Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tes serologi dapat dilakukan untuk melihat keberhasilan vaksinasi dalam merangsang sistem imun untuk menghasilkan antibodi.
Belum ada patokan standar jumlah antibodi yang dibutuhkan untuk melawan Covid-19.
Angka hasil tes yang tinggi tidak berarti boleh mengabaikan protokol kesehatan.
SUDAH tiga kali dalam tiga bulan terakhir Reny Meisuburriyani, 58 tahun, mengukur kadar titer antibodi tubuhnya. Anggota staf Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin, Bandung, itu merasa penasaran terhadap hasil vaksinasi Covid-19. “Semua hasil tes saya positif ada antibodi,” kata Reny kepada Anwar Siswadi dari Tempo, Kamis, 14 Oktober lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Reny memutuskan menjadi responden penelitian di rumah sakitnya bersama ratusan dokter, perawat, dan tenaga penunjang lain. Riset yang dilakukan oleh tim Penyakit Infeksi New Emerging dan Re-Emerging (PINERE) Rumah Sakit Hasan Sadikin itu bertujuan mencari tahu proteksi antibodi hasil vaksinasi guna melawan Covid-19. Para responden telah mendapat vaksin Sinovac dosis lengkap dan vaksin Moderna untuk suntikan ketiga atau booster.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rasa penasaran pula yang membuat Baskoro Justicia Prakoso, 35 tahun, menjalani tes serupa. Ia ingin tahu apakah antibodi muncul selepas vaksinasi. “Atau jangan-jangan saya sudah kena Covid tapi tidak ketahuan,” ucap dokter spesialis patologi klinik di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita, Jakarta, itu pada Rabu, 13 Oktober lalu.
Menurut dia, hasil tes sebulan setelah vaksinasi itu menunjukkan ada kenaikan jumlah titer antibodi. Kadarnya 4 setelah suntikan pertama dan naik menjadi 7 selepas suntikan kedua. “Lalu ada booster untuk tenaga medis, menggunakan Moderna. Setelah saya periksa, naik jadi 11 ribu,” ujar dokter yang juga berpraktik di Prodia itu kepada Siti Hasanah Gustiyani dari Tempo.
Berbeda dengan Reny dan Baskoro, Bagus menjalani tes serologi untuk menjadi donor plasma konvalesen. Tes dilakukan untuk menunjukkan konsentrasi dan kekuatan antibodinya. “Dengan begitu, tenaga medis dapat menentukan mana plasma donor yang memberikan manfaat terbesar bagi pasien Covid-19,” kata Bagus, 33 tahun, Rabu, 13 Oktober lalu.
Sebagai penyintas Covid-19, Bagus sudah divaksin pada April dan Mei lalu. Sebelum divaksin, ia mendonorkan plasma pada Februari lalu. Ketika dites lagi pada Juni lalu, titer antibodinya naik dua kali lipat. “Kalau tidak salah terakhir sebelum vaksinasi itu 38 (syarat donor 40), lalu setelah dua kali divaksin menjadi 80-an,” tutur pria yang tinggal di Gondomanan, Yogyakarta, tersebut.
Sejak program vaksinasi dilaksanakan, tak sedikit orang menjalani tes serologi, yaitu tes darah untuk mendeteksi antibodi. Hasil tes umumnya digunakan untuk mendiagnosis apakah seseorang sedang atau pernah menderita infeksi tertentu. Tes juga dilakukan untuk melihat ada-tidaknya kekebalan terhadap suatu penyakit sebagai respons sistem imun. Dari tes serologi bisa dilihat pula tingkat keberhasilan vaksinasi dalam merangsang sistem imun guna menghasilkan antibodi.
Dalam penelitian tim PINERE, yang menggunakan metode cross sectional untuk mengkaji hubungan suatu penyakit dan paparannya, tim menghitung rata-rata efikasi 56,3 persen. “Mirip dengan angka efikasi vaksin,” kata dokter Rudi Wisaksana dari tim PINERE saat memaparkan hasil risetnya dalam webinar yang digelar Rumah Sakit Hasan Sadikin, Kamis, 14 Oktober lalu.
Pemeriksaan pertama dilakukan pada Juli lalu atau empat-lima bulan setelah vaksinasi dosis pertama di lingkup internal rumah sakit. Jumlah responden 359 orang, terdiri atas 55 persen wanita dan 45 persen pria berusia 32-51 tahun. Sebanyak 47 persen responden bekerja di zona merah rumah sakit atau menangani pasien Covid-19, zona kuning 30,2 persen, dan zona hijau 22,8 persen. Sebanyak 98,5 responden telah mendapat vaksin dosis lengkap, sisanya baru dosis pertama dan belum divaksin. “Hasilnya, 89 persen responden memiliki antibodi tapi kadarnya tidak terlalu tinggi,” ucap Rudi.
Dalam pemeriksaan kedua pada bulan yang sama, tim mengukur kadar antibodi jenis immunoglobulin G anti-receptor binding domain (RDB) setelah vaksinasi dengan Sinovac. Subyek penelitiannya bertambah menjadi 630 orang dari kalangan rumah sakit. Hasilnya, dalam waktu rata-rata 166 hari setelah vaksinasi, sebanyak 233 orang (36,9 persen) terlindungi 70 persen lebih dari Covid-19, 155 orang (24,6 persen) terlindungi 80 persen lebih, dan cuma 23 orang (3,6 persen) yang terlindungi hingga 90 persen lebih. “Mayoritas terlindungi 70-80 persen. Jadi vaksinasi ketiga sangat tepat,” ujar Rudi.
Pengukuran tim berlanjut hingga selepas penyuntikan ketiga dengan vaksin Moderna. Hasilnya, setelah sebulan vaksinasi, proteksi anti-RBD lebih dari 90 persen ditemukan pada 85,9 persen subyek penelitian. Pemeriksaan akan dilanjutkan pada bulan ke-3, ke-6, dan ke-12 seusai vaksinasi.
Kepala Instalasi Laboratorium Klinik Rumah Sakit Hasan Sadikin, Delita Prihatni, mengatakan belum ada patokan standar jumlah antibodi yang dibutuhkan untuk melawan Covid-19. Pernyataan Delita diamini dokter spesialis anak Eddy Fadlyana. Ia mengatakan Badan Kesehatan Dunia (WHO) masih mengumpulkan data karena Covid-19 adalah penyakit baru.
Eddy mengatakan pengukuran antibodi dalam kasus Covid-19 penting. Kalau jumlahnya di bawah nilai proteksi, vaksin harus ditambah. Dari riset yang ia lakukan bersama tim, terlihat ada tren penurunan antibodi selepas vaksinasi. “Misalnya Sinovac, selama enam bulan terjadi penurunan sehingga perlu ditingkatkan lagi dengan vaksin booster,” kata manajer tim riset uji klinis vaksin Sinovac di Bandung itu, Kamis, 14 Oktober lalu. Pada Desember nanti, Eddy akan meneliti vaksin Covid-19 sebagai booster bagi masyarakat.
Baskoro Prakoso juga berpendapat tes serologi diperlukan untuk mengetahui apakah vaksinasi berhasil meningkatkan antibodi atau guna mengecek pernah-tidaknya seseorang terjangkit Covid-19. Hanya, jangan sampai angka hasil tes yang tinggi membuat seseorang lengah karena tidak ada yang tahu mana respons tubuh yang lebih baik, apakah setelah divaksin atau setelah terjangkit Covid-19. “Jadi kita tetap harus menjaga protokol kesehatan,” ucapnya.
Peringatan senada disampaikan Kepala Pusat Kesehatan Masyarakat Bambanglipuro, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Tarsisius Glory, yang telah menjalani uji serologi tiga bulan setelah mendapat vaksin dosis kedua. Pada 6 Mei lalu, petugas Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta mengambil sampel darahnya dan 30 tenaga kesehatan lain untuk melihat kadar antibodi. "Hasilnya, terbentuk antibodi," tuturnya, Selasa, 19 Oktober lalu.
Setelah mengetahui tubuhnya memiliki antibodi, Glory tak lantas melonggarkan protokol kesehatan. Ia tahu antibodi itu tak membuatnya kebal terhadap virus corona. Masyarakat, kata dia, tak perlu menjalani tes serologi karena boros. Ia menjalani tes karena Rumah Sakit Bethesda memiliki program tes gratis bagi tenaga kesehatan.
Dosen Departemen Patologi Klinik dan Kedokteran Laboratorium Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada, Umi Intansari, juga mengatakan tes serologi pasca-vaksinasi tak mendesak. Ia menyarankan masyarakat lebih memperhatikan protokol kesehatan. “Belum pernah ada penelitian tentang kadar protektif antibodi yang bisa melindungi tubuh seseorang dari infeksi Covid berikutnya,” ujarnya kepada Shinta Maharani dari Tempo, Rabu, 20 Oktober lalu.
Dokter spesialis patologi klinik di Rumah Sakit Umum Pusat Dr Sardjito itu mengungkapkan, uji serologi setelah vaksinasi pada penyakit hepatitis lebih mudah karena kadar protektifnya telah diketahui. Pada Covid-19, kadar protektif belum bisa diukur dari tinggi-rendahnya angka hasil uji serologi seusai vaksinasi. Adanya titer antibodi selepas vaksinasi, dia menambahkan, tidak otomatis membuat tubuh kebal dari virus corona. “Sistem kekebalan tubuh seseorang tidak hanya berasal dari antibodi, tapi ada sistem imun lain, yakni imun seluler,” tuturnya.
Umi dan timnya sedang meneliti kadar antibodi pasca-vaksinasi untuk mengetahui apakah muncul antibodi sesudah vaksinasi. Mereka juga hendak mencari tahu berapa lama antibodi bertahan setelah terbentuk dan memerlukan booster atau tidak. Penelitian telah berlangsung tiga bulan dengan melibatkan 80 sampel dari tenaga kesehatan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo