Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Menjaga Nyala Api Literasi

Komunitas klub buku di beberapa kota tetap berkegiatan di masa pandemi. Memperluas jangkauan keanggotaan.

8 Januari 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Aktivitas anggota komunitas Klub Buku Yogyakarta di Kebun Buku Yogyakarta, 5 Januari 2022/TEMPO/Shinta Maharani

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pandemi Covid-19 tak menghalangi klub-klub buku untuk menggelar diskusi buku.

  • Kegiatan bedah buku di kafe-kafe banyak beralih ke dunia maya.

  • Ada pula yang serius mendorong anggotanya menjadi penulis dan menerbitkan novel.

DELAPAN anak muda sedang berkumpul di sebuah kafe yang menjual buku-buku impor di Kota Yogyakarta, Rabu siang, 5 Januari lalu. Ada yang membaca buku di pojok ruangan. Ada yang asyik bermain gitar. Yang lain sedang menyeduh kopi. Kafe yang lebih mirip galeri seni lengkap dengan rak-rak buku layaknya perpustakaan ini menjadi tempat nongkrong anggota komunitas literasi Klub Buku Yogyakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Komunitas yang beranggotakan 187 orang tersebut meminjam ruangan toko buku merangkap kedai kopi Kebun Buku Art Books Coffee di Jalan Minggiran, Suryodiningratan, Yogyakarta, itu untuk membahas buku. Jumlah pesertanya maksimal 30 orang. Untuk meminimalkan potensi penyebaran virus penyebab Covid-19, semua peserta wajib mendaftar terlebih dulu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selama masa pandemi Covid-19, Klub Buku Yogyakarta mengurangi jadwal diskusi tatap muka. Diskusi, yang dulu berlangsung sebulan sekali, dikurangi menjadi dua bulan sekali. Namun penggerak komunitas itu bersiasat agar orang-orang tetap antusias mengikuti diskusi secara online melalui Google Meet dan WhatsApp. “Pemantik bercerita tentang buku, lalu peserta menanggapinya,” kata pendiri Klub Buku Yogyakarta, Maulina Muzirwan, saat ditemui Shinta Maharani dari Tempo, Selasa malam, 4 Januari lalu.

Komunitas yang berdiri pada 2012 itu menggunakan media sosial Twitter untuk mengumpulkan orang-orang yang suka membaca dan gemar mengumpulkan buku, khususnya yang berada di Yogyakarta. Jumlah anggotanya semakin bertambah sehingga mereka menggelar acara bedah buku, kunjungan ke penerbit, pertemuan dengan penulis, dan lokakarya. Selain Twitter, Klub Buku Yogyakarta memanfaatkan Instagram untuk mempublikasikan setiap diskusi.

Sejak pandemi Covid-19 merebak, Klub Buku Yogyakarta, antara lain, pernah mendiskusikan novel Orang-Orang Oetimu karya Felix K. Nesi yang memenangi sayembara Dewan Kesenian Jakarta pada 2018. Ada juga diskusi mengenai novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas karya Eka Kurniawan yang belakangan diangkat ke layar lebar. Peserta diskusi datang dari berbagai latar belakang pendidikan dan usia, dari kalangan pelajar sekolah menengah atas dan mahasiswa hingga kalangan karyawan.

Komunitas Baca Bareng

Penggerak Klub Buku Yogyakarta, Andreas Nova, menuturkan buku-buku yang mereka diskusikan dipilih berdasarkan pemungutan suara di antara anggota komunitas lewat grup WhatsApp. Anggota kemudian menunjuk pemantik dan moderator diskusi.

Menurut Andreas, diskusi buku daring terasa lebih menantang karena mereka harus mampu memancing para peserta untuk berpendapat dan bertahan mengikuti diskusi sampai tuntas. Berbeda dengan tatap muka, sebagian peserta diskusi daring sering kali tidak menghidupkan kamera gawainya sehingga penyelenggara diskusi tak bisa memantau apakah mereka menyimak perbincangan.

Selama masa pandemi, Andreas mengamati jumlah orang yang membaca buku makin bertambah karena waktu luang di rumah lebih banyak. Adapun yang dibaca anggota komunitasnya mayoritas buku fiksi. “Pembaca bisa lebih rileks, tidak membatasi imajinasi, dan menyentuh emosi,” tuturnya.

Olive Hateem, salah satu anggota Klub Buku Yogyakarta, masih mengikuti kegiatan daring komunitas itu walaupun tidak lagi bermukim di Kota Pelajar. Alumnus Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada ini menjadi editor di Zenius Education di Jakarta sejak Agustus 2021. “Bahkan ada anggota Klub Buku Yogyakarta di luar negeri yang tergabung dalam diskusi online. Tiap bulan pasti ada buku yang dibedah bareng dan itu belum berhenti selama masa pandemi,” ucap gadis 21 tahun itu saat dihubungi Mahardika Satria Hadi dari Tempo, Kamis, 6 Januari lalu.

Bagi Olive, perkenalannya dengan Klub Buku Yogyakarta pada 2017 telah membuka berbagai pintu kesempatan di dunia literasi. Penulis novel Sorge ini pernah terpilih sebagai Duta Baca Yogyakarta, relawan pameran literasi, editor penerbit Gradien Mediatama, hingga menulis buku. Olive, yang pernah bergabung dengan sejumlah klub buku di Jakarta, cukup sering menjadi moderator atau pembicara diskusi buku selama di Yogyakarta. Padahal motivasi awalnya bergabung dengan komunitas adalah mencari teman yang cocok diajak berbicara tentang buku, khususnya fiksi.

Kendati lebih menikmati perbincangan buku secara tatap muka, Olive menilai diskusi daring memang tak terelakkan selama masa pandemi. Sebelum wabah merajalela, menurut dia, diskusi buku di Yogyakarta berlangsung pada pukul 19.00-21.00 dan dapat berlanjut dengan obrolan santai hingga dinihari. Peserta diskusi bisa berbincang lepas dengan penulis buku. “Kalau online sepertinya tidak mungkin bisa sampai tujuh-delapan jam karena sudah lelah menatap layar telepn seluler atau laptop,” ujarnya.

Pandemi juga membuat Anila Gusfani mengubah kebiasaannya membaca buku. Sejak membentuk komunitas Baca Bareng pada 14 November 2017, ia kerap mendiskusikan buku bersama dengan teman-temannya di kafe-kafe di Jakarta. Dari awalnya dua orang, anggota komunitasnya kini mencapai 24 orang. “Konsep Baca Bareng tidak hanya baca, tapi memberi kesempatan kepada anggota untuk meresensi isi buku,” kata Anila saat dihubungi pada Rabu, 5 Januari lalu.

Melahap buku-buku bertema sejarah dan pemikiran Islam, perempuan 34 tahun ini dan kawan-kawannya bergantian menceritakan ulang isi buku yang sebelumnya telah dibagi tiap babnya, seperti saat mereka mengulas buku Biografi 60 Sahabat Nabi. Pagebluk membuat mereka harus mengalihkan ruang diskusi ke dunia maya. Selain memakai aplikasi Zoom, mereka mengabarkan kegiatan komunitas lewat Instagram. Sesekali Anila menggelar lomba berhadiah buku bagi 2.000-an pengikutnya yang sudah membaca buku dan menuliskan ulasannya di akun Instagram-nya. Baca Bareng juga memiliki grup Telegram dengan 149 pengikut.

Belum bisa tatap muka tak menyurutkan semangat Anila untuk membedah buku-buku bertema Islam. Di ruang Zoom mereka rutin berdiskusi setiap Selasa dari pukul 19.30 atau 20.00 sampai selesai. Mereka sekali waktu menyelinginya dengan konten Live Instagram. Pernah dalam satu kesempatan diskusi baru rampung lewat tengah malam karena diikuti 20 peserta. “Kalau dulu masih offline kami sepulang kerja bertemu di kafe, kini melalui Zoom,” kata pekerja lepas di Jakarta itu.

Bagi anggota Baca Bareng, bedah buku secara daring memang punya masalah tersendiri, khususnya sinyal Internet yang terkadang ngadat. Belum lagi kuota data Internet yang membengkak jika diskusi berlangsung hingga berjam-jam, entah karena buku yang dibahas tebal entah karena diskusinya menarik. Apalagi ada peserta diskusi yang tinggal di kawasan Indonesia timur atau bahkan di luar negeri, seperti Malaysia, yang memiliki zona waktu berbeda dengan Jakarta.

Namun kegiatan secara daring juga memudahkan mereka merangkul lebih banyak peminat. Anila, yang awalnya hanya membatasi anggota komunitas untuk orang-orang yang dikenalnya, akhirnya membuka diri. “Seiring dengan berjalannya waktu, banyak anggota dari luar lingkaran pertemanan saya yang bergabung dan bahkan bertahan sampai sekarang,” tuturnya.

Di Tabanan, Bali, pandemi tak otomatis membuat Perpustakaan Jalanan Tabanan beralih ke kegiatan daring. Alih-alih mengadakan diskusi buku di platform perbincangan online, misalnya, komunitas literasi yang aktif sejak 2018 ini memilih jeda selama lebih dari satu tahun sejak pandemi mulai melanda. “Kalau kegiatan beralih ke daring rasanya kurang,” tutur pengurus Perpustakaan Jalanan Tabanan, I Putu Wahyu Artawan, kepada Made Argawa dari Tempo, Rabu, 5 Januari lalu.

Menurut pria yang akrab disapa Bagong ini, Perpustakaan Jalanan Tabanan adalah tempat untuk menambah wawasan sekaligus berkumpul dengan teman. Sebelum masa pandemi, mereka membuka lapak baca di area Gedung Kesenian I Ketut Maria, Tabanan, dua kali sepekan. Kegiatan mereka yang paling dominan adalah membuka lapak baca gratis di pinggir jalan atau membuat acara internal komunitas mereka, yang juga bergerak di Denpasar dan Singaraja.

Pada Sabtu, 18 Desember 2021, Perpustakaan Jalanan Tabanan dan komunitas film Cinema Pinggiran menggagas acara nonton bareng film dokumenter Global Metal dan mengadakan diskusi sesudahnya. Esoknya, mereka menonton film Rumah di Seribu Ombak dan mengajak anggota komunitas Forum Anak Daerah. Selain memutar film, mereka sempat menggelar bedah buku Kematian Misterius Para Pembaru Indonesia karya M. Yuanda Zara dengan jumlah peserta terbatas. “Saat itu mumpung pembatasan kegiatan masyarakat agak longgar,” kata Bagong.

Perpustakaan Jalanan Tabanan telah mengoleksi sekitar 70 judul buku. Sebagian besar adalah buku sejarah, novel, dan biografi. Hampir semua buku merupakan pemberian anggota atau sumbangan orang lain. Mereka juga sedang menjajaki kerja sama hibah buku dengan Balai Pelestarian Nilai Budaya Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.

Olive Hateem/Dok Pribadi

Menurut Bagong, upaya membuka lapak baca gratis ini tak lantas mendongkrak antusiasme masyarakat untuk membaca buku, apalagi mendiskusikannya. Tapi komunitas ini masih bertahan dan terus mengajak masyarakat untuk gemar membaca atau menambah wawasan lewat diskusi dan menonton film. “Kami percaya masyarakat perlu informasi atau wawasan alternatif,” ucapnya.

Komunitas Nulis Aja Dulu di Bandung Barat, Jawa Barat, juga ikut menggiatkan literasi masyarakat. Tidak seperti lazimnya klub buku yang berfokus pada kegiatan membaca dan membedah buku, komunitas besutan Irma Susanti Irsyadi dan tujuh rekannya ini berupaya meningkatkan minat menulis anggotanya. Berawal dari sebuah grup Facebook pada 24 Desember 2018, Nulis Aja Dulu kini telah memiliki sekitar 23 ribu anggota di dalam dan luar negeri. “Yang aktif menulis mencapai 1.000-1.500 orang,” kata Irma pada Selasa, 4 Januari lalu.

Mereka juga menyuguhkan ratusan tulisan berbagai tema di grup Facebook setiap hari. Selain mendapat asupan bacaan, anggota komunitas dapat memberikan kritik dan saran. Dengan interaksi seperti itu, anggota Nulis Aja Dulu, yang kebanyakan berusia 25-34 tahun dan didominasi ibu rumah tangga, bakal meningkat literasinya.

Irma mengatakan klub buku ini digarap dengan sangat serius. Selain membuka ruang-ruang belajar via webinar, mereka menggelar berbagai lomba menulis cerita pendek dan mendampingi para pemenangnya untuk menulis novel. Mereka bahkan mendirikan perusahaan dan yayasan serta dua penerbitan. “Kami ingin menjadi semacam agensi yang mewadahi para penulis dan pembaca, juga menjembatani mereka dengan lembaga terkait untuk ikut memajukan literasi,” kata Irma.

Shinta Maharani (Yogyakarta), Made Argawa (Denpasar)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Mahardika Satria Hadi

Mahardika Satria Hadi

Menjadi wartawan Tempo sejak 2010. Kini redaktur untuk rubrik wawancara dan pokok tokoh di majalah Tempo. Sebelumnya, redaktur di Desk Internasional dan pernah meliput pertempuran antara tentara Filipina dan militan pro-ISIS di Marawi, Mindanao. Lulusan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus