan, pada awalnya, yang hadir hanya enam orang karena Hikmahanto Juwana (guru besar hukum internasional Universitas Indonesia) dan Sutanto (mantan Kepala Polri) tidak hadir. Saya waktu itu juga tidak bisa datang karena pemberitahuannya yang mendadak. Ketika tim mulai aktif, Pak Sutanto tidak pernah hadir.

Artinya tim independen ini seharusnya bernama Tim 8 dong, bukan 9?

Iya. Tapi sudah beredar Tim 9 namanya.

Apakah ada pertentangan di lingkup internal tim ketika Presiden memilih nama-nama yang masuk tim?

Di dalamnya itu petarung semua. Mereka bermazhab kebangsaan yang bebas kepentingan. Jadi tidak ada itu pertentangan ketika dua nama tambahan, Imam Prasodjo dan Sutanto, yang kami nilai bagus, baru masuk pada Selasa, 27 Januari 2015, di Jakarta.

Tim 9 sebenarnya akan dibentuk melalui keputusan presiden, tapi ternyata tidak jadi ada kepresnya. Kenapa?

Nah, pada hari itu juga kami rapat dengan tim khusus dari Sekretariat Negara dalam rangka menyiapkan kepres. Waktu itu drafnya sudah hampir selesai. Tim khusus Setneg itu kemudian meminta masukan dari kami mengenai draf tersebut. Saat itu kami ingin kepres ditandatangani Presiden malam itu juga. Tapi Presiden sedang dinas ke Tapanuli, jadi kami tunggu besok. Lalu pada Rabu pagi, sebelum kami bertemu dengan Presiden, Mensekneg (Menteri Sekretaris Negara) Pratikno dan Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto mendadak datang ke saya dan menyampaikan bahwa tidak jadi dibuatkan kepres. Saya bilang tidak apa-apa karena saya kerja itu secara sukarela.

Mereka menjelaskan kenapa kepres tidak jadi keluar?

Tidak terlalu jelas. Tapi sudah bisa ditafsirkan bahwa ada penentangan yang terlalu keras. Siapa yang menentang? Ya, hampir semua partai.

Kalau ada kepres untuk Tim 9, memangnya apa konsekuensi dan bahayanya buat partai?

Kami ini merdeka, dan mungkin dianggap sebagai ancaman. Seandainya pun ada kepresnya, saya yakin tim akan tetap merekomendasikan Budi Gunawan tidak dilantik. Tapi, ternyata, tanpa kepres pun teman-teman di Jakarta bisa menerimanya. Ini satu hal yang menarik. Meskipun tidak resmi, kami malah jadi legasi moral, dan buat kami itu adalah sebuah kehormatan.

Anda yakin bahwa orang-orang di dalam Tim 9 merdeka? Ada yang bilang tim ini pencitraan Presiden saja….

Yakin, dong. Kami sukarela, kok. Tidak ada motif macam-macam. Dan, yang penting, diakui oleh publik.

Tapi Tim 9 tidak resmi….

Tidak apa-apa. Kami tidak memerlukan asas legalitas itu, yang penting konkret dan efektif. Kalau Pak Jokowi meminta dan memerlukan nasihat, kami akan siap menyampaikan.

Dari tujuh rekomendasi yang dibuat Tim 9, mana saja menurut Anda yang sudah dilaksanakan Presiden Jokowi?

Yang tegas dan jelas, ya, yang tidak melantik Budi Gunawan, meski telah dihapuskan status tersangka dalam putusan praperadilan. Itu kan poin pertama kami. Saya yakin dia (Presiden) masih punya niat baik, tapi dia memang belum kenal peta politik.

Bagaimana sebenarnya kondisi yang dihadapi Presiden Jokowi ketika ketegangan politik nasional akibat perseteruan KPK versus Polri terjadi saat itu?

Dia agak bingung. Itu manusiawi, apalagi dia bukan tokoh partai. Dia dicalonkan oleh sebuah partai dan dia bukan tokoh di situ.

Presiden curhat?

Sewaktu kami bertemu pada Rabu (28 Januari 2015) di Istana, dia (Presiden) bicara soal kesehatannya. Dia bilang, meski banyak pekerjaan, ia tidak kesulitan tidur. Namun dari bahasa tubuhnya terlihat dia tertekan. Maaf, tidak bisa saya katakan lebih jauh apa lagi yang disampaikan Presiden.

Jokowi memang tidak mau melantik Budi Gunawan dari awal?

Sudah saya sampaikan ke media bahwa Budi Gunawan bukan keinginan Pak Jokowi. Itu bukan hatinya yang bicara. Saya begitu lega ketika dia menelepon dan bilang tidak akan melantik BG. Saya balas, "Nah, begitu yang benar." Percakapan ini saya informasikan ke Tim 9, yang kemudian tercium pers.

Apa yang mendorong Presiden pada akhirnya tidak jadi melantik Budi Gunawan?

Mungkin dia tergugah ketika berbicara dengan kami. Sebab, saya tahu melantik BG bukan dari hati kecilnya. Budi disodorkan oleh Koalisi Indonesia Hebat, yang tentunya ada PDI Perjuangan di dalamnya. Saya sebut itu di media karena saya mendapat informasi dari tangan pertama. Tapi anehnya, dengan pernyataan-pernyataan saya itu, Ibu Megawati tidak sakit hati kepada saya. Ini yang menarik juga buat saya.

Kok, bisa?

Mungkin mengingat persahabatan saya dengan Taufiq Kemas (almarhum). Padahal pendapat saya berseberangan sekali dengan partainya, tapi saya salut dia tidak sakit hati.

Dari mana Anda tahu bahwa Megawati tidak sakit hati?

Lho, saya bertemu dengan dia (Megawati) tanggal 2 Februari 2015 (Senin) selama dua jam, dari pukul 15.30 sampai 17.30 WIB. Utusannya yang datang dulu ke sini (Nogotirto, Yogyakarta), namanya Arif Budimanta. Arif-lah yang meminta saya datang untuk menemui Mega. Ya, kalau Bu Mega mau bertemu, artinya dia tidak sakit hati kepada saya.

Megawati keberatan terhadap pernyataan-pernyataan Anda?

Dia (Megawati) memang tidak setuju dengan saya, tapi tidak sakit hati. Lancar saja bicaranya ketika berdialog.

Apa yang dikatakan Megawati kepada Anda dan, sebaliknya, apa yang disampaikan Anda kepadanya?

Saya bilang Ibu Megawati hebat. Partai pemenang pemilihan legislatif tapi mencalonkan orang lain, menurut saya itu luar biasa, seperti memberikan mutiara ke kader partai. Itu sikap negarawan yang tinggi nilainya. Karena itu, saya bilang ke Ibu Mega, dalam soal BG ini, coba dipakai lagi parameter negarawannya itu karena BG sudah ditolak orang banyak. Nah, di sini kami berbeda pandangan. Mega mengatakan kalau mau memperbaiki negara ini, ya, dengan melantik BG, pintu masuknya di situ. Tapi dia tidak emosi dalam menyampaikannya. Itu hebat. Tokoh partai lain yang hadir saat itu adalah Hasto Kristiyanto.

Sewaktu pertemuan itu, Anda merasa diintervensi oleh Mega cs?

Tidak ada. Kami sejajar di situ. Ada obrolan juga tentang bagaimana Pak TK (Taufiq Kiemas) mengontrol makannya. Karena saya punya penyakit gula, jadi ingin tahu.

Ada yang diminta Megawati ke Anda?

Tidak ada sama sekali. Apalagi meminta supaya mendukung atau apa, tidak akan mungkin dia (Megawati) minta itu. Dia tahu betul saya.

Kemudian tujuan dia memanggil Anda itu apa, dong?

Saya rasa saya sudah biasa bertemu dengan beberapa tokoh, jadi ya biasa saja.

Sebenarnya kedekatan Megawati dengan BG itu seperti apa-setahu Anda?

Budi Gunawan itu ajudannya, sampai situ saja. Saya tidak mau mengatakan lebih.

Kenapa Megawati sengotot itu mencalonkan Budi Gunawan?

Dianggap mampu dan sudah kenal betul. Kemudian, ketika saya tanya kenapa Pak Sutarman diberhentikan, jawab Ibu Mega karena Sutarman tidak mengusut kasus tabloid Obor Rakyat yang menghantam Jokowi. Mega beranggapan kasus ini seperti tidak diurus.

Bukannya sudah ada tersangka: Setiyardi Budiono dan H. Darmawan Sepriyosa?

Ya, tapi seperti tidak ada tindak lanjutnya.

Pemilihan Taufiequrachman Ruki, Johan Budi Sapto Prabowo, dan Indriyanto Seno Adji sebagai pemimpin KPK apakah merupakan nama-nama yang disarankan Tim 9?

Kami tidak ikut menyarankan nama. Kami hanya membela eksistensi KPK. Sebab, belum ada lembaga antirasuah yang seefektif KPK. Polisi dan kejaksaan kan tidak efektif selama ini. Nah, KPK menjawab kelemahan dua lembaga penegak hukum ini.

Dengan pemimpin KPK yang baru, Anda percaya mereka bisa kredibel?

Saya tidak mau mengatakan percaya atau tidak. Mereka mungkin yang paling realistis di mata Presiden. Walaupun yang satu itu (Indriyanto Seno Adji) banyak yang dikritik.

Justru, menurut sumber kami, Indriyanto Seno Adji tidak setuju soal pelimpahan kasus KPK ke penegak hukum lain bersama Johan Budi, sementara Taufiequrachman Ruki, Zulkarnain, dan Adnan Pandu Praja malah setuju pelimpahan kasus KPK yang sedang dipraperadilankan....

Aduh, ini bagaimana. Negeri ini gagal melahirkan negarawan. Kenapa tidak ada yang berpikir besar tentang bangsa dan keadilan?

Setelah pelantikan Budi Gunawan dibatalkan, kemudian Presiden Jokowi menetapkan pemimpin KPK baru, Anda melihat perseteruan antara KPK dan polisi akan mereda?

Harus reda. Kalau tidak, rusak negara ini. Harus cepat juga Tim Pansel (Panitia Seleksi) KPK dibentuk. Oktober, saya rasa sudah harus ada. Dicari orang yang benar. J
angan pemimpin KPK yang dipilih sendiri oleh Dewan dan panitia tapi malah dijadikan tersangka. Sulit dimengerti para politikus ini. Mereka seperti tidak mau naik kelas, cuma berhenti jadi politikus dan cari makan di situ. Sangat rendah levelnya karena tidak memiliki idealisme kebangsaan. Saya rasa dari situ semua pangkal masalahnya.

Sekarang ini proses kriminalisasi KPK masih gencar berjalan. Novel Baswedan telah berstatus tersangka dalam kasus dugaan penganiayaan berat. Belum lagi 21 penyidik yang terancam menjadi tersangka atas kasus dugaan kepemilikan senjata api ilegal.

Soal senjata, itu kepemilikannya kan ternyata legal, cuma terlambat perpanjang saja. Ini mah kacang goreng.

Ya, kan artinya dicari-cari oleh polisi....

Memang. Karena itu, saya bilang Kabareskrim (Budi Waseso) harus diganti. Dia tidak mengerti reserse karena tidak pernah di bidang itu.

Tapi yang bisa menghentikan kriminalisasi ini kan Presiden?

Perintahkan saja si Haiti itu (Kepala Kepolisian RI Badrodin Haiti). Kan, polisi di bawah Presiden. Itu yang harus dilakukan Presiden.

Anda akan memberi saran kepada Jokowi untuk melakukan itu?

Tidak mau saya. Kalau dia minta, baru saya lakukan.

Indikasi kriminalisasi itu tidak akan berhenti?

Ini anomali. Ada polisi bintang tiga bercerita kepada saya bahwa di lingkup internal kepolisian ada dua kubu yang bertentangan secara tajam, yakni kubu Budi Waseso dan Budi Gunawan versus Suhardi Alius. Badrodin tidak berdaya menghadapi ini. Menurut sumber saya, semua masalah ini adalah karena kesalahan petinggi polisi yang tidak mau menata polisi. Mereka tidak pernah memanfaatkan Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi untuk menyiapkan calon Kapolri yang baik.

Dengan sikap kritis selama ini, Anda tidak takut diancam?

Mana ada yang mengancam? Di rumah juga saya tinggal sendiri. Berangkat ke mana-mana sendiri. Tapi, kalau ke luar kota atau naik pesawat, saya ditemani. Ditemani oleh tongkat saya, ha-ha-ha….

Memasuki usia senja, Anda masih terlihat bugar. Apa karena Anda hidup dengan kesederhanaan?

Kalau orang Padang itu tidak mungkin sederhana karena sukanya makan. Coba saya tanya di mana sederhananya? Saya ada penyakit gula, tapi masih terkontrol. Kalau ada waktu luang, saya berolahraga naik sepeda.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus