Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Air liur di sebuah gua

Suka duka pemetik sarang burung walet, walau taruhannya nyawa tapi kehidupannya tetap tak berubah. ada yang digaji sebagai pegawai negeri. para pemetiknya tak banyak mendapat manfaat.(sd)

19 Juni 1982 | 00.00 WIB

Air liur di sebuah gua
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
GELOMBANG samudra itu selalu bergemuruh bengis. Tapi para lelaki itu tak getar. Dengan menyandang kantung dari anyaman daun kelapa di pinggang, mereka menuruni tebing curam dengan tangga rotan sepanjang 30 meter. Tangan kiri berpegang pada tangga, tangan kanan membawa galah bambu. Sesekali gelombang besar menghempas-hempaskan tubuh mereka ke punggung batu-batu pantai. Mereka adalah para pemetik sarang burung layang-layang (walet), di Desa Karang-bolong dipantai Samudera Indonesia, 18 km selatan Kota Gombong, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Burung-burung itu bersarang di sebuah gua yang panjangnya ratusan meter dan garis keliling mulutnya puluhan meter. Untuk menjolok sarang burung di langit-langit gua yang gelap itu, mereka harus meniti tangga bambu belasan meter. Tidak semua orang berani melakukan pekerjaan yang mempertaruhkan nyawa itu. Bisa dimaklum bila di desa nelayan itu hanya ada 18 orang pemetik. Selain itu penduduk percaya bahwa hanya orang-orang tertentu yang mendapat "perkenan" memetik harta Nyai Rorokidul -- ratu penguasa tunggal lautan selatan dalam dongengan rakyat Jawa itu. Mereka haruslah keturunan Ki Bekel Sodrono, abdi dalem (hamba sahaya) Kasultanan Kartasura di abad XVIII yang konon pertama kali menemukan gua tersebut. Ratusan tahun hingga sekarang, orang mencari sarang yang terbuat dari air liur burung walet itu, yang biasa diolah menjadi makanan bergizi tinggi. Orang Cina sangat gemar makanan bercampur sarang burung walet. (lihat box). Sanmihardjo, 45 tahun, sudah belasan tahun menjadi pemetik. Untuk menjadi pemetik profesional, ia dilatih orangtuanya. "Mula-mula belajar naik-turun tangga rotan membawa bambu. Badan saya gemetar, keringat dingin bercucuran," tuturnya. Tapi rasa takut itu segera hilang, katanya, setelah ia membaca mantera di mulut gua, agar Nyai mengetahui ada anggota baru. Namun mantera saja tidak cukup. Ia harus menikah lagi. Bukan dengan sembarang wanita, tapi dengan putri makhluk halus "kerabat kraton" sang ratu. Pernikahan secara adat dilangsungkan pada 1965, tanpa penghulu tanpa pengantin perempuan. Sementara sarahan (mas kawin) ditaburkan di laut, pengantin lelaki menyembah ke arah tahta sang ratu di Samudera Indonesia. Mas kawin itu berupa berbagai macam bunga, ayam berbulu hitam, nasi tumpeng dan jajanan (makanan kecil). "Sejak itu saya tidak takut masuk ke dalam gua," ujar Sanmihardjo. Juga ia tidak lagi masuk angin lantaran hempasan badai. Ia yakin "sang istri" itulah yang menjaganya. "Perkawinan itu sebagai lambang penyatuan dengar alam semesta," ujarnya. Dan istri Sanmihardjo yang sebenamya tidak cemburu. "Itu satu kehormatan -- suami saya diambil menantu oleh sang ratu," kata ibu dari 11 anak itu mantap. Gua Karangbolong sudah sejak lama kelola Pemda Kabupaten Kebumen. Usaha pengunduhan sarang burung diatur Dinas Pendapatan Daerah, segi pariwisatanya ditangani Dinas Pariwisata. Wilayah sekitar gua memang sering dikunjungi banyak orang dari berbagai daerah untuk piknik. Itulah sebabnya para pengunduh itu juga diangkat menjadi pegawai negeri. Dan mereka bangga. Pangkatnya bermacam-macam: sortir (paling tinggi), mandor, sikep, bantu. Sanmihardjo yang berpangkat mandor, adalah pegawai negeri golongan I-C dengan gaji Rp 55.000/bulan. "Soal besarnya gaji itu tidak jadi masalah bagi saya. Saya cukup berbahagia terpilih sebagai penjaga harta kekayaan Nyai," katanya dengan yakin. Panen sarang burung dilakukan empat kali setahun, pada mongso (musim) kedua, empat, tujuh dan kesembilan dari perhitungan kalender Jawa. Hari pasarannya harus jatuh pada Pahing dan Pon. "Pada mongso seperti itu sarang burung sudah kering," kata Sanmihardjo. Setiap kali hendak memanen, Sanmihardjo dan pemetik lain masih harus mengikuti upacara selamatan, yang biayanya ditanggung Pemda Kebumen. Upacara selama seminggu itu didahului dengan pergelaran wayang kulit pada hari Jumat dengan lakon Tambak Dewi Lampet hari Sabtu mementaskan ketoprak Keong Mas atau tari topeng Panji Asmarabangun. Pada hari Minggu menanggap tarian kuda kepang dan tayuban. Dalam tayuban inilah para pemetik bersenang-senang, memilih pasangan menari. "Semua syarat itu harus dipenuhi. Kalau tidak, dibayar berapa pun saya tidak mau. Saya takut Nyai marah. Dan itu taruhannya nyawa," ujar Sanmihardjo. Setelah itu mereka beristirahat selama dua hari, dan dilarang menemui istri yang sesungguhnya -- apalagi bergaul sebagai suami-istri. Selama memetik itulah -- biasanya makan waktu tujuh hari -- konon mereka bisa bertemu dengan istri berbadan halus itu. "Wajahnya persis sama dengan istri saya, hanya baunya lebih wangi," kata Sanmihardjo. Para pemetik dilarang mengenakan kain batik bermotif parang rusak dan kawung picis yang juga disebut pertiwi, serta baju berbentuk barong (pakaian resmi abdi dalem). Warna yang juga dipantang ialah hijau. Jenis pakaian seperti itu konon kesukaan Nyai Rorokidul, karena itu dikhawatirkan si pemakai bisa celaka. Sampai sekarang Pemda Kebumen tidak mengasuransikan para pengunduh, karena dianggap belum pernah terjadi kecelakaan. Padahal untuk menjolok sarang burung dalam gua itu cukup sulit. Mereka meniti tangga-tangga bambu, kadang-kadang harus menggelantung pada tangga rotan -- kalau sarang burung itu menyelip di bagian-bagian yang sempit dan berkelok-kelok. Lebih dari lima jam mereka tahan berada dalam gua gelap itu. Selama seminggu mengumpulkan sarang burung, para pengunduh tak merasa kesepian. Mardjo, 45 tahun, misalnya. Malam hari ia tidur di dangau kecil di atas bukit Karangbolong dan masak sendiri. Kadang-kadang ia merasa kangen dengan ketiga anaknya. "Tapi agak terhibur menyaksikan monyet-monyet di bukit. Di malam hari kadang-kadang bisa melihat kapal-kapal penangkap ikan," katanya. Ia pegawai negeri golongan I-B. Pemetik lain seperti Admin, 30 tahun, juga sering mengalami saat-saat sepi ketika berjaga-jaga di atas gua di malam hari. "Tapi suara ombak makin lama makin terasa enak di telinga saya. Hanya itulah hiburan satu-satunya. Saya kadang-kadang kangen kalau lama tidak mendengar suara ombak samudra," katanya. Baru dua tahun Admin menjadi pemetik dengan gaji Rp 40.000/bulan. Setiap kali musim panen tak kurang dari 100 kg sarang burung dipetik. Harga resminya Rp 80.000/kg, di pasaran bebas bisa mencapai Rp 125.000/kg. Pembeli umumnya para pedagang Cina. Penjualannya dilakukan dengan sistem lelang. Para pemetik sendiri tidak menikmati hasil panen. Mereka hanya menerima gaji. Hanya bila hasil panen melebihi 100 kg, sisanya boleh diambil 10% untuk dibagi-bagikan kepada para pemetik. Tapi hasil panen itu lebih sering kurang dari 100 kg. Memang ada usaha memanfaatkan keuntungan penjualan sarang burung, misalnya membangun jalan Karangbolong -- Gombong sepanjang 18 km. Atau membangun pesanggrahan Karangbolong dengan bangunan joglo yang mewah. Itu semua untuk kepentingan pariwisata. Tapi penduduk tetap melarat sebagai petani singkong atau nelayan miskin. Di pantai Desa Cipancong, Kabupaten Garut, Jawa Barat juga ada gua tempat burung walet bersarang. Ukurannya tidak sebesar gua Karangbolong. Di sana, para pemetik adalah nelayan biasa bukan pegawai negeri. Mereka mencari sarang burung bila pendapatan hasil laut kurang mencukupi. "Pekerjaan itu hanya menyenangkan orang kota saja. Sedang kami mempertaruhkan nyawa," kata Salimin, 35 tahun, nelayan yang suka mencari sarang burung. Tidak seperti di Karangbolong, hasil penjualan sarang burung di Cipancong dibagi sama rata di antara penduduk desa yang tak lebih dari 100 kk itu. Tidak berupa uang tapi keperluan sehari-hari seperti minyak goreng, sabun, dan barang-barang yang langka di desa, seperti baterai atau pasta gigi. Mereka yang ikut memetik mendapat bagian lebih banyak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus