Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Pinrang - Anak-anak datang tanpa berseragam sekolah. Mereka langsung memasuki ruang kelas. Mereka duduk di kursi berjarak dan berbentuk huruf U. Pakaian adat menjadi tema mata pelajaran Bahasa Daerah Kelas VI Sekolah Dasar Negeri 295 Pinrang, Sulawesi Selatan, pada Sabtu, 13 Februari 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jumadil Hamzah, seorang guru di SD tersebut, kemudian menjelaskan jika pakaian adat sering digunakan saat pesta pernikahan. Lalu ia menuliskannya dengan abjad Lontara Bugis menggunakan spidol hitam di papan tulis berwarna putih. “Siapa yang bisa naik membaca huruf Lontara?” kata Jumadil sembari mengajak anak-anak naik ke atas untuk mengeja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jumadil menyebutkan pakaian adat terdiri dari Songkok Recca (Songkok Bone) yang kerap dipakai lelaki saat pesta pernikahan. Lalu Lipa Sabbe yakni sarung sutera Bugis yang digunakan perempuan sepasang dengan Baju Bodo (pakaian tradisional suku Bugis). Kemudian Simpolong Tettong adalah sanggul pengantin Bugis bagi mempelai perempuan.
Beberapa saat kemudian, siswa pun bergantian naik ke papan tulis untuk mengeja huruf Lontara Bugis menggunakan mistar. “Coba baca huruf-huruf di atas,” ucap Jumadil. Berselang lima menit giliran anak yang lain lagi naik membacanya.
Jumadil Hamzah guru SDN 295 Pinrang, Sulawesi Selatan, menjelaskan bahasa daerah Aksara Lontara Bugis kepada muridnya. TEMPO | Didit Hariyadi
Namun, di masa pandemi ini, proses belajar mengajar itu tidak berlangsung seperti biasanya yaitu dua jam dalam satu mata pelajaran. Belajar hanya berlangsung selama 10-15 menit per hari dan tidak semua siswa datang. Guru tetap melakukan pembelajaran tatap muka lantaran belajar online dinilai tidak efektif. Sebab, banyak anak yang tidak memiliki smartphone dan tugasnya biasa dikerjakan oleh kakak atau orang tuanya.
Haspiana, guru lain di sekolah tersebut, mengatakan, sebetulnya saat ini Bahasa Daerah Bugis tidak lagi masuk kurikulum. Akan tetapi, sekolah tetap memasukkan dalam mata pelajaran tambahan berbentuk muatan lokal. Sehingga yang mengajarnya adalah wali kelas, bukan guru bidang studi. “Kita ingin bahasa Bugis dilestarikan. Jadi, kita tetap ajarkan untuk kelas I-VI,” ujar Haspiana yang juga wali kelas I SDN 295 Pinrang itu.
Dulu, Haspiana menambahkan, bahasa Bugis masuk bidang studi, sekarang digabung dalam muatan lokal. Sehingga tidak diwajibkan untuk diajarkan oleh pihak sekolah. Untuk SDN 295 Pinrang, Lontara diajarkan mulai kelas I-VI. Sementara kelas I baru pengenalan abjad ka, ga, nga, ngka, pa, ba, ma, mpa, dan lainnya, kelas IV-VI belajar kalimat dan terjemahannya.
Jadi, tutur Haspiana, materi pelajaran aksara Lontara Bugis bagi siswa berdasarkan buku yang ada. Itu yang menjadi patokan wali kelas untuk diajarkan. Selama proses belajar mengajar yang menjadi kendala awal adalah pengenalan huruf Lontara. “Masih ada saja yang belum bisa membaca. Padahal kkami ita sudah perkenalkan melalui poster-poster,” tutur dia. “Kamimasih berpatokan pada buku yang dibeli.”
Ke depan, sekolah akan mengusulkan ke pemerintah setempat untuk membuat plang – plang yang bertuliskan Lontara saat ada mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN). Kemudian mencari percetakan yang memiliki huruf Lontara lalu dicetak dan dipasang setiap sudut sekolah. Misalnya buang sampah pada tempatnya, ada huruf Lontaranya. Dengan begitu, bisa merangsang anak - anak untuk membaca huruf Lontara di setiap spanduk atau nama jalan saat di luar sekolah.
Kondisi itu membuat kurikulum menjadi kurang dikenal saat ini. Wahyuddin, 20 tahun, seorang anak muda di Pinrang mengaku tidak mengetahui tentang ejaan Lontara Bugis. Apalagi jika disuruh menulis dan mengeja setiap kalimat.
Menurut Wahyuddin, ia hanya belajar saat sekolah dasar dan sekolah menengah pertama. Setelah tamat ia pun tidak mengingatnya lagi. “Di sekolah saja saya belajar, itupun pas di luar tidak diterapkan,” ujar Odding sapaan Wahyuddin. “Yang huruf ka, ga, nga, ngka itu lagi saya lupa.”
Kepala Bidang Pembinaan Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Pinrang, Darmin, menanggapi tentang kondisi pelajaran Bahasa Daerah dan Lontara Bugis tersebut. Menurut dia, sejak tahun 1990-an, Bahasa Daerah menjadi mata pelajaran tambahan, yang tergabung dalam muatan lokal. Pemerintah mengklaim melakukan perubahan sebagai bentuk upaya melestarikan kearifan lokal termasuk bahasa Bugis. Dan Lontara Bugis kemudian menjadi bidang studi di sekolah pada tahun 1980-an.
Bahasa Daerah saat ini tidak masuk dalam kurikulum, sehingga yang menentukan adalah masing-masing sekolah. Itu berbeda dengan mata pelajaran pokok yang harus mengikuti dinas pendidikan, seperti Matematika, Bahasa Indonesia, PPKN, Ilmu Pengetahuan Alam, dan Ilmu Pengetahuan Sosial. “Tapi, kita tetap ajarkan Bahasa Daerah supaya mereka paham,” ucap Darmin di kantornya, Rabu, 10 Februari 2021.
Namun, kata Darmin, masing-masing sekolah berbeda dalam menentukan muatan lokal. Misalnya di wilayah pegunungan, mencakup mata pelajaran Bahasa Daerah, perkebunan atau pertanian. Itu dilakukan sebagai bentuk upaya pemerintah melestarikan kearifan lokal di masing-masing daerah di Kabupaten Pinrang. Meskipun nilai dari Bahasa Daerah tidak mempengaruhi saat kenaikan kelas.
Jumadil Hamzah guru SDN 295 Pinrang, Sulawesi Selatan, menjelaskan bahasa daerah Aksara Lontara Bugis kepada muridnya. TEMPO | Didit Hariyadi
“Justru dengan dihapusnya bidang studi (Bahasa Daerah) dan diangkat menjadi muatan lokal, hal itu menjadi lebih efektif,” ujar dia. “Itulah sasaran kita mulai anak SD tetap belajar”.
Meski begitu, Darmin mengaku belum ada komunitas yang peduli terhadap Lontara Bugis di Pinrang. Sehingga masih banyak generasi muda yang lupa dengan abjad Lontara. Apalagi di era digital sekarang. Padahal mereka adalah generasi penerus yang diharapkan bisa melestarikannya.
Ke depan, pemerintah pun berupaya membentuk komunitas agar tetap mempertahankan aksara Lontara. Karena ada beberapa huruf yang berbeda antara kata dan cara penyebutannya. Pemerintah daerah juga menerapkan bahasa Bugis dalam setiap pertemuan seperti seminar. Lalu berupaya huruf Lontara bisa di digitalisasi agar menjadi daya tarik generasi muda. “Kita upayakan dibuatkan aplikasi ke depan,” tambah Darmin.
Selain itu, di Pinrang sendiri tidak didapatkan lagi adanya pemakaian huruf Lontara, baik di instansi pemerintah, taman, nama jalan, hingga Tugu Pahlawan.
Secara terpisah, Dosen Departemen Sastra Daerah Fakultas Ilmu Bahasa Universitas Hasanuddin, Basiah, mengatakan aksara Lontara tidak bakal punah. Alasannya, sekolah-sekolah masih mempelajari abjad Lontara yang masuk dalam muatan lokal. Dengan pendidikan tersebut maka aksara itu akan tetap hidup. Apalagi di perguruan tinggi seperti Universitas Hasanuddin, Sastra Daerah tetap eksis sejak 1985 sampai sekarang. “Di Unhas tetap eksis pembelajaran Lontara dari berbagai aspek, mulai filologisnya sampai kemahiran,” kata dia.
Komunitas aksara juga banyak melakukan kegiatan seminar budaya dan menggali sumber lokal dengan melihat relevansinya. Dengan kembali ke teks, tidak ada jalan lain kecuali belajar Lontara. Karena untuk mendapatkan informasi lengkap harus tahu membaca.
Aksara Lontara ini berbeda dengan Jawi, Sunda, dan Bali. Lontara memiliki karakteristik sendiri yang bersifat silabis. Artinya dalam satu huruf bisa dibaca dengan berbagai macam cara. Karena ada 23 huruf digunakan dan tidak menggunakan bunyi mati kecuali eng dan e, itupun tak ada Lontara melambangkannya. “Harus kuasai bahasa Bugis dulu baru dapat membaca baik dan benar,” ujar Basiah.
Ketua Yayasan Aksara Lontaraq Nusantara, Andi Sitti Aisyah, menambahkan pihaknya telah bekerja sama dengan Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI) untuk digitalisasi aksara tersebut. Program ini diharapkan mampu melestarikan aksara Lontara di masa mendatang. “Saat ini baru program lomba membuat website berkonten aksara. Sebelumnya belum ada program yang dijalankan,” tutur Sitti.
Ketua PANDI, Yudho Giri Sucahyo, mengatakan penandatanganan kerja sama ini merupakan kelanjutan dari program bertajuk Merajut Nusantara. Dengan harapan program ini bisa memperkenalkan kembali dan melestarikan budaya asli Indonesia. “Kami senang bekerja sama dalam melestarikan aksara daerah,” ucap Yudho.
DIDIT HARIYADI
Catatan:
Liputan ini didukung oleh PANDI (Pengelola Nama Domain Internet Indonesia) dalam program Merajut Nusantara, Digitalisasai Aksara Nusantara.