Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PASIEN yang gawat biasanya dikumpulkan di ruang intensive care unit (ICU). Tapi adanya dukungan peralatan mutakhir dan tenaga medis di ruang itu belum menjamin si pasien reda dari kondisi kritis. Malah teknologi tidak banyak bisa diandalkan. Bisa jadi, tindakan medis sudah tepat dan alat yang ada juga cukup maju, tapi bahaya infeksi terkadang akan memperburuk keadaan pasien. Menurut jurnal Mortality Weekly Report yang diterbitkan di Amerika Serikat, tingkat kematian akibat infeksi, terutama pada pasien dalam perawatan intensif, dari 1979 hingga 1987 meningkat sampai 139%. Peningkatan itu diduga akibat pemakaian peralatan yang justru memancing infeksi, misalnya penggunaan kateter secara paksa dan pencangkokan alat palsu pada tubuh. Di AS, tingkat kematian pasien di ICU karena infeksi antara 20 dan 60%. Sebenarnya, jalan lain untuk mengatasi infeksi adalah dengan meningkatkan kekebalan tubuh pasien. Dokter Janice L. Zimmerman, asisten profesor bidang obat-obatan di Baylor College of Medicine, Houston, Texas, adalah anggota tim peneliti yang menemukan antibodi monoklonal untuk meningkatkan kekebalan tubuh pasien ICU. Menurut Zimmerman, 41 tahun, kasus infeksi di ICU selama ini biasanya menyerang jantung dan paru-paru, atau menimbulkan pendarahan. Infeksi tersebut disebabkan oleh dua macam bakteri, yaitu bakteri gram positif dan bakteri gram negatif, selain akibat virus serta jamur. "Tapi 60 persen penyebabnya adalah karena bakteri gram negatif," kata Zimmerman kepada TEMPO di sela-sela Simposium International Cardiothoracic Critical Care, Sabtu pekan lalu di Jakarta. Antibodi monoklonal itu sudah dicoba pada manusia, terutama untuk menolong pasien yang terserang bakteri gram negatif. Antibodi itu diperlukan, katanya, bisa sebelum atau pada saat operasi. Kemungkinannya untuk sembuh dengan antibodi ini, menurut Zimmerman, paling tidak 50%. Proses pembuatan antibodi ini dengan rekayasa bioteknologi yang mengembangkan kultur bakteri dari tikus. Teknologi pembuatan antibodi seperti ini sudah dimulai sejak empat tahun lalu. Obat ini termasuk mahal, sekitar US$ 4.000 untuk kebutuhan seorang pasien, dan hanya boleh digunakan satu kali. Setelah antibodi diinjeksikan ke dalam tubuh, dan akan menetap selama tiga hari, kemudian larut oleh metabolisme tubuh. Kemudian, dalam tubuh muncul antibodi. Sekarang antibodi seperti ini sudah digunakan di Eropa. Jepang kini sedang mengadakan uji coba pada beberapa pasien. "Saya rasa itu akan menjadi standar pengobatan di ICU," kata Zimmerman. Penemuan baru antibodi itu, menurut Iqbal Mustafa, sangat spektakuler. "Tapi untuk Indonesia penggunaannya mungkin masih lama, karena harganya mahal," kata Kepala ICU RS Jantung Harapan Kita Jakarta itu. Gatot Triyanto dan Nunik Iswardhani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo