Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JIKA mendengar intensive care unit (ICU) disebut, langsung yang terbayang adalah ruang penuh pasien parah. Selang menjulur di hidung dan di mulut mereka atau di bagian tubuh lainnya. Di Indonesia sering timbul kekeliruan. Bukan pasien gawat karena cedera atau sakit parah yang masuk ruang perawatan khusus itu, tapi karena si pasien, misalnya, berfamili dengan kepala rumah sakit, hingga dia bisa minta dirawat di situ. Maka, ketika pasien yang keadaannya serius membutuhkannya, ruangan khusus itu sudah penuh. Dalam Simposium Internasional Ke-2 Cardiothoracic Critical Care di Jakarta, Kamis hingga Sabtu pekan lalu, antara lain dibahas penatalaksanaan ICU yang masih kurang tepat itu. Dalam acara itu juga dipaparkan, penemuan baru antibodi untuk mengatasi infeksi yang menimbulkan kematian pasien ICU (lihat Antibodi Pasien Gawat). ICU mulai ada di Indonesia sejak 1972 di RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Kemudian, Pemerintah menggalakkan lahirnya ICU di rumah sakit di seluruh Nusantara. Niatnya baik, tapi tenaganya belum siap. "Karena itu, peralatan modern seperti monitor mutakhir yang sudah dibeli tidak dapat dimanfaatkan secara optimal. Jadi, hampir menjadi besi tua," kata Sunatrio, kepala ICU RSCM yang juga ketua Perhimpunan Kedokteran Gawat Darurat Indonesia (PKGDI). Sebenarnya, hingga saat ini di Indonesia belum ada fasilitas ICU yang memenuhi standar internasional. Terkadang, ruang yang dilengkapi peralatan mutakhir sudah buru-buru disebut ICU. Sementara itu, di tempat tadi dokter jaga menyediakan waktunya hanya satu sampai dua jam. Idealnya, tiap ICU siap 24 jam melayani pasien, tersedia tenaga medis dari berbagai spesialis, dan didukung peralatannya yang lengkap. Namun, tak semua rumah sakit mampu menyediakan fasilitas seideal itu. Bahkan RSCM yang tergolong rumah sakit pemerintah terbesar, menurut Sunatrio, belum memenuhi standar internasional. Untuk peralatan pulse oxymeter yang wajib tersedia pada tiap tempat tidur, misalnya, ternyata dalam sebuah bangsal hanya ada dua buah. Keberadaan ICU memang tidak selalu menjadi prioritas di rumah sakit. "ICU adalah proyek rugi. Biaya peralatannya sangat mahal, tapi kurang komersial," ujar ahli anestesi di RSCM itu kepada TEMPO. Selain itu, juga sering timbul kerancuan istilah. Dulu, di RSCM ada unit darurat yang terdiri dari bagian medis dan bedah. Namun, karena istilah "gawat darurat" lebih populer, kemudian sebutannya diubah menjadi unit gawat darurat. Padahal, istilah pertama itu sudah betul. Kerancuan itu muncul terkadang karena yang masuk adalah pasien darurat tapi keadaannya tak gawat, misalnya ia digigit anjing. Itu darurat, tapi kondisinya tak gawat. Lain kalau pada pasien itu timbul pembengkakan di pembuluh otaknya. Ini baru disebut ia dalam keadaan darurat dan gawat. Pelaksanaan ICU di Indonesia dikenal dengan general intensive care, yaitu gabungan antara kegawatan setelah operasi dan kegawatan medis. Sementara itu, tenaga medis yang tersedia dalam bidang ini masih minim. Seharusnya ia dokter spesialis yang sudah mengikuti pendidikan dalam bidang intensive care selama dua tahun, dan ia ini disebut intensivist. "Di Indonesia yang baru ada adalah tenaga anestesi dengan pengetahuan ICU yang terbatas," kata dokter anestesi Iqbal Mustafa. Di AS, misalnya, semua bidang spesialis mendapatkan ilmu itu, seperti seorang ahli jantung dan penyakit dalam. Para dokter ahli anestesi di sini mengakui kurang mendapat ilmu ICU. "Sehingga kini sedang digalakkan pengiriman tenaga anestesi untuk memperoleh pendidikan ICU di AS," kata Iqbal kepada TEMPO. Menurut Sekjen PKGDI yang juga Kepala ICU RS Jantung Harapan Kita Jakarta itu, seorang intensivist harus menguasai multidisiplin -- selain ilmu kedokteran juga ditambah manajemen ICU, supaya ia mampu mengambil keputusan, kapan seorang pasien dihentikan terapinya dan kapan diteruskan. Hal lain yang masih rancu, kata Iqbal, masalah pemakaian ICU, yang sering ditafsirkan hanya pindah rawat. Padahal, pasien yang masuk ICU seharusnya mereka yang benar-benar gawat, cedera, atau sakit parah, tapi potensial untuk sembuh. Jadi, mereka inilah yang selayaknya mendapat perawatan khusus. Gatot Triyanto dan Nunik Iswardhani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo