Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Alhamdulillah si Kembar

Setelah tiga minggu operasi pemisahan bayi kembar siam yang berdempet di kepala, yakni Pristian Yuliana & Pristian Yuliani lewat, ternyata berhasil melalui masa kritis. Mereka tampak lucu dan sehat.

21 November 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUANG gawat darurat (ICU) di lantai dua Bagian Anak RS Cipto Mangunkusumo itu terasa sejuk. Sesejuk embun pagi. Di sana dua tubuh mungil tergolek. Di kanan Yuliana, di kiri Yuliani. Keduanya bayi kembar dempet yang sudah tidak berdempetan. Tim operasi RS Cipto memisahkan mereka, Rabu tiga pekan silam. Kecuali bekas jahitan di kepala, tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa mereka dulunya kembar siam. Sepintas, keduanya tampak seperti anak kembar biasa dengan wajah serupa, kendati pipi Yuliana lebih montok. Si "sulung" ini memperhatikan mainan manik-manik plastik yang tergantung di atas ranjangnya. Matanya yang besar hitam aktif mengikuti arah gerak mainan. Ke kanan, ke kiri. Ia tampak sehat dan lucu, apalagi dipakaikan baju bergambar kelinci bertulisan "Mummy". Sementara itu, Yuliani menangis. Berteriak. Kuat sekali lengkingnya. Rupa-rupanya, ia tak tahan, popoknya basah kena kencing. Suster pun segera mengganti dengan celana kuning dan baju merah muda. Lalu nona yang ramah itu memanggil-manggil namanya, sekali-sekali menjawil pantat Ani. Pelan. Ia gregetan melihat si mungil. Di tengah-tengah, di antara kedua ranjang besi mereka, ada meja tempat menyimpan peralatan. Di situ ada botol susu dan alat monitor fungsi jantung bayi merk Critikon, yang agaknya sudah lama tak digunakan. Soalnya, kedua bayi Yuhana-Yullani yang berumur 3,5 bulan itu sudah tak memerlukannya -- keduanya telah sehat benar. Luka bekas operasi di kepala keduanya pun mulai mengering. Rambut halus mulai tumbuh di situ. Tak heran jika semua dokter tim pelaksana operasi kini merasa tenteram. Mereka lega melihat operasi 21 Oktober itu sukses. Sebenarnya, mereka sempat dag-dig-dug, terutama pada pekan pertama setelah operasi. "Memang, minggu pertama itu merupakan masa kritis bagi keduanya," ujar ahli bedah saraf Padmosantjojo, yang memisahkan kepala keduanya. Misalnya, akibat pembiusan (narkose), dikhawatirkan kalau-kalau pernapasan tidak berfungsi secara normal kembali, kalau-kalau jantung kurang lancar memompa. Masa kritis akibat pembiusan memang tidak lama -- meski ini bisa memberi komplikasi paling buruk dan sering di luar perhitungan. Syukurlah, jantung keduanya memompa secara normal -- terbukti dari monitor yang dilakukan 3-4 hari sesudah operasi. "Jika sudah dua hari fungsi jantung tetap normal, artinya, ya, jantung tetap bagus," kata Padmo. Begitu juga fungsi organ lain, seperti pengaturan suhu oleh otak, pengaturan napas, dan fungsi organ pencernaan semuanya mulus. Tinggal lagi ini: apakah tambalan spongostan pada kedua pembuluh darah sinus sagitalis yang dipisahkan itu mantap di tempatnya? Padmo waswas. Tidakkah tambalan itu bocor, tidakkah terjadi reaksi radang sebagai penolakan tubuh terhadap benda asing? "Bayangkan, kalau ada kebocoran kecil saja pada sinus, kepala harus dibuka lagi...," ujar Padmo. Bagaimana menilai kebocoran yang ada di dalam kepala juga satu masalah sendiri. Tapi percayalah, para ahli saraf anak di RSCM di bawah koordinasi dr. Sofyan Ismail -- dan ahli bedah saraf seperti Padmo sudah punya segudang pengalaman, misalnya untuk mendiagnosa kebocoran itu. Pertama-tama, kalau ada kebocoran tentu timbul perdarahan. Dan jika timbul perdarahan, pasti terjadi gumpalan darah, hematom namanya, di atas lapisan dura otak -- tempat bercokolnya sinus sagitalis. Hematom ini menyebabkan penekanan pada otak, sehingga aktivitas sang bayi akan terganggu. Ia dapat lumpuh, atau jika tekanan sampai mengganggu batang otak, kematian bisa mengancam. Selain itu, dan kulit kepala mereka akan tertonjol sebuah benjolan lunak, tanda darah yang menggumpal. Toh itu semua tidak tampak. Alhasil, aktivitas motorik saraf mereka normal, dan ini misalnya tampak dari kuatnya tangisan mereka atau dari kegiatan melakukan tengkurap. Juga aktivitas sensorik (indria) tak ada gangguan: misalnya waktu memandang sesuatu, mengecap makanan, atau merasakan basahnya air seni. Bahkan hasil computer tomography scan tengkorak keduanya, yang dilakukan setelah rapat evaluasi tim, Jumat pekan lalu, tidak mengecewakan. "Tidak tampak adanya kelainan anatomis pada otak mereka," kata Prof. Dr. Iskandar Wahidayat, ketua tim operasi. Itu semua berkat kekompakan tim dan upaya maksimal mereka. Untuk mencegah infeksi pasca-operasi, misalnya, tim memberi antibiotik berspektrum luas, Sefalosporin, sampai 10 hari -- meskipun luka operasi menyembuh sebelumnya. "Ya, kita beri imbuh, begitulah. Supaya lebih aman," kata Padmo. Selain itu, obat yang diberikan pada mereka adalah golongan hemostatika untuk menghambat perdarahan, dan kortikosteroid untuk mencegah reaksi penolakan tubuh terhadap benda asing (bone-cement ataupun spongostan) yang ditempatkan di kepala. Pertumbuhan rambut Yuliana-Yuliani juga bisa dijamin. Ibu-bapak mereka, Hartini dan Tularji, tidak perlu khawatir si kembar akan tidak berambut di bagian tengah kepala, seperti pernah diisukan sebelumnya. Ahli bedah plastik dr. Sidik Setiamihardja atau dr. Bisono nanti bisa membuat sedikit reparasi kulit kepala. Dengan ini, rambut tumbuh lebih merata, dan keduanya tak perlu memakai wig segala. "Kesimpulannya, hasil operasi sangatlah memuaskan," kata Iskandar lagi. Perkembangan mereka di belakang hari sepenuhnya tergantung hal-hal di luar operasi itu, seperti pendidikan dan lingkungan tempat mereka dibesarkan. Jika makanan mereka kurang mengandung protein atau jika infeksi virus Encefalitis menyerang otak mereka, umpamanya, tentu saja perkembangan keduanya jadi terganggu. Dan ini bisa terjadi pada anak siapa pun, di mana pun. Seperti anak-anak lain, mereka pun membutuhkan pendidikan yang layak, agar bisa menjadi manusia seutuhnya. Untuk tindak lanjut di belakang hari itu, dr. Padmosantjojo, terus terang mengharapkan agar ada semacam kontak langsung yang berkesinambungan antara si kembar dan tim. Ia ingin agar perkembangan mereka -- meski itu sudah bukan lagi dalam hubungannya dengan hasil operasi -- terus tercatat, entah sampai kapan. Buat apa? "Supaya nanti dapat dibuat laporan ilmiah jalannya operasi kraniopagus, dari A sampai Z," ujar Padmo. Tujuannya jelas: supaya 100 tahun yang akan datang, umpamanya, dokter kita dapat belajar dari pengalaman tim RSCM itu. "Seperti kita sekarang belajar, misalnya, dari kebodohan bertahun-tahun lalu, ketika orang mengoperasi tanpa sarung tangan steril," ucapnya serius. Ia mengharapkan yang terbaik bagi si kembar, seperti ia telah memberikan yang terbaik lewat operasi. Syafiq Basri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus