Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Wabah Kuning Menyerang Sintang

Virus Hepatitis A menyerang penduduk di beberapa kecamatan di Kotabaru, Kab. Sintang, Kal-Bar. Obat-obatan & dokter begitu langka disana. Diduga karena kemarau panjang dan kebiasaan minum air mentah.

21 November 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RIBUAN warga Kecamatan Tanah Pinoh cemas. Berbondong-bondong mereka menyerbu Puskesmas Kotabaru dengan tubuh yang lunglai. menyedihkan. Badan mereka merinding, tapi juga miring. Demam. Muntah berserakan di mana-mana. Mata dan kuku kuning, mereka, sebagian bahkan sibuk menampung kencing dengan tangan sendiri. Maksudnya agar diperiksa Dokter Djarot Winarso, kepala Puskesmas. Tapi, sang dokter sudah terlalu sibuk. Para perawat repot. Mereka kewalahan. Tak pelak lagi, puskesmas di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, itu kedodoran. Obat-obatan menipis. Tempat tidur di Kotabaru 200 km dari Sintang, hanya ada 10 buah. Apa boleh buat, banyak pasien terpaksa dirawat di lantai. Mereka diserbu virus hepatitis A. Jumlahnya ratusan juta. Tidak, virus itu mungkin ribuan milyar banyaknya. Ini berarti wabah. Makhluk superkecil yang hidup dalam tubuh kuman itu bahkan menyerang delapan kecamatan di Kabupaten Sintang. Tentu saja Pemda Sintang kuatir. Mereka pun berupaya mencegah perluasan wabah. "Dari rapat staf Pemda Sintang, 9 November lalu, dilaporkan 39 korban meninggal di antara 2.188 yang diserang," kata dr. J.K. Sinyor, kepala dinas kesehatan Kabupaten Sintang. Belum lagi kematian yang tidak sempat dilaporkan dari delapan kecamatan yang berpenduduk 120.000 jiwa itu. "Saya kira, puluhan juga yang mati akibat terlambat dibawa ke puskesmas," ujar Jarot, seorang buruh perkayuan di Nanga Sokan. Tapi Puskesmas Nanga Sokan sendiri tak mencatat adanya korban yang meninggal. "Setahu saya ada delapan yang mati, dua lelaki dan enam perempuan termasuk yang sedang hamil," kata Jarot lagi. Namun, masih ada yang selamat. Lukman, 18 tahun, siswa SMP Kotabaru, tertolong dan sembuh setelah dilarikan ke Sintang, awal Oktober lalu. Anak pensiunan mantri kesehatan itu baru sebulan pindah sekolah dari Sintang, kabarnya karena diancam tidak boleh ikut ujian akhir. Di Kotabaru, seusai olah raga, ia minum air mentah bersama teman-temannya. "Soalnya, kemarau panjang, air sulit," ujarnya. Sepuluh hari kemudian Lukman terserang demam, berikut mual-mual, pusing, dan badannya tak nyaman. Kemudian kulit, mata, dan kuku-kukunya menjadi lebih kuning. Kencingnya semerah teh pekat. Ayahnya, Abang Saefudin, cukup sigap. Ia segera membawa sang anak ke dokter, bahkan selain obat puskesmas Lukman diberinya pula tebu merah dan pisang emas. Ternyata mujarab. Wabah demam kuning mungkin tidak terjadi seandainya air sungai tidak mengering. Atau bila saja hujan lebih cepat turun, seperti terjadi awal Oktober lalu. Serta merta air Sungai Pinoh dan Sungai Melawi yang tiba-tiba menderas ikut mengusir benih penyakit. Tapi begitupun hujan terlambat datang. Selama ini sungai kering itulah yang jadi sumber wabah. "Orang menggunakan sumber air yang sama, mandi, gosok gigi, buang air, dan minum dari sumber yang sama," kata Sinyor. "Repotnya, pada debit air yang tipis, alirannya melambat dan virus mudah menyebar karena sulit terbawa arus," tuturnya. Keadaan semakin parah akibat peri laku penduduk. "Menjenguk penderita pun mereka selalu membawa anak-anak. Dan ini sulit dicegah," ujar dr. Karneni M.P.H, Kepala Kanwil Depkes Kalimantan Barat. Itu sebabnya, penyebaran makin cepat dan semakin tak pandang bulu. Layanan dan pengobatan puskesmas tak bisa terlalu diharap. Di sana obat sering menipis, termasuk Liveral dan infus glukose, yang perlu untuk penyakit seperti hepatitis. Sementara itu, transpor sangat sulit, karena satu-satunya lalu lintas yang ada cuma perahu lewat sungai yang kering itu. Hingga untuk mencapai puskesmas, penduduk di pedalaman sering harus mendayung sehari semalam. "Kesulitan utama penanganan penyakit ini memang pada transportasi," ujar Bupati Sintang, Daniel Toding, sembari minum Aqua di lapangan golf. Dalam keadaan seperti itu, hujan ikut meredakan wabah. Dan bagi penduduk ada hikmahnya juga. "Ini kesempatan untuk memberi penyuluhan, agar penduduk tak lagi minum air mentah," tutur Karneni lagi. Tapi penduduk tak cuma minum air mentah. Mereka juga sering berobat secara tradisional. Untuk mengobati hepatitis, misalnya, banyak penduduk meminum jamu aneh. "Orang makan temu lawak, akar bambu kuning yang direbus. Lalu airnya diminum dengan tambahan pisang emas dan kutu kepala," cerita Abdullah, 61 tahun, pensiunan pegawai Kecamatan Nanga Ella, Sintang. Mengingat keadaan darurat itu, bantuan dokter segera diminta dari ibu kota provinsi, Pontianak. Tapi, menurut sebuah sumber di Pontianak, sampai ketika Karneni turun ke lapangan beberapa hari lalu, tiga dokter yang hendak diperbantukan belum juga diberangkatkan. "Tidak ada dana untuk memberangkatkan mereka, karena Pemda Kalimantan Barat belum juga menurunkan bantuan," ujar sumber tadi. Sementara itu, menurut sumber lain, bantuan dana yang turun awal November lalu -- besarnya hanya 10 juta rupiah -- sampai pekan lalu belum diketahui nasibnya: apakah sudah sampai di tempat wabah atau belum. Sebenarnya, semua dana dan bantuan yang diberikan cuma berfungsi sebagai alat pencegah perluasan penyakit. Sebab, untuk hepatitis -- seperti juga untuk penyakit virus lainnya -- belum ada obat yang spesifik. Pencegahan yang efektif lainnya adalah vaksinasi. Tapi agaknya itu tak mungkin dilakukan karena penduduk Sintang rata-rata miskin, sedang biayanya mahal. Di RS Hasan Sadikin, Bandung, misalnya, menurut dr. Iman Supandiman, untuk satu kali suntik vaksin perlu sekitar Rp 50 ribu. "Dan ini harus dilakukan tiga kali selama tiga bulan," ujar Kepala Pelaksana Bagian Penyakit Dalam RSHS itu. Menurut Iman, hepatitis patut ditakuti tidak saja akibat waktu serangan, tapi juga dampaknya di belakang hari. "Sebab, banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa mereka yang terkena kanker hati rata-rata pernah mengidap penyakit hepatitis A atau B," katanya kepada Riza Sofyat dari TEMPO. Syafiq Basri (Jakarta), Djunaini K.S. (Pontianak)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus