Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

gaya-hidup

Agar Tak Kehilangan Harapan

Tingkat depresi pada anak-anak dan remaja melonjak selama pandemi Covid-19. Pembatasan interaksi sosial salah satu pendorongnya. 

27 November 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Jumlah anak dan remaja yang mengalami depresi ringan hingga berat meningkat.

  • Minimnya interaksi sosial terutama dengan teman sebaya menjadi salah satu faktor pendorong depresi dan kecemasan.

  • Menyakiti diri sendiri sebagai bentuk pelampiasan stres.

SELAMA pandemi Covid-19, tingkat depresi tak hanya terjadi pada orang tua, tapi juga melanda anak-anak dan remaja. Data global menunjukkan 1 dari 5 remaja usia 12-24 tahun mengalami depresi. Di Indonesia, angkanya lebih tinggi: 1 dari 3 remaja mengalami stres.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seperti disaksikan Fransisca. Perempuan 39 tahun ini memiliki seorang anak perempuan 14 tahun, Calista. Pada pertengahan September 2020, dalam ibadah daring rutin bersama ibu dan seluruh keluarganya, Calista tiba-tiba pingsan. Fransisca membawanya ke rumah sakit. "Saat dia opname, saya baru ngeh, 'psikisnya, nih'," kata pada 19 November 2021.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia baru ingat sudah hampir sepekan Calista jarang ke luar kamar. Semula ia menduga putrinya tak mau diganggu karena sedang sibuk belajar untuk ujian tengah semester. "Saya tanya dia jawab, saya pikir baik-baik aja," tutur Fransisca. Namun ia keliru. 

Saat itu Calista merasa sangat kewalahan menghadapi kegiatan sekolah daring. Banyak materi yang tak ia kuasai, tapi penjelasan dari guru tak banyak membantu. Demi memahami pelajaran yang diberikan gurunya, sekaligus agar bisa mengerjakan pekerjaan rumah, ia mencari-cari sendiri penjelasan materi di Internet.

Aktivitas ini ia lakukan hingga larut malam, tak jarang hingga dinihari. Tekanan meningkat ketika gurunya terus-menerus mengingatkan bahwa waktu ujian tengah semester makin dekat. Namun, sekeras apa pun usahanya, ia masih terus merasa ketinggalan. Dalam kondisi tersebut, tak jarang Calista memukul kepalanya sendiri dengan keras, lalu menangis.

Warga Surabaya yang baru masuk sekolah menengah atas itu belum punya teman akrab yang bisa membantu. "Saya merasa sangat bodoh, tidak siap ikut ujian. Kalau nanti nilainya jelek pasti malu, dan merasa sendirian," ucapnya. Puncaknya, ia menjadi malas melakukan apa pun, termasuk ke luar kamar untuk makan, dan kerap menangis sewaktu pagi.

Setelah keluar dari rumah sakit, Calista berkonsultasi ke psikolog dengan ibunya. "Saya syok ketika dia dibilang depresi, sebuah hal yang tadinya saya pikir cuma untuk orang lemah dan tidak kenal Tuhan," ujar Fransisca.

Hal serupa menimpa Dea—bukan nama sebenarnya. Remaja 17 tahun itu mengalami depresi setelah kehilangan sahabatnya karena Covid-19, Februari lalu. Padahal mereka berjanji berjuang bersama masuk ke universitas negeri unggulan di Kota Depok, Jawa Barat. Beberapa bulan sebelumnya, ia juga kehilangan neneknya yang tinggal serumah.

Dea saat itu merasa kehilangan harapan. Belum lagi ia harus menghadapi konflik orang tuanya yang berujung perceraian setelah neneknya meninggal. Sebagai anak bungsu dari dua bersaudara, ia merasa sendirian. "Kayak semua yang memahami saya cepat pergi, ditambah waktu itu stres mau ujian sekolah dan tes masuk ke universitas," kata warga Jakarta Selatan tersebut, Senin, 15 November lalu. Awal Mei lalu, ia mendatangi klinik psikologi bersama kakaknya karena mulai ada dorongan untuk menyakiti diri sendiri.

Calista dan Dea tak sendiri. Dana Anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) mencatat, pandemi Covid-19 mempengaruhi kesehatan mental anak-anak dan remaja di seluruh dunia. Laporan UNICEF State of the World Children 2021 yang dirilis pada 5 Oktober lalu menunjukkan satu dari lima remaja berusia 15-24 tahun mengalami depresi dan keinginannya untuk beraktivitas rendah.

Di Indonesia, rasionya satu berbanding tiga. “Pembatasan mobilitas menyebabkan mereka harus menghabiskan waktu yang berharga terpisah dari keluarga, teman, sekolah, dan kesempatan bermain. Padahal semua hal ini penting bagi masa anak-anak,” ujar Direktur Eksekutif UNICEF Henrietta Fore.

Adapun menurut catatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dari survei terhadap 3.200 anak-anak dan remaja di seluruh Indonesia, sebanyak 13 persen di antaranya mengalami gejala depresi ringan hingga berat. Proporsi terbanyak ada pada kelompok usia 14-18 tahun.

Psikolog keluarga dan anak Astrid Wen mengamini temuan bahwa pandemi mempengaruhi kesehatan mental anak-anak dan remaja. Indikatornya antara lain meningkatnya jumlah mereka yang berkonsultasi di biro psikologinya sepanjang masa pandemi. Menurut dia, terbatasnya sosialisasi anak-anak dan remaja dengan teman sebaya selama masa pandemi membuat mereka rentan merasa sangat kesepian, yang bisa menjadi salah satu faktor penyebab depresi.

Tak jarang mereka memilih jalan melepas stres yang keliru seperti Calista dan Dea. Bahkan, dalam kasus depresi berat, muncul pikiran untuk bunuh diri. “Mereka ingin mengurangi stres tapi tidak tahu caranya, belum mengenali dengan baik stresnya, dan tidak tahu cara mengkomunikasikannya dengan orang tua,” tuturnya.

Hotline layanan konsultasi kesehatan mental Kementerian Kesehatan 021-500-454, 119 ekstensi 8, atau nomor Love Inside Suicide Awareness 08113855472.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus