Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Kubangan Petaka dari Bawah Tanah

Puluhan kubangan lumpur panas muncul di lahan masyarakat dengan pembangkit panas bumi di Flores. Produksi pertanian menurun.

27 November 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Lumpur panas berbau sengit menyembur di ladang dan sawah masyarakat di dekat PLTP Mataloko dan Ulumbu di Flores, Nusa Tenggara Timur.

  • Atap rumah rusak hingga produktivitas pertanian menurun.

  • Masyarakat rentan menderita kerusakan pernapasan akibat menghirup udara terkontaminasi gas asam sulfida.

ANTONIUS Ano sangat yakin kemunculan lebih dari 60 kubangan lumpur panas di desanya, Radabata dan desa-desa tetangga di Kecamatan Golewa, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur, bukan fenomena alam. Menurut laki-laki 27 tahun itu kubangan yang menyeruak di tengah ladang milik penduduk itu adalah dampak pengeboran sumur-sumur eksplorasi panas bumi milik Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Mataloko. “Para orang tua kami berani bersumpah kubangan-kubangan itu tak pernah muncul sebelum adanya pembangkit,” tutur Antonius, Kamis, 25 November lalu.

PLTP Mataloko milik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) pertama kali mengebor sumur di Desa Ratogesa—2,5 kilometer timur laut Radabata—pada 1998. Sumur MTL-01 itu ditutup karena muncul semburan uap liar. Pada 2000, dua sumur baru, MT-1 dan MT-2, dibor. Lagi-lagi terjadi semburan liar, yakni di MT-1, yang akhirnya juga ditutup. PLN hendak memperluas PLTP Mataloko dengan membangun unit 2 dan 3 hingga berkapasitas 20 megawatt karena kajian Pusat Penelitian Sumber Daya Mineral Batubara dan Panas Bumi menemukan cadangan terduga di sana sebesar 63,5 megawatt.

Pada 2004, berdiri unit 2 dengan mengebor sumur MT-3 dan MT-4. Setahun berikutnya pengeboran sumur MT-5 dan MT-6 untuk unit 3. Ternyata hanya sumur MT-2, MT-3, MT-5, dan MT-6 yang dapat memproduksi listrik. “Pemerintah sendiri yang menyatakan kepada kami bahwa pengembangan ini dilakukan sebagai solusi karena kegagalan sebelumnya," ujar Antonius. Menurut dia, sejak 2013 PLTP Mataloko tak beroperasi karena gangguan turbin. Namun situs web Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi menyebutkan PLTP Mataloko masuk sistem kelistrikan Bajawa di Ngada sejak 2010.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagi Antonius, menghasilkan listrik atau tidak, yang pasti aktivitas pengeboran PLTP Mataloko di masa lalu telah menimbulkan dampak yang terasa sampai saat ini. Ia mencontohkan, sebuah kubangan berdiameter 5 meter yang terbentuk di dekat bekas sumur eksplorasi di Desa Ulubelu kini mengeluarkan bau menyengat yang berasal dari gas asam sulfida (H2S). “Ke mana pun arah angin bertiup, bau belerang itu menyeruak sengit,” tutur Antonius tentang kubangan lumpur yang berada sekitar 3 kilometer dari desanya itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bau busuk tak hanya mengganggu penciuman, tapi juga membuat penduduk rentan mengalami gangguan pernapasan, seperti infeksi saluran pernapasan akut, dan terkena penyakit kulit. Udara yang mengandung belerang juga merusak atap rumah penduduk. Menurut Antonius, terdapat lebih dari 1.500 rumah di sembilan desa dan dua kelurahan yang terkena dampak. "Atap seng rumah kami hanya bertahan dua tahun," ucapnya. Padahal sebelumnya atap seng bisa bertahan puluhan tahun. Kini warga harus mengganti atapnya dengan ijuk supaya lebih awet.

Penderitaan warga, menurut Antonius, tak berhenti di situ. Kubangan lumpur panas yang tiba-tiba muncul di ladang dan sawah mematikan sumber penghasilan mereka. Antonius menaksir, sekitar 200 hektare lahan perkebunan masyarakat tak dapat digunakan lagi. Padahal penghasilan utama masyarakat di Golewa bersumber dari lahan-lahan tersebut, yang sebelumnya ditanami kopi, jagung, kakao, cengkih, dan alpukat. Produktivitas lahan yang masih dapat dikelola warga pun ikut turun karena tanahnya perlahan mengering dan retak-retak.

