GELOMBANG samudra itu selalu bergemuruh bengis. Tapi para lelaki
itu tak getar. Dengan menyandang kantung dari anyaman daun
kelapa di pinggang, mereka menuruni tebing curam dengan tangga
rotan sepanjang 30 meter. Tangan kiri berpegang pada tangga,
tangan kanan membawa galah bambu. Sesekali gelombang besar
menghempas-hempaskan tubuh mereka ke punggung batu-batu pantai.
Mereka adalah para pemetik sarang burung layang-layang
(walet), di Desa Karang-bolong dipantai Samudera Indonesia, 18
km selatan Kota Gombong, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah.
Burung-burung itu bersarang di sebuah gua yang panjangnya
ratusan meter dan garis keliling mulutnya puluhan meter.
Untuk menjolok sarang burung di langit-langit gua yang gelap
itu, mereka harus meniti tangga bambu belasan meter.
Tidak semua orang berani melakukan pekerjaan yang mempertaruhkan
nyawa itu. Bisa dimaklum bila di desa nelayan itu hanya ada 18
orang pemetik. Selain itu penduduk percaya bahwa hanya
orang-orang tertentu yang mendapat "perkenan" memetik harta Nyai
Rorokidul -- ratu penguasa tunggal lautan selatan dalam
dongengan rakyat Jawa itu.
Mereka haruslah keturunan Ki Bekel Sodrono, abdi dalem (hamba
sahaya) Kasultanan Kartasura di abad XVIII yang konon pertama
kali menemukan gua tersebut. Ratusan tahun hingga sekarang,
orang mencari sarang yang terbuat dari air liur burung walet
itu, yang biasa diolah menjadi makanan bergizi tinggi. Orang
Cina sangat gemar makanan bercampur sarang burung walet. (lihat
box).
Sanmihardjo, 45 tahun, sudah belasan tahun menjadi pemetik.
Untuk menjadi pemetik profesional, ia dilatih orangtuanya.
"Mula-mula belajar naik-turun tangga rotan membawa bambu. Badan
saya gemetar, keringat dingin bercucuran," tuturnya. Tapi rasa
takut itu segera hilang, katanya, setelah ia membaca mantera di
mulut gua, agar Nyai mengetahui ada anggota baru.
Namun mantera saja tidak cukup. Ia harus menikah lagi. Bukan
dengan sembarang wanita, tapi dengan putri makhluk halus
"kerabat kraton" sang ratu. Pernikahan secara adat dilangsungkan
pada 1965, tanpa penghulu tanpa pengantin perempuan. Sementara
sarahan (mas kawin) ditaburkan di laut, pengantin lelaki
menyembah ke arah tahta sang ratu di Samudera Indonesia. Mas
kawin itu berupa berbagai macam bunga, ayam berbulu hitam, nasi
tumpeng dan jajanan (makanan kecil).
"Sejak itu saya tidak takut masuk ke dalam gua," ujar
Sanmihardjo. Juga ia tidak lagi masuk angin lantaran hempasan
badai. Ia yakin "sang istri" itulah yang menjaganya. "Perkawinan
itu sebagai lambang penyatuan dengar alam semesta," ujarnya.
Dan istri Sanmihardjo yang sebenamya tidak cemburu. "Itu satu
kehormatan -- suami saya diambil menantu oleh sang ratu," kata
ibu dari 11 anak itu mantap.
Gua Karangbolong sudah sejak lama kelola Pemda Kabupaten
Kebumen. Usaha pengunduhan sarang burung diatur Dinas Pendapatan
Daerah, segi pariwisatanya ditangani Dinas Pariwisata. Wilayah
sekitar gua memang sering dikunjungi banyak orang dari berbagai
daerah untuk piknik. Itulah sebabnya para pengunduh itu juga
diangkat menjadi pegawai negeri. Dan mereka bangga. Pangkatnya
bermacam-macam: sortir (paling tinggi), mandor, sikep, bantu.
Sanmihardjo yang berpangkat mandor, adalah pegawai negeri
golongan I-C dengan gaji Rp 55.000/bulan.
"Soal besarnya gaji itu tidak jadi masalah bagi saya. Saya cukup
berbahagia terpilih sebagai penjaga harta kekayaan Nyai,"
katanya dengan yakin. Panen sarang burung dilakukan empat kali
setahun, pada mongso (musim) kedua, empat, tujuh dan kesembilan
dari perhitungan kalender Jawa. Hari pasarannya harus jatuh pada
Pahing dan Pon. "Pada mongso seperti itu sarang burung sudah
kering," kata Sanmihardjo.
Setiap kali hendak memanen, Sanmihardjo dan pemetik lain masih
harus mengikuti upacara selamatan, yang biayanya ditanggung
Pemda Kebumen. Upacara selama seminggu itu didahului dengan
pergelaran wayang kulit pada hari Jumat dengan lakon Tambak Dewi
Lampet hari Sabtu mementaskan ketoprak Keong Mas atau tari
topeng Panji Asmarabangun.
Pada hari Minggu menanggap tarian kuda kepang dan tayuban. Dalam
tayuban inilah para pemetik bersenang-senang, memilih pasangan
menari. "Semua syarat itu harus dipenuhi. Kalau tidak, dibayar
berapa pun saya tidak mau. Saya takut Nyai marah. Dan itu
taruhannya nyawa," ujar Sanmihardjo.
Setelah itu mereka beristirahat selama dua hari, dan dilarang
menemui istri yang sesungguhnya -- apalagi bergaul sebagai
suami-istri. Selama memetik itulah -- biasanya makan waktu tujuh
hari -- konon mereka bisa bertemu dengan istri berbadan halus
itu. "Wajahnya persis sama dengan istri saya, hanya baunya lebih
wangi," kata Sanmihardjo.
Para pemetik dilarang mengenakan kain batik bermotif parang
rusak dan kawung picis yang juga disebut pertiwi, serta baju
berbentuk barong (pakaian resmi abdi dalem). Warna yang juga
dipantang ialah hijau. Jenis pakaian seperti itu konon kesukaan
Nyai Rorokidul, karena itu dikhawatirkan si pemakai bisa celaka.
Sampai sekarang Pemda Kebumen tidak mengasuransikan para
pengunduh, karena dianggap belum pernah terjadi kecelakaan.
Padahal untuk menjolok sarang burung dalam gua itu cukup sulit.
Mereka meniti tangga-tangga bambu, kadang-kadang harus
menggelantung pada tangga rotan -- kalau sarang burung itu
menyelip di bagian-bagian yang sempit dan berkelok-kelok. Lebih
dari lima jam mereka tahan berada dalam gua gelap itu.
Selama seminggu mengumpulkan sarang burung, para pengunduh tak
merasa kesepian. Mardjo, 45 tahun, misalnya. Malam hari ia tidur
di dangau kecil di atas bukit Karangbolong dan masak sendiri.
Kadang-kadang ia merasa kangen dengan ketiga anaknya. "Tapi agak
terhibur menyaksikan monyet-monyet di bukit. Di malam hari
kadang-kadang bisa melihat kapal-kapal penangkap ikan," katanya.
Ia pegawai negeri golongan I-B.
Pemetik lain seperti Admin, 30 tahun, juga sering mengalami
saat-saat sepi ketika berjaga-jaga di atas gua di malam hari.
"Tapi suara ombak makin lama makin terasa enak di telinga saya.
Hanya itulah hiburan satu-satunya. Saya kadang-kadang kangen
kalau lama tidak mendengar suara ombak samudra," katanya. Baru
dua tahun Admin menjadi pemetik dengan gaji Rp 40.000/bulan.
Setiap kali musim panen tak kurang dari 100 kg sarang burung
dipetik. Harga resminya Rp 80.000/kg, di pasaran bebas bisa
mencapai Rp 125.000/kg.
Pembeli umumnya para pedagang Cina. Penjualannya dilakukan
dengan sistem lelang. Para pemetik sendiri tidak menikmati hasil
panen. Mereka hanya menerima gaji. Hanya bila hasil panen
melebihi 100 kg, sisanya boleh diambil 10% untuk dibagi-bagikan
kepada para pemetik. Tapi hasil panen itu lebih sering kurang
dari 100 kg.
Memang ada usaha memanfaatkan keuntungan penjualan sarang
burung, misalnya membangun jalan Karangbolong -- Gombong
sepanjang 18 km. Atau membangun pesanggrahan Karangbolong dengan
bangunan joglo yang mewah. Itu semua untuk kepentingan
pariwisata. Tapi penduduk tetap melarat sebagai petani singkong
atau nelayan miskin.
Di pantai Desa Cipancong, Kabupaten Garut, Jawa Barat juga ada
gua tempat burung walet bersarang. Ukurannya tidak sebesar gua
Karangbolong. Di sana, para pemetik adalah nelayan biasa bukan
pegawai negeri. Mereka mencari sarang burung bila pendapatan
hasil laut kurang mencukupi. "Pekerjaan itu hanya menyenangkan
orang kota saja. Sedang kami mempertaruhkan nyawa," kata
Salimin, 35 tahun, nelayan yang suka mencari sarang burung.
Tidak seperti di Karangbolong, hasil penjualan sarang burung di
Cipancong dibagi sama rata di antara penduduk desa yang tak
lebih dari 100 kk itu. Tidak berupa uang tapi keperluan
sehari-hari seperti minyak goreng, sabun, dan barang-barang yang
langka di desa, seperti baterai atau pasta gigi. Mereka yang
ikut memetik mendapat bagian lebih banyak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini