NURCHOLIS Madjid sudah empat tahun di Chicago. Belajar jadi
jagon 'ngelmu' -- dalam arti pengertian yang dalam, yaitu
tentang hakikat Tuhan dan seterusnya, kata filsafat memang
bidang yang sedang didalaminya. Dua kali pindah tempat tinggal,
tetap saja keadaannya: rumahnya masih begitu-begitu, maklum
perumahan mahasiswa yang sudah berkeluarga. Susunan rumah juga
tetap saja, tiga kali penulis datang menjenguknya: ruangan utama
masih seperti toko buku loakan.
Pakaian juga seperti dulu, tidak pernah mengikuti fashion. Mobil
tetap seperti di Jakarta: karena tidak mengerti mesin dan tidak
tahu penyakit mobil, ya dibiarkan saja berjalan seadanya.
Ternyata keadaan-tetap yang dihayati Cak Nur ini (panggilan
populernya) juga tampak dalam sikap dan cara berpikirnya Masih
saja memusatkan perhatian pada masalah-masalah dasar dalam
pemikiran keagamaan, tidak begitu banyak tergoda oleh isu-isu
sampingan. Kalau bicara masih saja sering bersifat refleksi
begitu jauh sehingga tidak mudah diikuti. Masih begitu terikat
pada ayat-ayat Al-Quran sebagai 'pembenaran'.
Juga masih tetap bernada tinggi menolak sikap apologetik yang
umum melanda dunia tulis-menulis keagamaan kaum muslimin. Dan
terutama, masih terlalu melihat keadaan dalam kerangka
keterlibatan dirinya sendiri pada perkembangan, seperti terlihat
dari komentar yang tidak kunjung hilang tentang 'kelompok
Masjumi'. Tiap-tiap kali muncul lagi, walaupun sudah tentu dalam
'warna' yang lain dari dahulu.
Tetapi yang paling menggembirakan adalah kenyataan ia masih
tetap dalam hal yang paling menentukan: pandangannya jernih, dan
mencekam dalam mengartikulasikan pendapat. Lebih matang, malah.
Mungkin karena didisplin oleh keharusan menulis makalah demi
makalah untuk pertanggungjawaban studi kepada sekian dosen
tukang gorok mahasiswa purna sarjana.
DISIPLIN yang sekarang saja sudah menghasilkan dua tulisan
serius yang diterbitkan sebagai buku di rantau orang. Juga
kematangan yang dihasilkan dialog internal dalm dirinya, di kala
menimba begitu banyak literatur, yang didukung oleh penguasaan
sekian bahasa sebagai persyaratan ilmiah mempersiapkan disertasi
doktor.
Selera bacaan mungkin memang masih belum bervariasi: belum
tampak novel dari tingkat sastra dunia menghiasi lemari bukunya.
Jadi masih berorientasi buku teks, sudah tentu dalam artian
sumber bacaan, bukan model berpikir. Tetapi selera musik sudah
berubah. Tidak lagi puas dengan Indonesia Raya dan Himne HMI,
sudah beranjak ke musik klasik -- walaupun masih seri 'Greatest
Hit' yang dijajakan The Reader's Digest dengan harga reduksi.
Juga sudah senang memotret, yang kelihatannya jadi hobi serius
yang dapat menopang hidup kalau rezeki tidak 'ketulungan' di
tanah air kelak. Mata fotografisnya memang jeli, dan kualitas
kerjaannya memang tinggi. Dan sudah 'mampu' bertanya berapa
harga dapur gas Elpiji dan kulkas di tanah air. Pesat sekali
kemajuannya, bagai lompatan dari manusia Neanderthal menjadi
manusia bionic, karena dahulu ia tidak pernah bertanya tentang
hal-hal sekecil itu!
Perkembangan terbesar justru terjadi dalam pandangan ilmiahnya.
Cakrawala perhatiannya jelas berubah secara total. Dahulu hanya
berkisar pada 'ilmu-ilmu agama' kontemporer yang serba mentah,
yang menguasai 'pengetahuan agama Islam' di tanah air hingga
kini. Cak Nur berubah jauh sekali: menukik sejarah pengetahuan
dalam Islam secara tuntas. Menimba khazanah filsafat, theologia
dan hukum-hukum agama yang begitu kaya dengan literatur.
Tauhid baginya sudah bukan lagi produk akhir dari era Rasyid
Ridha, yang meredusir sesuatu yang begitu agung dan
menjadikannya stelsel pemikiran ontologis yang sangat kering.
Cak Nur justru menghayati kembali pergulatan pikiran di bidang
theologis ini dalam segala gegap-gempita dan hiruk-pikuk masa
Al-Asy'ari, Al-Baqillani dan An-Nadzam. Perbenturan antara
pemikiran filosofis dan legal-formalis agama, yang melahirkan
Ilmu Kalam, yang kini dikenal dengan sebutan Ilmu Tauhid.
Penjelajahanya diperkirakan akan mengungkapkan: Mengapa (dan
benarkah) 'biang kerok' pembaharuan, Ibn Taimiyatl, menentang
filsafat?
THEOLOOG 'garis keras' itu ternyata tidak segalak yang diduga,
kata Cak Nur. Ia masih menganggap perlu filsafat naturalistik
walaupun menolak filsafat skolastik yang selalu mengada-ada.
Kalau Cak Nur berhasil membuktikan bahwa Ibn Taimiyah tidak
menolak filsafat secara keseluruhan, akan besar akibatnya: Arab
Saudi tidak mungkin lagi melarang buku-buku filsafat masuk ke
dalam negeri seperti sekarang.
Para pemikir muslimin lainnya juga tidak akan ketakutan kepada
ideologi-ideologi yang bersumber kepada filsafat besar-besar
(seperti Marxisme yang berlandaskan rilsafat dialektis yang
bercorak materialistis-deterministis). Siapa tahu
eksistensialisme, lawan bebuyutan legal-formalisme dalam
berpikir, suatu ketika akan dapat diserap juga oleh pemikiran
keagamaan Islam!
Mungkin Cak Nur tetap saja di permukaan. Tetapi ia berubah
secara mendasar di dalam. Tetap terbuka dan jujur kepada
pandangan, tetapi berubah pada aspek kedalaman dan keluasan.
Mungkin tidak lagi menggunakan istilah-istilah 'mengerikan' bagi
orang lain, seperti sekuralisasi dan sebagainya. Tapi ia akan
tetap pada keyakinan, bahwa pemikiran agama harus dibenahi
secara fundamental, harus ada otonomi penuh bagi akal. Harus ada
pemisahan antara yang benar-benar esensial dan menjadi hak
Allah, dan yang sepenuhnya menjadi tugas manusia untuk
merumuskannya.
Tetap, tetapi berubah, atau berubah tetapi tetap. Seperti
Al-Ghazali sebelum dan setelah menjadi sufi: berubah dalam visi,
tetap dalam keagungan ilmiah -- karena mempertahankan hak
memeriksa segala-galanya melalui kemerdekaan berpikir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini