Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Banyak anak muda mengalami permasalahan psikologis kecemasan, trauma, dan depresi selama masa pandemi.
Tekanan dari lingkungan pekerjaan dan lingkungan keluarga kerap menjadi pemantik.
Perasaan tak berdaya dan sendirian dapat memicu persoalan yang lebih kompleks.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Astagfirullahaladzim!!!" Putri, 31 tahun, tak henti menyebutkan kata tersebut setelah hampir mencelakai anaknya dengan membekapnya menggunakan bantal pada Desember tahun lalu. Sebelumnya, ia juga hampir menyumpal mulut anak kandungnya yang baru berusia sekitar 1 tahun itu dengan handuk saat sedang memandikannya. Ia jengkel mendengar tangisan dan teriakan anaknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perubahan sikap dan gejolak emosi ekstrem yang dialami Putri bukan tanpa sebab. Dosen di sebuah perguruan tinggi di Malang, Jawa Timur, merasa kewalahan menghadapi paruh kedua 2020. "Banyak tagihan sebagai dosen, dari tagihan nilai mahasiswa sampai proposal penelitian," katanya, Rabu, 17 November lalu.
Namun, dia menambahkan, persoalan sebenarnya lebih dari sekadar beban kerja yang meningkat berkali lipat di akhir tahun. Semula Putri merasa senang ketika kebijakan bekerja dari rumah (WFH) diberlakukan. Dengan bayinya yang saat itu berusia enam bulan, ia merasa punya kesempatan lebih baik untuk memberikan air susu ibu (ASI) eksklusif tanpa harus repot-repot memompa setiap hari.
Beberapa bulan bekerja dari rumah, ia mulai merasa burnout. Sejak ia menjalani WFH, anaknya menjadi sangat bergantung pada kehadirannya. Sedangkan pekerjaan lain, seperti memasak dan membuat makanan pendamping ASI, tak bisa ia kesampingkan.
Meski di rumah ada ibu, suami, keluarga kakaknya, dan seorang pembantu, tak seorang pun yang dapat bergantian mengasuh anak semata wayangnya itu. Putri dianggap bisa mengasuhnya sendiri karena selalu berada di rumah. "Siang hari aku benar-benar tidak bisa kerja," tuturnya.
Putri baru bisa bekerja di atas pukul 21.00, saat anaknya sudah tidur, hingga pukul 01.00 atau 02.00, ketika anaknya bangun lagi meminta susu. Putri punya kesempatan tidur kurang dari lima jam setiap hari.
Di tengah tekanan yang seperti tiada henti, Putri mulai kehilangan kesabaran. Kecenderungan menyakiti anak bermula ketika suatu hari ia melempar kursi makan sang anak ke luar rumah karena kesal anaknya tak mau makan.
Dalam kondisi sangat tertekan dan letih, suatu malam ia menceritakan kondisinya sambil menangis kepada sang suami. Tapi suaminya malah meminta dia beristirahat jika sudah merasa capek. "Dia enak bisa bilang begitu karena tidak pernah merasakan posisi aku. Dia kerja tidak terganggu oleh urusan anak rewel tantrum," ucapnya.
Di kampus, ia juga mulai merasa diasingkan. "Sewaktu membentuk kelompok penelitian, yang lain sudah grouping, aku enggak diajak dan setiap orang yang kuajak ternyata sudah punya kelompok," katanya. Dia mulai diserang bermacam kekhawatiran.
Kekhawatirannya makin menjadi ketika salah seorang dosen, temannya, meninggal karena Covid-19 setelah mereka sempat bertemu. Putri khawatir terjangkit penyakit itu dan akan menulari keluarganya. Meski belakangan diketahui hasil tesnya negatif, dia telanjur mengalami stres.
Di tengah tekanan yang menumpuk dan merenggut kewarasannya, Putri merasa sendiri. Ia merasa suaminya tak ada di sampingnya meski mereka tidur bersebelahan. Ia juga kehilangan komunikasi yang hangat dengan teman-teman kerjanya selama masa pandemi. "Jarang ketemu, ngobrol via WhatsApp malah sering salah tangkap, jadinya tidak ada yang bisa diajak berbicara," tuturnya.
Pada akhir 2020, Putri memutuskan berkonsultasi ke biro psikologi. Saran dari psikolog sangat menohok. "Urus yang bisa kamu kontrol," ujarnya menirukan ucapan psikolog tersebut. Psikolog meyakini Putri sudah mengalami depresi dan kecemasan berlebih.
Tekanan dari dunia kerja juga hampir mengakhiri hidup Wahida Nurul, 29 tahun, dan merenggut kewarasannya. Tekanan tersebut pertama kali datang dalam bentuk pemotongan upah pada awal 2021. Demi memastikan dapur tetap ngebul, Nurul, yang saat itu bekerja sebagai desainer di sebuah perusahaan media, memutuskan mengambil pekerjaan sampingan.
Nurul dan suaminya harus menopang penghidupan ibu mertuanya semenjak ayah mertuanya meninggal. "Dengan gaji dipotong, tiap bulan jadi defisit. Mau enggak mau ambil side hustle untuk mencukupi kebutuhan hidup harian," ucapnya.
Pada pertengahan tahun, perombakan manajemen di kantor lamanya berbuntut penambahan target tahunan plus tugas lain yang tak ia kuasai. Jam kerjanya pun bertambah. Kondisi itu membuatnya menjalani hidup hampir seperti robot pekerja.
Nyaris tak ada waktu untuk sekadar menonton film kesukaannya pada Sabtu dan Ahad. Ia harus bekerja di akhir pekan, tanpa jeda. "Makin lama jadi berpikir mati aja, buat apa hidup kalau bangun cuma buat kerja," katanya.
Kesibukan yang ekstrem membawa persoalan baru. Nurul menjadi bertengkar dengan ibu kandungnya yang merasa ia tak lagi punya waktu untuk memperhatikan sang ibu. Ia juga merasa kesal karena tak lagi punya waktu berkualitas dengan suaminya. Ditambah lagi ia mendapat kabar atasannya langsung akan mengundurkan diri. Perlahan Nurul merasa sendirian.
Ia mulai menyakiti dirinya sendiri dalam kondisi setengah sadar. Ia juga pernah hampir menenggak cairan pembersih lantai. Puncaknya, ia berusaha melompat dari balkon kamarnya di lantai 11. Untung suaminya terbangun dan menariknya. "Waktu itu sampai tarik-tarikan," ujarnya. Dalam pikirannya, Nurul ingin kesesakan yang ia rasakan berhenti.
Dalam pergumulan tersebut, Nurul memutuskan mendatangi biro psikologi, kemudian ke psikiater. Psikolog dan psikiater yang menangani meyakini Nurul dilanda depresi dan kecemasan berlebih, yang diperberat gangguan borderline personality disorder atau gangguan kepribadian ambang.
Setelah itu, Nurul mesti berjuang dengan masalah baru. Ia harus menjalani pengobatan selain sesi konseling. Biaya yang dikeluarkan tak bisa ditanggung oleh kantor lamanya ataupun kantor suaminya. Sementara itu, pemotongan gaji yang menjadi sumber petaka belum juga selesai.
Bukan hanya Putri dan Nurul yang menghadapi masalah di masa pandemi Covid-19. Hasil survei Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) menyebutkan, dalam lima bulan pertama masa pandemi, dari 4.010 orang yang mengakses swaperiksa PDSKJI, 64,8 persen mengaku mengalami masalah psikologis. Masalah yang paling menonjol adalah kecemasan, depresi, dan trauma psikologis.
Menurut psikolog Astrid Wen, jam kerja dan beban kerja berlebih adalah salah satu faktor pendorong depresi yang akhir-akhir ini ia temukan dari kliennya yang berusia dewasa muda. Jumlah klien usia dewasa muda yang datang untuk berkonsultasi kepadanya meningkat selama masa pandemi hingga saat ini. "Faktornya stres karena tekanan kuliah, pekerjaan, dan ada juga yang baru transisi dari kuliah ke kerja," kata Astrid.
Ia mengatakan semua aktivitas pekerjaan yang dilakukan secara daring memiliki kecenderungan memperpanjang jam kerja dan meniadakan batas (boundary). Contoh sederhananya, Astrid menjelaskan, ketika karyawan libur atau sedang cuti, atasan masih menghubungi dan memaksanya bekerja dan mengikuti rapat online hingga larut malam. Seperti yang dialami Nurul, yang tetap harus menghadiri rapat dan kerap mesti bekerja di waktu libur demi memenuhi target tahunan perusahaan.
Dalam kasus menyakiti diri sendiri atau self-harm, menurut Astrid, individu tersebut sudah sangat memerlukan pertolongan profesional. Menurut dia, self-harm adalah respons atas tekanan psikis yang dialami seseorang tapi tidak dikelola dengan sehat. "Mereka merespons rasa sakit, sedih, dan tekanan yang dihadapi dengan menghukum diri sendiri," ucapnya.
Adapun Andri, psikiater anggota The Academy of Psychosomatic Medicine yang dikenal sebagai ahli penanganan psikosomatis, self-harm biasanya ditemui hanya pada individu dengan gangguan kepribadian ambang. "Tidak semua individu mengalihkan rasa sakitnya dengan menyakiti diri sendiri," tuturnya.
Salah satu respons umum yang mudah ditemui pada individu yang sedang mengalami tekanan psikis adalah prokrastinasi atau menunda-nunda pekerjaan. Putri sempat mengalami hal ini. "Saya tahu kerjaan banyak banget, tapi entah kenapa malah penginnya nonton dulu," ujarnya.
Putri merasa tak berdaya dan ingin menjauh dari pekerjaan yang membuat ia merasa sedikit trauma. Dengan sadar ia menunda pekerjaan, yang membuat keadaan menjadi tambah buruk karena pekerjaannya kian menumpuk.
Menurut Andri, yang juga pengurus PDSKJI, prokrastinasi adalah sebuah keadaan disfungsi. "Tidak konsentrasi belajar atau mengerjakan sesuatu, tidak ada keinginan untuk bekerja, tertekan luar biasa sehingga tugas menjadi terbengkalai," katanya. Di titik tertentu, individu yang kerap melakukan prokrastinasi harus mendapat pertolongan profesional untuk meningkatkan kualitas hidupnya.
Andri menjelaskan, dalam sebagian besar kasus, seorang individu sebetulnya telah memiliki riwayat gangguan kesehatan mental, tapi belum sadar karena tidak mengganggu kehidupannya. Menghadapi pandemi Covid-19 dengan segala tantangannya, tekanan demi tekanan membuat gejala-gejala disfungsi tersebut “keluar”. "Maka ada istilah pandemi membuat 'keluar' gejalanya," tuturnya.
Hal ini terlihat pada Dian Setiawan, 27 tahun, karyawan swasta di Yogyakarta. Sejak Dian duduk di sekolah menengah atas, otaknya kerap melakukan penghitungan secara otomatis ketika seseorang berbicara dengannya. Ia menghitung kata per kata yang dikeluarkan oleh lawan bicaranya. "Ketika itu terjadi, otak otomatis akan mencari kata untuk menggenapkan jumlahnya," ujarnya.
Tren sesuai dengan umur
Masalah psikologis terbanyak ditemukan di kelompok usia 17-29 tahun dan >60 tahun
Pada Juni lalu, Dian mengalami mental breakdown karena permasalahan keluarga, kesehatan, dan percintaan, juga soal meneruskan kuliah ke jenjang S-2 yang bertumpuk menjadi satu. Akibatnya, otak Dian tak pernah berhenti berpikir, tak pernah berhenti mengalkulasi.
Dian sangat kewalahan. Apa pun yang ia lakukan, otaknya otomatis mengalkulasi. Dia sempat merasa malas makan, padahal harus meminum obat untuk mengatasi hipertiroid yang ia alami. Akhir Juli lalu, untuk pertama kalinya ia mencari bantuan profesional.
Atas bantuan psikolog, Dian belajar mengurai permasalahannya dan mengelola emosinya. Ia melakukan journaling untuk membantunya mengelola emosi dan mengurai persoalan dari hari ke hari. Setelah berkonsultasi ke psikolog dan psikiater, baik Nurul maupun Putri juga merasa lebih berdaya dalam mengurai persoalan yang semula menenggelamkan mereka dalam depresi dan kecemasan tiada henti.
Layanan pencegahan bunuh diri:
+62 8113855472-LISA Suicide Prevention Helpline (Love Inside Suicide Awareness)
119 ekstensi 8-Kementerian Kesehatan
Untuk mengelola stres, Andri menerangkan, yang paling utama adalah mengenali diri sendiri dulu, termasuk coping mechanism atau strategi yang dapat dilakukan dalam menghadapi situasi yang menyebabkan stres atau trauma psikologis. Setelah itu, beradaptasi dengan sehat dan matang. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah selalu memotivasi diri: “Saya bisa!”
Setelah melakukan yang terbaik, Andri melanjutkan, milikilah rasa puas terhadap hidup serta rasa aman terhadap diri sendiri dan lingkungan. Tak cukup sampai di situ, Andri juga menyarankan menjalin koneksi dengan keluarga dan lingkungan sosial. Ia menekankan bahwa keterhubungan sangat penting karena dapat digunakan untuk mengatasi rasa sendirian dan terisolasi. "Jika mudah sendirian, terisolasi, tidak ada yang bisa membantu," ucapnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo