Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Yahya Cholil Staquf terpilih sebagai Ketua Umum PBNU.
Dia ingin membuat NU berjarak dari poltiik praktis dan mengatasi polarisasi.
Apa strateginya untuk membenahi NU?
MUKTAMAR Nahdlatul Ulama ke-34 di Lampung pada 22-24 Desember 2021 diwarnai kericuhan dan kelucuan. Yahya Cholil Staquf, salah satu calon Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), menceritakan keriuhan dan kelucuan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di tengah suasana hening penghitungan suara pemilihan Ketua Umum PBNU, misalnya, tiba-tiba ada pengumuman dari pengeras suara tentang sandal peserta yang mungkin tertukar. Ada juga cerita peserta yang mengajukan komplain saat antre di depan meja pendaftaran panitia dengan mengatakan, "Kenapa regenerasinya lama sekali?"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepada wartawan Tempo, Abdul Manan dan Agung Sedayu, Yahya Staquf bercerita di kantor PBNU di Jakarta, Rabu, 29 Desember 2021. Gus Yahya terpilih sebagai Ketua Umum PBNU dalam muktamar tersebut setelah meraih 337 suara, mengungguli calon inkumben Kiai Haji Said Aqil Siroj, yang mendapat 210 suara. Ia menilai perhelatan lima tahunan NU kali ini lebih sepi. "Karena pandemi dan tidak ada konteks pertarungan politik yang krusial," kata putra politikus dan ulama Muhammad Cholil Bisri ini.
Dalam perbincangannya dengan Tempo, Yahya menjelaskan alasannya hendak membawa NU berjarak dari politik praktis. Ia menginginkan NU lebih kompak serta berkhidmat untuk kepentingan orang banyak. Ia juga menyatakan tak terganggu oleh kritik atas kedatangannya ke Israel untuk menghadiri pertemuan Forum Global Komite Yahudi Amerika (AJC) di Yerusalem pada 2018, bahkan bersedia datang lagi.
Apa strategi Anda untuk menyatukan NU lagi?
Kalau itu sudah tidak perlu pakai strategi. Nanti solid lagi. Muktamar itu panas-panasan kayak olahraga. Ini teman-teman sendiri. Kami tumbuh bersama. Hubungan saya dengan Kiai Said (Aqil Siroj) itu lebih dari keluarga. Beliau sendiri sudah menyatakan berkali-kali. Ayah Kiai Said itu santri kakek buyut saya. Kiai Said juga rutin setiap tahun memberi ceramah untuk haul kiai di pesantren saya sejak sebelum jadi Ketua Umum PBNU.
Bagaimana situasi muktamar ini dibanding sebelumnya?
Ini paling tenang, paling sepi, karena pandemi dan tidak ada konteks pertarungan politik yang krusial dibandingkan dengan Muktamar 2015 di Jombang, Jawa Timur. Pertama, saat itu Kiai Hasyim Muzadi ingin menjadi Rais Am, sementara ada kiai yang belum bisa menerima. Kedua, ada soal Gus Sholah (Salahuddin Wahid) yang didukung PPP (Partai Persatuan Pembangunan) dan Pak Said Aqil yang didukung PKB (Partai Kebangkitan Bangsa). Saat ini saya dan Pak Said tidak ada konteks kompetisi politiknya.
Bagaimana komposisi pengurus PBNU nanti?
Saya sudah punya gagasan, tapi harus saya komunikasikan dengan Rais Am terpilih (Kiai Haji Miftahul Akhyar) dan bicarakan dengan enam formatur.
Ada syarat khusus untuk menjadi pengurus?
Komitmennya satu: yang nanti masuk PBNU saya minta berkomitmen tidak menjadi calon presiden atau wakil presiden dalam pemilihan presiden kelak.
Mengapa NU harus berjarak dari politik praktis?
Ini fundamental sekali. Dampak pemilihan presiden 2019, terjadi pembelahan di dalam NU. Yang mau pilih Jokowi-Ma'ruf (Joko Widodo-Ma’ruf Amin) itu cuma 58 persen, yang 42 persen tidak mau. NU kini sudah terbelah: 58 persen “cebong”, 42 “kampret”. Kalau kami ulangi lagi, akan makin susah. Polarisasi sulit disembuhkan. Mari kita sembuhkan luka-luka polarisasi ini supaya NU kembali utuh. Kalau kami gagal mengembalikan keutuhan, bukan hanya NU yang rugi, bangsa juga rugi besar.
Pengalaman kami dalam dinamika politik lima tahun terakhir menunjukkan betapa berbahayanya politik identitas. Kami ingin mengajak semua pihak menghentikan ini. Berhenti memperalat identitas sebagai senjata politik, terutama agama, terutama Islam. Itu berbahaya sekali bagi keutuhan bangsa. Kita juga harus mendidik masyarakat untuk tidak mau diajak berpolitik dengan dasar identitas. Kita harus membangun demokrasi yang lebih rasional.
Apa dampak langsung politik praktis bagi NU?
Pertama, terbelah. Lalu mindset NU tidak berkembang menjadi lebih konstruktif. Sekarang muncul politik identitas Islam dan non-Islam. Kalau diteruskan, nanti identitas NU dan non-NU. Berbahaya sekali. NU harus diposisikan menjadi penyangga keutuhan supaya NU berkhidmat tidak hanya untuk kelompok sendiri, tapi untuk bangsa, kemanusiaan.
Bagaimana Anda akan mengubah keadaan sekarang?
Memang berat. Ini kan mandat khitah. NU pada 1955 menjadi partai politik. Pada 1979 sebetulnya sudah menyatakan kembali ke khitah. Lalu pada 1984 membuat rumusan apa khitah itu. Itu mandatnya. Mari kita jalankan mandat itu. Sekarang kami harus mengerjakan strategi untuk menuju ke sana. Setelah 1984, NU masih berkutat dalam politik praktis. Harap maklum. Sejak 1955 sampai 1984, selama 30 tahun, NU begitu kental dengan politik praktis. Untuk menyembuhkan mindset ini tidak mudah. Tapi sekarang sudah dalam posisi yang lebih siap, di samping konteks keberadaan NU sudah makin tidak relevan dengan politik praktis karena NU tidak lagi punya slot dalam agregasi politik. Ingin punya menteri tujuh orang, lha, kami bukan partai. Kami juga sedang dalam peralihan generasi.
Siapa generasi baru ini?
Generasi 1990-an yang sudah tidak terlalu terlibat dalam pertarungan politik praktis sebelumnya. Saya masih ikut kampanye pada 1971. Umur saya 5 tahun. Tapi pada 1990-an tidak gitu-gitu amat, to. Orang sudah mulai berbicara tentang reformasi politik, suksesi. Nah, ini berubah. Apalagi kalau berbicara soal generasi tahun 2000-an ke atas. Mereka sudah sama sekali baru mindset-nya.
Bagaimana Anda akan menata ulang hubungan NU dengan PKB?
Menurut saya tidak ada yang susah. Kami kan sejak awal membiarkan ini tumbuh alami. PKB didirikan pengurus NU, dideklarasikan Gus Dur (Abdurrahman Wahid) sewaktu menjadi Ketua Umum PBNU. Tapi orang kan dibiarkan membuat pilihan politik masing-masing. Tidak ada fatwa warga NU wajib memilih PKB. Makanya pada Pemilihan Umum 1999 PKB cuma dapat 13 persen suara, padahal pada 1955 dapat 18 persen suara. Jadi, sudah, dibiarkan alami saja. Kami tekankan juga bahwa PKB tetap tidak punya klaim monopoli atas NU.
Bagaimana kalau pengurus PBNU merangkap pengurus partai?
Dalam AD/ART (anggaran dasar/anggaran rumah tangga), pengurus PBNU tidak bisa merangkap sebagai pengurus partai politik. NU ingin berjarak dari politik praktis dengan cara apa? Apa perlu kami sterilkan PBNU, tidak boleh ada orang partai sama sekali? Bisa saja begitu. Tapi apa jaminannya tidak ada penetrasi politik ke PBNU? Ada pilihan yang lebih realistis. Kami berbagi ruang saja. Silakan kader NU yang punya latar belakang berbeda-beda itu memanfaatkan kapasitasnya sebagai pengurus PBNU. Karena latar belakang mereka lain-lain, biarkan mereka saling mengontrol supaya tidak ada monopoli terhadap NU.
Apakah arus bawah memang ingin NU tidak berpolitik praktis?
Saya kira iya. Memang di bawah beragam. Kalau di PBNU ini PKB banget. Yang di bawah itu ada yang Golkar, PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan). Mereka juga kan gelisah. Begitu juga kalau PBNU jadi PDIP banget, di bawah juga gelisah. Daripada kami gelisah terus, kami bikin jarak saja.
Ketua Umum PBNU terpilih Yahya Cholil Staquf (tengah) melambaikan tangan usai pemilihan Ketua Umum PBNU pada Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-34 di Universitas Lampung, Lampung, Jumat (24/12/2021). Yahya Cholil Staquf terpilih sebagai Ketua Umum PBNU periode 2021-2026 pada Muktamar NU ke-34 mengalahkan Said Aqil Siradj. ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Apa yang hendak Anda perbaiki di PBNU?
Masalah yang saya lihat paling fundamental ada pada koherensi organisasi. Kami banyak inisiatif, tapi tidak nyambung satu sama lain. Misalnya banyak wilayah dan cabang mendirikan lembaga, seperti rumah sakit, sekolah, dan perguruan tinggi. NU punya 40 perguruan tinggi, tapi satu sama lain tidak ada komunikasi, tidak ada ikatan apa pun. Begitu juga rumah sakit. Akibatnya, tidak ada strategi pengembangan yang komprehensif.
PBNU tak memberi asistensi?
Nyaris tidak pernah. Ini pekerjaan rumah kami sekarang: bagaimana inisiatif ini bisa kami jalin menjadi satu jaringan untuk tumbuh bersama. Inisiatif itu juga menumpuk di Jawa. Harus ada strategi untuk memberdayakan mereka agar kehadiran NU lebih merata.
Apa keluhan dari cabang terhadap PBNU?
Sebagian besar kurangnya komunikasi. Mereka bilang kami berkomunikasi dengan PBNU cuma dua kali dalam lima tahun, yaitu saat mengurus surat keputusan (penetapan pengurus) dan muktamar. Sejak jauh hari, itu bagian dari concern utama saya. Maka saya siapkan tawaran, yaitu memicu proses untuk menumbuhkan kebutuhan berkomunikasi. Caranya, PBNU mencari mitra kerja sama untuk membuat agenda nasional, lalu menjadi program di cabang. PBNU, karena perlu mengawasi pelaksanaan program, ada kebutuhan berkomunikasi.
Akan dibangun seperti apa?
Pertama, saya ingin NU koheren, kompak, sebagai organisasi. Kalau NU koheren, ini jadi kekuatan besar yang bisa kami harapkan mewujudkan agenda transformasi di masyarakat untuk menuju arah perbaikan kualitas hidup yang lebih produktif. Kedua, positioning NU. NU harus menjadi komponen bangsa yang mengabdi untuk semua.
Bagaimana hubungan yang ideal antara NU dan pemerintah?
Seperti antara masyarakat sipil dan pemerintah. Ada hal tertentu dari pemerintah yang kami setuju, ada yang kami tidak setuju. Yang setuju kami dukung. Yang tidak setuju kami kritik, kami evaluasi.
Apakah sudah dijalankan dengan baik?
Sudah diupayakan, tapi memang banyak godaan sehingga sering jatuh ke positioning yang terlalu politis.
Ada kesan bahwa NU ke depan akan dekat dengan Istana.
Kalau dekat, ya memang dekat. Apa boleh buat. Tapi saya kan tidak terlibat dalam vested interest Istana. Dekat itu penting supaya dalam keadaan apa pun kami bisa berbicara.
Setelah muktamar Anda langsung bertemu dengan Presiden Joko Widodo. Karena Presiden mendukung Anda?
Saya bertemu dengan Presiden Jokowi pada 2019 dalam perpisahan sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden. Setelah itu sama sekali tidak ada kontak. Selama muktamar tidak ada kontak, baik dengan Pak Jokowi maupun pembantu terdekatnya, seperti Pak Pratikno. Orang bilang saya direstui, alhamdulillah. Saya harus katakan, kami beruntung punya Presiden Jokowi, paling tidak dalam perspektif NU. Pak Jokowi memandang NU ini elemen yang sangat strategis bagi keutuhan bangsa, masa depan bangsa, sehingga keberadaan dan nasibnya jadi kepentingan semua orang. Ini berarti NU punya tanggung jawab yang sama dengan pemerintah terhadap bangsa dan negara ini.
Ada pesan khusus dari Presiden?
Pernyataan beliau, muktamar sukses, tenang, dan damai. Kalau dalam hatinya senang saya terpilih, alhamdulillah. Beliau mengatakan pemerintah siap berkoordinasi lebih lanjut dengan NU tentang hal-hal strategis yang perlu dikerjasamakan ke depan. Itu berharga sekali menurut saya.
Anda datang ke muktamar memakai jet pribadi. Benarkah itu bantuan pengusaha?
Dari teman. Ini jet pribadi. Yang dapetin bukan saya. Ini kan kayak taksi saja. Nyewa juga bisa. Itu cuma gara-gara kami telat nyari tiket. Sibuk macam-macam dan salah perhitungan karena jadwal muktamar maju-mundur.
Bagaimana menghindari konflik kepentingan dengan adik Anda, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas?
Dia menjadi menteri kan bukan salah saya. Yang usul juga bukan saya. Dia Ketua Umum Gerakan Pemuda Ansor. Pasti ada kelindan ini-itu. Tapi saya yakin Yaqut ngerti. Dia bukan kader kemarin sore. Tahu mana yang pantas, mana yang tidak. Tahu bagaimana memposisikan diri supaya adil kepada semua pihak.
Apa pandangan Anda terhadap penilaian bahwa demokrasi kita menurun?
Sebetulnya sih enggak juga karena toh kita tetap terbuka. Sedari awal kami sampaikan bahwa kami tidak sepakat dengan banyak hal dalam Undang-Undang Cipta Kerja dan terus kami artikulasikan. Perdebatan dan pertarungan di parlemen juga normal-normal aja. Mungkin sebetulnya yang lebih kita butuhkan ke depan adalah membangun demokrasi yang lebih rasional supaya orang berbicara dengan argumen yang rasional dan membuat pertimbangan yang lebih rasional dalam pilihan politiknya. Jelas bahwa kita belum sempurna, masih sangat muda. Tapi harus diingat, ini demokrasi yang paling berhasil di seantero dunia Islam. Di tempat lain gagal semua. Satu-satunya yang berhasil hanya Indonesia. Makanya harus kita pelihara. Kalau sekarang ada yang menganggap demokrasinya merosot, mari kita perjuangkan supaya naik lagi.
Apakah Anda akan datang jika kembali diundang ke Israel?
Mau. Tidak jadi masalah. Sekali lagi saya tekankan, saya cuma mau mengatasi dimensi agama dari masalah ini. Saya tidak punya rekomendasi politik. Pertama, karena positioning-nya. Kedua, karena politik tanpa menjawab dimensi keagamaannya akan sia-sia. Dulu narasinya Islam melawan Yahudi. Ditambah Bung Karno dulu menyatakan Israel itu nekolim (neokolonialisme-imperialisme). Kalau perspektifnya masih begitu, ya, tidak bisa menemukan jalan keluar. Dalam keadaan begini, sikap saya pribadi, mari kita cari jalan keluar. Jangan menyerah kepada jalan buntu, karena itu yang juga dilakukan Gus Dur.
Apakah strategi pemerintah saat ini membantu perjuangan Palestina?
Mohon maaf, sama sekali tidak. Sama sekali tidak memberikan harapan apa pun kepada masa depan Palestina. Pemerintah melakukan ini lebih untuk kepentingan politik dalam negeri, bukan untuk kepentingan rakyat Palestina.
Tempat dan Tanggal Lahir
• Rembang, Jawa Tengah, 16 Februari 1966
Pendidikan
• S-1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada
Karier Pemerintahan
• Juru bicara Presiden Abdurrahman Wahid 1999-2001
• Anggota Dewan Pertimbangan Presiden 2018-2019
Karier Organisasi
• Katib Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama 2015-2021
• Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama 2021-2026
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo