Gejala khas yang mengancam anak kini bisa dideteksi sejak dini, tetapi obatnya belum ditemukan. ANAK lasak biasanya dianggap pertanda anak sehat. Namun, lasak berlebih (hiperaktif) merupakan ancaman kedua terbesar setelah retardasi mental. Namanya, fragile X syndrome atau "retardasi mental rantai X". Dua hasil penelitian muncul dari dua tempat berbeda, dua pekan silam. Yang satu, dari Pusat Riset llmiah Nasional Strasbourg, Prancis, dipimpin Prof. J. L. Mendel. Dan satu lagi dari tim di Rumah Sakit Aak-Anak, Adelaide, Australia Selatan. Dalam waktu hampir bersamaan, kedua tim menemukan cara mendeteksi kelainan mental atau fragile X syndrome itu. "Ini merupakan salah satu terobosan terbesar dalam dunia kedokteran," kata Dr. Grant Sutherland, seorang dari peneliti itu. Sindrom tersebut terjadi akibat genetik yang tak sempurna dalam kromosom. Ini kelainan genetik kedua terbesar setelah down syndrome -- atau lazim disebut keterbelakangan mental. Bedanya, down syndrome dijumpai 1 dari 1.000 bayi, sedangkan fragile X syndrome ditemukan 1 di antara 2.500 bayi yang dilahirkan. Fragile X Syndrome sendiri tak hanya menyebabkan penderitanya mengalami retardasi mental. Anak yang terkena sindrom ini juga menderita kesulitan dalam pola tingkah laku. Karena gagal merespons lingkungannya secara baik serta susah melakukan sosialisasi, ia menjadi anak yang sibuk dengan diri sendiri, dan hiperaktif, alias lasak. Secara fisik, ciri khasnya tampak pada dahi yang sempit dan menonjol, dengan rahang yang runcing. Telinganya juga berukuran lebih besar dibandingkan dengan anak normal. Pada bocah laki-laki, kemungkinan memiliki testis yang besar. Beda dengan gejala retardasi mental yang umum memperlihatkan lingkaran kepala kecil, bayi penderita sindrom kerapuhan X ini mempunyai kepala yang besar dan otak yang besar pula. Namun, sebagai layaknya bayi sehat, berat badannya bagus. Hanya, di balik itu sang bayi menyimpan beberapa kekurangan, misalnya bertelapak kaki rata, kelainan pada jantung, dan mengidap hernia. Selain itu, penderita mengalami hambatan kemampuan berbicara. "Ia selalu akan mengulang kata-kata yang diucapkannya," kata Dr. S. Lazuardi, ahli saraf anak-anak di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Menurut penelitian, sebagian anak (20%) yang kena gangguan ini akan mengalami kejang-kejang. Di samping itu, menurut staf pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini, fungsi kognitif penderita mengalami gangguan. Penderita tidak mampu memahami konsep ruang (spasial), abstraksi verbal, dan konsep hitungan (digit span). Karenanya, ia akan sulit memahami pelajaran, matematika misalnya. Juga ia sukar mengerti konsep tentang kanan-kiri (disorientasi). Gejala yang menonjol dan mengganggu adalah dalam kelakuannya, dibanding rendahnya inteligensinya. Misalnya, hiperkinesis (hiperaktif atau lasak), gangguan emosi yang sangat sensitif. Dan, yang lebih berbahaya, si anak sering menyakiti dirinya sendiri, selfmutilation. Musabab munculnya kelainan ini adalah kerapuhan pada salah satu ujung "tangan X" yang terdapat dalam kromosom manusia. Ujung "tangan X" yang panjang terputus sehingga terlihat menyerupai satelit. Akibatnya, terjadi retardasi mental. Pada giliran inilah Sutherland memulai dan menjadi penemu pertama pendeteksian kelainan tadi. Ini dilakukannya lewat medium analisa kultur jaringan dengan asam folat rendah (folic acid deficient tissue culture). Martin dan Bell merupakan sarjana pertama yang melihat kaitan retardasi mental dengan kromosom X, lebih dari dua puluh tahun lalu yang kemudian dinamakan fragile X. Demikian pula Prof. Rousseau, bersama timnya (beranggotakan sembilan orang) dari Prancis, melakukan penelitian ini sejak delapan tahun lalu. Mereka meneliti secara khusus mutasi kromosom -- struktur dalam inti sel -- dari 200 orang yang mempunyai gejala sindrom dari contoh darahnya. Selama itu, perkembangan fisik dan mental mereka diperhatikan satu per satu. Dari sini tim menemukan bahwa dalam DNA (asam nukleat bagian dari sejumlah kromosom yang berfungsi meneruskan aktor keturunan dari sel induk, orang yang diteliti, terdapat kelainan kimia (anomalie chimique). Dan inilah yang menjadikan DNA-nya tidak stabil. Kelainan ini, menurut Sutherland, bersifat menurun. Namun, karena terjadinya hanya pada "tangan X", kemungkinan munculnya kelainan ini lebih sering terhadap anak laki-laki. Penyebabnya adalah perbedaan kromosom yang dimiliki laki-laki dan perempuan. Yakni wanita memiliki kromosom X-X, sedangkan kromosom pada lelaki terdiri atas X dan Y. Menurut analisa Dr. Lazuardi, jika salah satu kromosom X pada wanita terganggu, kromosom X yang lainnya akan menjadi beking atau pelindungnya. Beda dengan laki-laki, jika X yang kena, ia akan menderita sindrom ini. Jadi, kalau diperhitungkan perbandingan kemungkinan, 50% anak laki-laki akan terkena sindrom itu, sedangkan pada anak perempuan 50% akan menjadi carrier, atau pembawa sifat. Meskipun pendeteksian ini bisa dilakukan secara dini ( misalnya ketika janin berumur 3-6 bulan), pengobatannya belum ditemukan. "Ini tantangan bagi dunia kedokteran selanjutnya," kata Lazuardi. Namun, tantangan ini, mungkin, tak terlalu berat bagi para dokter di negeri Barat karena ada negara yang melegalkan aborsi atas pertimbangan medis. Rustam F. Mandayun, Utami P. Astar (Prancis), Dewi Anggraeni (Australia)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini