MALING tertangkap, lalu dimasukkan ke mana?" tanya Assegaf, seorang pengacara, dalam acara Kuis Keluarga TVRI Minggu malam pekan ini. "Penjara," jawab murid SD partisipan acara tersebut dengan cepat. Dan 10 untuk grup ini Pertanyaan itu bukan sekadar pertanyaan. Tapi, bagaimana itu bisa dipahami oleh si murid SD, hingga ia bisa menjawab tepat seperti yang diharapkan. Dengan kata lain, dalam kuis itu si penanya, seorang bapak, memang harus memberikan pertanyaan sesuai dengan jalan pikiran seorang anak SD. Ganti saja kuis dengan kelas, bayangkan bapak itu seorang guru yang bukannya diminta membuat pertanyaan tapi menjelaskan suatu bab dari sebuah mata pelajaran. Ini mengingatkan hasil penelitian prestasi siswa dan guru SD sampai SMA oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan (BP3K) Departemen P & K. Masalahnya serupa, yaitu bagaimana menjelaskan sebuah ihwal sesuai dengan jalan pikiran siswa. Ini membutuhkan seorang guru yang benar-benar menguasai bab yang hendak ia jelaskan. Hasil penelitian yang dilakukan antara 1975 dan 1986 itu menunjukkan hubungan yang erat antara prestasi siswa dan ilmu yang dimiliki guru. Penelitian itulah yang dijadikan bahan pidato ilmiah oleh Moegiadi, Sekretaris BP3K, pada Dies Natalis IKIP Bandung pertengahan bulan lalu. Hasilnya, antara lain, dengan sampel sejumlah guru SD di tujuh provinsi dalam bidang studi Ilmu Pengetahuan Alam, diketahui para guru itu hanya memahami 45% bahan pelajaran. Penelitian yang dilakukan oleh Jiyono, staf peneliti BP3K, memang hanya mengambil beberapa mata pelajaran yang dianggap mencerminkan kemampuan siswa. Yakni Bahasa Indonesia, Ilmu Pengetahuan Sosiai (di dalamnya termasuk Sejarah dan Ilmu Bumi), Ekonomi, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam (termasuk Kimia, Fisika, dan Biologi), PMP, dan untuk sekolah menengah ditambah Bahasa Inggris. Lebih baik sedikit daripada guru SD, rata-rata pemahaman guru sekolah menengah terhadap ilmunya, 50%. Contoh bagaimana rendahnya prestasi siswa, nilai rata-rata siswa SMA untuk Bahasa Indonesia, misalnya, hanya 50 (nilai tertinggi 100). Juga untuk mata pelajaran Matematika dan IPA nilai rata-rata 50. Yang menarik, Moegiadi kemudian menyusun satu analisa mengapa semua itu terjadi. Pertama-tama ditunjuknya kurangnya tenaga guru. Kebutuhan guru Matematika sekolah menengah tahun ini, misalnya, hampir 87.000, dan baru terpenuhi 67.000. Kondisi itu "memaksa para penentu kebijaksanaan dan pengelola pendidikan menugasi seseorang mengajarkan mata pelajaran yang tak sesuai dengan latar belakang pendidikannya," kata Moegiadi pula Ini dimungkinkan karena untuk mata pelajaran yang lain jumlah guru justru melebihi kebutuhan: guru IPS kini sekitar 76.700, sementara kebutuhannya hanya 49.500. Cara lain mengatasi kekurangan guru, membuka jalan pintas pendidikan guru. Kedua cara mengandung risiko menurunkan mutu belajar-mengajar. Ini karena minat menjadi guru memang rendah dibandingkan profesi lain. Sudah umum diketahui bahwa IKIP merupakan pilihan kedua, setelah berbagai fakultas nonkeguruan bagi lulusan SMA. Akibatnya, rata-rata "dari segi intelektual kemampuan para calon guru di bawah kemampuan mereka yang memilih karier nonkeguruan." Dan mengapa minat menjadi guru rendah, kata Moegiadi, karena imbalan buat profesi mulia ini memang relatif rendah juga. Ia punya perbandingan menarik. Di beberapa negara, katanya, guru digaji lebih besar daripada jenis pegawai yang lain. Di Selandia Baru, umpamanya, guru SD dibayar hampir dua kali lipat seorang pegawal administrasi. Dibandingkan dengan mereka yang bekerja di sektor industri, dengan latar belakang pendidikan sederajat, guru di negeri ini dibayar 25% lebih tinggi sebagaimana di AS. Akibatnya, kata Sekretaris BP3K ini, guru membutuhkan kerja sampingan guna menunjang biaya hidup keluarga. Ini klop dengan kesimpulan angket TEMPO tahun 1984: dari 701 guru, lebih dari 80% menyatakan membutuhkan tambahan penghasilan. Ini menyebabkan waktu guru habis hanya untuk bekerja. Maka, ini jarang dikatakan, guru kurang sekali mengikuti hasil penelitian para cendekiawan mengenal dunia pendidikan. Jelasnya, riset-riset tentang belajar-mengajar tak diikuti oleh para guru, hingga mereka tak mengikuti perkembangan yang terjadi. Tapi, apa kata para guru sendiri? Ternyata klop. Dengarlah Iwan Wahyu Setiawan, 29 tahun, salah seorang guru biologi SMAN V Bandung, "Murid saya mengatakan, mereka menyukai satu mata pelajaran karena gurunya." Maksudnya, guru yang menjelaskan pelajaran dengan menarik dan mudah dipahami, itulah yang jadi favorit siswa. Dan kata A.J. Silitonga, Wakil Kepala SMAN II, Jakarta, "Mutu guru memang ditentukan banyak hal, antara lain motivasi dan tuntutan dapur." Dicontohkan oleh lulusan IKIP Bandung 1969 ini, dia sendiri masuk IKIP karena "terpaksa, agar memperoleh ikatan dinas". Tapi bila kemudian ia bisa mencintai profesinya, banyak yang terpaksa-terpaksa itu tetap saja ingin pindah profesi, tutur guru berusia 46 tahun itu kepada Agus Wahid dari TEMPO. Dengan mengingat faktor-faktor di atas, Moegiadi akhirnya mengusulkan gagasan ini: harus dihilangkan tembok pemisah antara lembaga pendidikan keguruan dan nonkeguruan. Setidaknya itu untuk "menjembatani kesenjangan antara inovasi yang berlangsung di lapangan dan teori kependidikan". Adakah itu berarti perlunya kembali IKIP dilebur dalam perguruan tinggi umum kembali? Kata doktor pendidikan itu kepada Yusroni dari TEMPO, "Itu bukan wewenang saya untuk menjawabnya." Hasan Syukur & Ratna Suminar (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini