Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Biaya mitigasi iklim di Indonesia sampai 2030 diperkirakan sebesar Rp 3.779 triliun.
Perlu desentralisasi energi untuk meringankan beban pemerintah pusat sekaligus mempercepat capaian target penurunan emisi gas rumah kaca di sektor energi.
Peluang investasi baru dalam mitigasi krisis iklim.
DUA pekan setelah Konferensi Perubahan Iklim COP26 di Glasgow, Skotlandia, selesai, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan mengumumkan biaya yang dibutuhkan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca hingga 2030 sebesar Rp 3.997 triliun. Dana sebesar ini diperlukan untuk menurunkan emisi karbon Indonesia untuk mencegah krisis iklim sebesar 29 persen dengan usaha sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Angka ini merupakan proposal Indonesia ke COP26 pada 31 Oktober-13 November 2021. Tanpa usaha menurunkan emisi, produksi gas rumah kaca Indonesia pada 2030 sebesar 2,87 miliar ton setara karbon dioksida (CO2). Artinya, penurunan 29 persen sebanyak 834 juta ton.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain target 29 persen, Indonesia memasang target penurunan emisi dengan melibatkan bantuan pihak internasional sebesar 41 persen. Menurut Kepala BKF Febrio Kacaribu, jika nilai tengah dua target tersebut sebesar 35 persen, ongkos penurunan tiap persen emisi gas rumah kaca Indonesia membutuhkan biaya Rp 108 triliun atau Rp 3,76 juta untuk menurunkan tiap ton emisi karbon.
Wujud reaktor biogas berkonstruksi fix dome berbahan betonmilik seorang warga Dusun Bendrong, Desa Argosari, Jabung, Kabupaten Malang, Jawa Timur, 31 Desember 2021/Tempo/Abdi Purnomo
Dari perhitungan BKF, sektor energi akan membutuhkan biaya paling besar dibanding empat sektor lain, yakni Rp 3.500 triliun. Dalam dokumen kontribusi nasional yang ditetapkan (NDC), Indonesia memfokuskan penurunan emisi dari lima sektor. Selain energi, ada pula kehutanan dan penggunaan lahan, pertanian, proses produksi dan industri, dan limbah.
Dalam dokumen NDC, emisi sektor energi memang diprediksi paling banyak jika tak ada mitigasi. Jumlahnya sebanyak 1,669 miliar ton setara CO2. Dengan skenario 29 persen, emisi sektor energi akan diturunkan sebanyak 11 persen dan 15,5 persen untuk skenario 41 persen.
Sektor kedua yang akan memproduksi emisi paling banyak adalah kehutanan dan penggunaan lahan. Tanpa mitigasi, sektor ini diprediksi menghasilkan emisi 714 juta ton setara CO2. Pemerintah akan menurunkannya sebanyak 17,2 persen dalam skenario 29 persen, dan 24,5 persen dalam skenario 41 persen. Menurut perhitungan BKF, untuk mencapai target itu sektor ini membutuhkan biaya Rp 93,28 triliun.
Produksi sektor limbah dan sampah menempati nomor tiga dalam hal produksi emisi dengan penurunan emisi paling rendah, hanya 0,38 persen dan 1 persen. Namun, dalam skenario BKF, penanganan limbah membutuhkan biaya lebih besar dibanding kehutanan, yakni Rp 180 triliun. “Karena menyangkut pengelolaan limbah gas metana,” kata Febrio.
Dari lima jenis gas rumah kaca penyebab krisis iklim, metana menjadi perhatian serius Konferensi Iklim COP26. Ada lebih dari 100 negara yang menandatangani perjanjian untuk menekan pelepasan metana hingga 30 persen. Secara global, produksi metana pada 2019 sebanyak 590 juta ton. Ini angka yang kecil jika dibandingkan dengan produksi tahunan CO2 sebesar 37 miliar ton. Masalahnya, pengurangan metana akan merilis karbon dioksida, demikian pula sebaliknya.
Metana dan CO2 adalah dua gas rumah kaca yang paling banyak jumlahnya di atmosfer. Metana. Gas ini menyebabkan pemanasan global 25 kali lebih kuat dibanding CO2. Artinya, 1 ton metana di atmosfer setara 25 ton CO2 dalam menyebabkan kenaikan suhu bumi.
Menurut Panel Antarpemerintah dalam Perubahan Iklim PBB (IPCC), dua gas tersebut paling banyak terpompa ke atmosfer akibat aktivitas manusia: pembakaran energi, pertanian, peternakan, kebakaran hutan, dan proses industri. Jadi, pengendalian keduanya berarti separuh melaksanakan mitigasi krisis iklim—puncaknya jika suhu bumi naik melebihi 1,5 derajat Celsius dibanding pada masa praindustri 1800-1850.
Tata Mustasya, Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, menyarankan pemerintah mempercepat inovasi energi terbarukan untuk mengurangi CO2 dan metana. Energi fosil masih menjadi sumber andalan produksi listrik. “Energi terbarukan mesti dipandang sebagai peluang investasi baru dengan memberikan insentif kepada pemerintah daerah,” ucapnya.
Masalahnya, dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik Perusahaan Listrik Negara 2021-2030, pemerintah malah hendak menambang 13,8 gigawatt listrik. Menurut Tata, untuk menunjukkan komitmen mitigasi krisis iklim, pemerintah harus membatalkan rencana ini.
Jika kebijakan terlihat sulit beradaptasi dengan mitigasi krisis iklim, di tingkat individu dan komunitas, kesadaran memakai energi terbarukan sebagai solusi mencegah pemanasan global sudah terlihat. Misalnya di Malang, Jawa Timur. Penduduk di Desa Argosari sudah lama memenuhi kebutuhan listrik untuk kebutuhan sehari-hari memakai biogas.
Sulastri, penduduk Argosari, sudah terbiasa memakai kompor biogas untuk memasak. Kotoran dari enam sapi perah di sebelah rumahnya—yang kaya akan gas metana—ia sambungkan ke lubang reaktor (digester) dari beton. Bentuknya mirip sumur. Dari sini gas tersambung ke kompor melalui pipa. Api yang muncul dari kompor berwarna biru. “Lebih irit dibanding gas elpiji,” tutur perempuan 39 tahun ini.
Pemakaian biogas di Argosari dimulai pada 2000. Adalah Muhammad Slamet, penduduk setempat, yang memulainya. Ide memanfaatkan kotoran sapi, yang hampir ada di tiap rumah, muncul karena kotoran sapi mencemari sungai dan menjadi polusi udara. Kotoran sapi bahkan membuat hubungan sosial di Argosari runtuh karena sering menjadi penyulut keributan.
Sebelum ada biogas, penduduk memakai kayu bakar untuk memasak. Mereka mencari kayu ke area Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) dan area Perhutani. Akibatnya, penduduk acap dianggap sebagai perambah dan pencuri kayu. Dari perhitungan Slamet, 47 tahun, tiap rumah menghabiskan 22,5 meter kubik kayu per tahun atau lima-enam batang pohon besar. “Jika ada seribu rumah, terbayang berapa banyak kayu yang dibutuhkan untuk memasak,” ucapnya.
Dengan reaktor biogas bervolume 30 meter kubik, listrik bisa memenuhi kebutuhan memasak lima keluarga karena tiap rumah hanya butuh 4 meter kubik metana. Meski satu reaktor butuh biaya Rp 40 juta per unit, daya tahannya bisa mencapai dua dekade. Agar tak menjadi beban, Slamet membuat formula biaya membangun reaktor dibayar dengan susu sapi Rp 5.000 per liter melalui koperasi desa.
Hingga 2013, sudah ada 158 unit reaktor beton yang melayani kebutuhan 237 keluarga yang mengandalkan kotoran dari 1.500 ekor sapi perah dewasa di Argosari. “Berkat biogas, kampung kami sekarang jadi lebih bersih, warganya rukun, dan hutan lestari yang turut menjaga kelestarian mata air di kampung kami,” tutur Slamet.
Di Kabupaten Malang, kata Kepala Bidang Pengolahan Sampah dan Bahan Beracun Berbahaya Dinas Lingkungan Hidup Renung Rubi, ada sekitar 2.600 reaktor biogas. Berdasarkan hitung-hitungan di atas kertas, kabupaten terluas kedua di Jawa Timur ini memiliki potensi 315 ribu ekor sapi perah. Potensi kotorannya, menurut dia, mencapai 190 ribu meter kubik per hari atau setara dengan 42 juta liter minyak tanah.
Selain biogas, pengolahan gas metana berasal dari dua tempat pembuangan akhir (TPA) sampah Talangagung di Kepanjen dan TPA Poncokusumo. Kedua TPA itu bisa memasok gas metana gratis bagi 200 keluarga di Kepanjen dan 150 keluarga di Poncokusumo.
Di Cilacap, Jawa Tengah, Dinas Lingkungan Hidup juga mengembangkan listrik sampah sejak 2014. Namanya keren: refuse derived fuel (RDF) atau bahan bakar alternatif berbahan baku sampah yang telah diolah. Dinas Lingkungan mengklaim sebagai reaktor sampah pertama di Indonesia. “Bisa mengolah semua jenis sampah,” kata Kepala Seksi Pengurangan dan Penanganan Sampah Teguh Ayunanto.
Ada bak penampungan khusus sampah yang dilapisi biomembran. Setelah tiga pekan, kadar air sampah menyusut di bawah 25 persen. Sampah kering itu lalu dimasukkan ke mesin pengayak untuk disortir berdasarkan ukuran. “Hasil olahan RDF siap dikirim ke perusahaan konsumen sebagai bahan bakar pengganti batu bara,” ujarnya.
Tiap hari 150 ton sampah diolah di reaktor Cilacap. Meski masih kecil, salah satu pembeli listriknya adalah PT Solusi Bangun Indonesia, perusahaan semen. Bagi PT Solusi, kehadiran listrik sampah ini membuat sumber energi lebih murah. Sampah 40-60 ton sehari menggantikan 3-4 persen batu bara. “Batu bara harus didatangkan dari luar wilayah,” kata Deni Nuryandain, pegawai PT SBI.
Meski praktik produksi energi terbarukan ditujukan untuk mengurangi CO2 dan metana, Cilacap dan Malang belum memiliki peta jalan pengembangannya. Wakil Bupati Malang Didik Gatot Subroto mengatakan penyebabnya belum ada kejelasan regulasi di tingkat nasional mengenai energi terbarukan di daerah. “Bagi daerah, dukungan pusat melalui regulasi jelas ini amat penting,” tuturnya.
Menurut Tata Mustasya dari Greenpeace, inisiatif daerah ini seharusnya mendapat dukungan penuh. Jika melihat biaya pengurangan emisi karbon dari Badan Kebijakan Fiskal yang sangat besar, inovasi daerah secara langsung akan mengurangi biaya yang harus ditanggung pemerintah pusat. “APBN tak akan sanggup,” kata dia.
Febrio Kacaribu menjelaskan, melalui jawaban tertulis, alokasi anggaran mitigasi krisis iklim dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebesar 4,1 persen. Meski terlihat besar, anggaran tersebut hanya 23,1 persen dari kebutuhan mitigasi per tahun sebesar Rp 266,2 triliun. “APBN memang tak cukup memenuhi pendanaan,” ujar Febrio.
BKF tengah menyusun climate change fiscal framework (CCFF), kerangka kebijakan fiskal yang memuat strategi dan opsi pemenuhan pendanaan perubahan iklim Indonesia. Opsi kebijakan dalam CCFF di antaranya akan memuat strategi mobilisasi pendanaan domestik dan internasional, termasuk analisis regulasi dan institusional.
Selain CCFF, kebijakan lain yang tengah disiapkan adalah perdagangan karbon melalui perdagangan emisi dan pajak karbon, selain pengurangan pembangkit listrik batu bara. Dalam kajian BKF, kebijakan-kebijakan ini bisa menyeimbangkan pemberian fasilitas dan kekuatan pasar di sektor energi.
Tata Mustasya mengingatkan, meski kebutuhan dana sangat besar, kebijakan mitigasi krisis iklim mesti berangkat dari paradigma kelestarian lingkungan. Dulu, kata dia, pembangunan mengutamakan ekonomi yang berakibat kerusakan lingkungan. “Sekarang menjaga lingkungan mesti menghasilkan ekonomi,” ucapnya.
Dengan hanya mengandalkan ekonomi sebagai modal mitigasi, biaya lingkungan akan jauh lebih besar. Greenpeace menghitung biaya penanganan bencana iklim sebesar US$ 68 miliar karena berdampak pada 1,8 juta jiwa. Tata mengutip hitungan World Economic Forum yang menyebut ada peluang ekonomi senilai US$ 10 triliun dan membuka 350 juta pekerjaan baru dalam mitigasi krisis iklim. “Krisis iklim bisa jadi peluang investasi,” ujar Tata.
DINI PRAMITA, ABDI PURMONO (MALANG), JAMAL A. NASHR (CILACAP)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo