Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Identik dengan Indonesia, tempe adalah pangan berbasis nabati yang menyimpan banyak manfaat. Makanan ini tidak saja berguna sebagai pengganti protein hewani tetapi juga dapat menjaga keberlanjutan lingkungan hidup.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Guru Besar FMIPA IPB, Prof. Dr. Ir. Antonius Suwanto, M.Sc., mengatakan tempe mengandung sumber protein tinggi, bahkan dapat menggantikan peran daging merah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Manusia kenapa butuh protein, karena protein yang dibutuhkan itu adalah nitrogennya. Nitrogen memang bisa diperoleh dari kebanyakan produk hewani, daging itu sumber protein,” kata Anton.
Nitrogen sendiri merupakan bagian utama dari asam amino untuk menyusun protein. Namun, Anton mencatat sumber nitrogen dan protein nabati juga bisa didapat melalui kacang-kacangan, terutama pada kedelai yang menjadi bahan dasar pembuatan tempe.
Mengingat tempe bisa dijadikan pangan alternatif pengganti daging, Anton mengatakan saat ini tantangannya adalah menghadirkan tempe dengan variasi-variasi yang lebih kreatif lagi dengan cita rasa hingga tekstur yang beragam. Menurut Anton, makanan yang baik tidak hanya sehat tetapi juga harus memiliki cita rasa yang enak sehingga dapat disukai oleh banyak orang.
“Dalam hal tempe, kita harus menyesuaikan rasanya dengan taste tertentu. Ini perlu kreativitas bagaimana membuat makanan yang sudah sehat tetapi juga harus enak. Misalnya, dibuatlah tempe sebagai pengisi sushi atau bakmi dari tempe,” kata Anton.
Ia mengatakan sudah semestinya orang Indonesia memberikan penghargaan kepada makanan-makanan lokal yang juga dapat memberikan kebaikan di dalamnya. Menurut Anton, masih banyak aspek tempe yang bisa diteliti lebih lanjut, bahkan makanan fermentasi jenis lain pun membuka peluang untuk penelitian lebih mendalam, seperti tempe mlanding, tempe benguk, hingga oncom.
“Makanan-makanan seperti ini perlu dikembangkan terus, apalagi dalam konteks makanan-makanan berbasis plant-based,” ujarnya.
Selain sehat dan enak, Anton juga menegaskan makanan yang baik harus mempertimbangkan dari segi keberlanjutan dan ramah lingkungan di balik proses pembuatannya, dari hulu hingga hilir. Tempe, yang terbuat dari kacang kedelai juga menyimpan keunggulan dalam segi lingkungan jika dibandingkan dengan daging sapi.
Menurut data dari Our World in Data pada 2018, untuk menghasilkan 1.000 kilokalori daging sapi setidaknya bisa menghabiskan lahan seluas 119,49 meter persegi. Sementara 1.000 kilokalori kacang-kacangan hanya membutuhkan lahan 2,11 meter persegi.
Dari sisi gas rumah kaca, satu kilogram daging sapi dapat menghasilkan emisi gas sebesar 99,48 kgCO2eq, sementara satu kilogram kacang-kacangan hanya menghasilkan 0,43 kgCO2eq.
“Makanan-makanan berbasis hewani memang lebih banyak memberikan emisi gas rumah kaca dibandingkan makanan nabati,” kata Anton.
Selanjutnya dari segi kebutuhan air, keunggulan kacang-kacangan pun tidak jauh berbeda. Untuk 1 kilokalori daging sapi dibutuhkan 10,19 liter air sementara 1 kilokalori kacang-kacangan hanya dibutuhkan 3,63 liter air.
“Oleh sebab itu, kita harus melihat makanan dari segi proses-prosesnya. Harus memperhatikan proses supply chain-nya hingga sampai ke meja makan kita,” ujar Anton.