Persoalan serupa dialami warga Desa Wewo dan 12 desa lain yang berada di sekitar PLTP Ulumbu di Kecamatan Satar Mese, Kabupaten Manggarai, yang berjarak sekitar 170 kilometer arah barat PLTP Mataloko. PLTP Ulumbu, yang juga milik PT PLN, beroperasi sejak 2011 dan memiliki empat unit pembangkit yang masing-masing berkapasitas 2,5 megawatt dengan sumber uap panas dari tiga sumur. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral akan mengembangkan PLTP Ulumbu hingga berkapasitas 40 megawatt.

Polisi beri policeline di lokasi gas beracun Sorik Marapi, Januari 2021. Ayat S Karokaro/Mongabay Indonesia

Menurut Ernest L. Teredi, peneliti dari Anamnesis Indonesia, warga desa di lanskap Poco Leok (terdiri atas Desa Lungar, Mocok, dan Golo Muntas) melihat pengalaman warga di sekitar PLTP Ulumbu sebagai pembelajaran. "Kami tegas menolak rencana eksplorasi di desa-desa kami sebagai pengembangan PLTP Ulumbu," katanya saat dihubungi, Rabu, 17 November lalu. Semenjak ada sumur-sumur pengeboran, Ernest menjelaskan, warga di Ulumbu menemukan kubangan-kubangan kecil yang kerap mengeluarkan air panas dan udara yang tercemar H2S.

Selain itu, Ernest menambahkan, hasil pertanian pun menurun. "Pada cengkih, kami terbiasa memiliki pola, jika panen tahun ini biasa saja, tahun depan akan meningkat. Tapi sekarang polanya berubah, tahun ini berbuah, dua tahun ke depan istirahat," tuturnya. Yang paling mencolok, Ernest melanjutkan, adalah mulai hilangnya tanaman dadap (Erythrina variegata) yang menjadi pagar hidup atau peneduh sebagai indikator kesuburan tanah.

Masyarakat di lanskap Poco Leok makin merasa ngeri ketika di awal tahun, tepatnya pada 25 Januari lalu, terjadi kebocoran pipa gas di PLTP Sorik Marapi di Desa Sibanggor Julu, Mandailing Natal, Sumatera Utara, yang menelan korban jiwa lima orang. "Risiko-risiko ini tidak pernah disebutkan dalam sosialisasi," ujar Ernest, yang mengaku mengikuti sosialisasi “Justice, Peace, and Integration of Creation” Keuskupan Ruteng di Kampung Tere dan Desa Lungar.

Menurut Kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang Melky Nahar, semua proyek penambangan panas bumi memiliki risiko besar. Sumber energi ini diekstrak dengan cara hydraulic fracturing (fracking) yang membutuhkan air dalam jumlah sangat besar sebagai pengangkut pasir dan berbagai bahan kimia untuk mengekstrak gas metana atau minyak. "Gempa-gempa minor, pencemaran air tanah maupun permukaan, ambles, dan longsor, merupakan dampak negatif aktivitas ini," kata Melky.

Menurut Melky, dalam proses ekstraksi itu, sumur-sumur yang dibor vertikal menghunjam bumi akan disuntik cairan fracking yang terdiri atas jutaan galon air, pasir, garam, dan bahan kimia beracun. "Ancaman ini tidak dapat diabaikan begitu saja," ujarnya. Adanya rekahan-rekahan pada batuan bawah tanah yang menyemburkan lumpur panas seperti di PLTP Mataloko adalah salah satu risiko aktivitas tersebut.

Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Dadan Kusdiana menyatakan kejadian semburan gas dan air panas itu sebagai proses alam, bukan akibat eksplorasi dan produksi panas bumi. Ihwal kejadian di Sibagor Julu, Dadan mengatakan Kementerian Energi telah melakukan investigasi. “Kejadian itu disebabkan oleh perencanaan yang tidak matang, pelanggaran prosedur, peralatan dan instalasi penunjang yang tak lengkap, lemahnya koordinasi antar-tim pelaksana, hingga kompetensi personel yang tak memadai,” ucap Dadan melalui surat, Kamis, 25 November lalu.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Dini Pramita

Dini Pramita

Dini Pramita saat ini adalah reporter investigasi. Fokus pada isu sosial, kemanusiaan, dan lingkungan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus