Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Cak nur: tetap tetapi berubah

Sejak belajar filsafat agama di chicago, cak nur nampak tetap di permukaan, tapi berubah di dalam. pemikirannya berubah jauh sekali: menukik sejarah pengetahuan dalam islam secara tuntas.

19 Juni 1982 | 00.00 WIB

Cak nur: tetap tetapi berubah
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
NURCHOLIS Madjid sudah empat tahun di Chicago. Belajar jadi jagon 'ngelmu' -- dalam arti pengertian yang dalam, yaitu tentang hakikat Tuhan dan seterusnya, kata filsafat memang bidang yang sedang didalaminya. Dua kali pindah tempat tinggal, tetap saja keadaannya: rumahnya masih begitu-begitu, maklum perumahan mahasiswa yang sudah berkeluarga. Susunan rumah juga tetap saja, tiga kali penulis datang menjenguknya: ruangan utama masih seperti toko buku loakan. Pakaian juga seperti dulu, tidak pernah mengikuti fashion. Mobil tetap seperti di Jakarta: karena tidak mengerti mesin dan tidak tahu penyakit mobil, ya dibiarkan saja berjalan seadanya. Ternyata keadaan-tetap yang dihayati Cak Nur ini (panggilan populernya) juga tampak dalam sikap dan cara berpikirnya Masih saja memusatkan perhatian pada masalah-masalah dasar dalam pemikiran keagamaan, tidak begitu banyak tergoda oleh isu-isu sampingan. Kalau bicara masih saja sering bersifat refleksi begitu jauh sehingga tidak mudah diikuti. Masih begitu terikat pada ayat-ayat Al-Quran sebagai 'pembenaran'. Juga masih tetap bernada tinggi menolak sikap apologetik yang umum melanda dunia tulis-menulis keagamaan kaum muslimin. Dan terutama, masih terlalu melihat keadaan dalam kerangka keterlibatan dirinya sendiri pada perkembangan, seperti terlihat dari komentar yang tidak kunjung hilang tentang 'kelompok Masjumi'. Tiap-tiap kali muncul lagi, walaupun sudah tentu dalam 'warna' yang lain dari dahulu. Tetapi yang paling menggembirakan adalah kenyataan ia masih tetap dalam hal yang paling menentukan: pandangannya jernih, dan mencekam dalam mengartikulasikan pendapat. Lebih matang, malah. Mungkin karena didisplin oleh keharusan menulis makalah demi makalah untuk pertanggungjawaban studi kepada sekian dosen tukang gorok mahasiswa purna sarjana. DISIPLIN yang sekarang saja sudah menghasilkan dua tulisan serius yang diterbitkan sebagai buku di rantau orang. Juga kematangan yang dihasilkan dialog internal dalm dirinya, di kala menimba begitu banyak literatur, yang didukung oleh penguasaan sekian bahasa sebagai persyaratan ilmiah mempersiapkan disertasi doktor. Selera bacaan mungkin memang masih belum bervariasi: belum tampak novel dari tingkat sastra dunia menghiasi lemari bukunya. Jadi masih berorientasi buku teks, sudah tentu dalam artian sumber bacaan, bukan model berpikir. Tetapi selera musik sudah berubah. Tidak lagi puas dengan Indonesia Raya dan Himne HMI, sudah beranjak ke musik klasik -- walaupun masih seri 'Greatest Hit' yang dijajakan The Reader's Digest dengan harga reduksi. Juga sudah senang memotret, yang kelihatannya jadi hobi serius yang dapat menopang hidup kalau rezeki tidak 'ketulungan' di tanah air kelak. Mata fotografisnya memang jeli, dan kualitas kerjaannya memang tinggi. Dan sudah 'mampu' bertanya berapa harga dapur gas Elpiji dan kulkas di tanah air. Pesat sekali kemajuannya, bagai lompatan dari manusia Neanderthal menjadi manusia bionic, karena dahulu ia tidak pernah bertanya tentang hal-hal sekecil itu! Perkembangan terbesar justru terjadi dalam pandangan ilmiahnya. Cakrawala perhatiannya jelas berubah secara total. Dahulu hanya berkisar pada 'ilmu-ilmu agama' kontemporer yang serba mentah, yang menguasai 'pengetahuan agama Islam' di tanah air hingga kini. Cak Nur berubah jauh sekali: menukik sejarah pengetahuan dalam Islam secara tuntas. Menimba khazanah filsafat, theologia dan hukum-hukum agama yang begitu kaya dengan literatur. Tauhid baginya sudah bukan lagi produk akhir dari era Rasyid Ridha, yang meredusir sesuatu yang begitu agung dan menjadikannya stelsel pemikiran ontologis yang sangat kering. Cak Nur justru menghayati kembali pergulatan pikiran di bidang theologis ini dalam segala gegap-gempita dan hiruk-pikuk masa Al-Asy'ari, Al-Baqillani dan An-Nadzam. Perbenturan antara pemikiran filosofis dan legal-formalis agama, yang melahirkan Ilmu Kalam, yang kini dikenal dengan sebutan Ilmu Tauhid. Penjelajahanya diperkirakan akan mengungkapkan: Mengapa (dan benarkah) 'biang kerok' pembaharuan, Ibn Taimiyatl, menentang filsafat? THEOLOOG 'garis keras' itu ternyata tidak segalak yang diduga, kata Cak Nur. Ia masih menganggap perlu filsafat naturalistik walaupun menolak filsafat skolastik yang selalu mengada-ada. Kalau Cak Nur berhasil membuktikan bahwa Ibn Taimiyah tidak menolak filsafat secara keseluruhan, akan besar akibatnya: Arab Saudi tidak mungkin lagi melarang buku-buku filsafat masuk ke dalam negeri seperti sekarang. Para pemikir muslimin lainnya juga tidak akan ketakutan kepada ideologi-ideologi yang bersumber kepada filsafat besar-besar (seperti Marxisme yang berlandaskan rilsafat dialektis yang bercorak materialistis-deterministis). Siapa tahu eksistensialisme, lawan bebuyutan legal-formalisme dalam berpikir, suatu ketika akan dapat diserap juga oleh pemikiran keagamaan Islam! Mungkin Cak Nur tetap saja di permukaan. Tetapi ia berubah secara mendasar di dalam. Tetap terbuka dan jujur kepada pandangan, tetapi berubah pada aspek kedalaman dan keluasan. Mungkin tidak lagi menggunakan istilah-istilah 'mengerikan' bagi orang lain, seperti sekuralisasi dan sebagainya. Tapi ia akan tetap pada keyakinan, bahwa pemikiran agama harus dibenahi secara fundamental, harus ada otonomi penuh bagi akal. Harus ada pemisahan antara yang benar-benar esensial dan menjadi hak Allah, dan yang sepenuhnya menjadi tugas manusia untuk merumuskannya. Tetap, tetapi berubah, atau berubah tetapi tetap. Seperti Al-Ghazali sebelum dan setelah menjadi sufi: berubah dalam visi, tetap dalam keagungan ilmiah -- karena mempertahankan hak memeriksa segala-galanya melalui kemerdekaan berpikir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus