Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sejumlah filatelis muda mengenal prangko dari orang tua mereka.
Pos Indonesia berupaya terus melakukan regenerasi filatelis dengan menyelenggarakan lomba menulis surat.
Perusahaan pelat merah itu mencetak sejumlah prangko edisi khusus, seperti edisi MotoGP Mandalika.
MAYONG Bibakkati Kalua sempat merasa aneh dengan hobinya mengoleksi prangko atau filateli. Sebab, jarang ada teman sebayanya yang memiliki hobi seperti dia. Ia menggemari hobi mengumpulkan prangko karena menarik dan memberi banyak manfaat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Melalui filateli, pria 21 tahun asal Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, itu bisa mempelajari sejarah dan bepergian ke berbagai kota, seperti Yogyakarta, Solo, Surabaya, Bandung, dan Jakarta. Ia bahkan berkesempatan pergi ke Malaysia untuk mengikuti perlombaan. “Selain itu, saya bisa mendapat banyak teman serta belajar bahasa asing, terutama Inggris,” tuturnya kepada Gangsar Parikesit dari Tempo, Selasa, 5 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mayong mulai tertarik pada prangko saat berusia 3 tahun. Kala itu ibunya menunjukkan sejumlah prangko bergambar karakter kartun Walt Disney dan ia tertarik pada prangko bergambar Mickey Mouse. “Awalnya hanya tertarik pada gambarnya,” kata mahasiswa Program Studi Tata Kelola Seni Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia Yogyakarta itu.
Seiring dengan bertambahnya usia, Mayong makin tertarik pada prangko. Ketika berusia 5 tahun, ia mencoba membuat koleksi prangko sendiri. Awalnya ia mengumpulkan prangko bergambar karakter kartun Walt Disney, seperti Mickey Mouse, Donald Duck, dan Goofy. Ada juga prangko bergambar flora dan fauna. Namun koleksi prangkonya masih acak.
Sebagian prangko tersebut adalah pemberian ibunya, yang juga seorang filatelis. Sebagian lain ia peroleh dengan bertukar prangko hingga saling berkirim surat dengan sahabat pena. “Itu juga sahabat penanya ibu,” ujarnya.
Beberapa contoh koleksi "Netherlands Indies Airmail 1927-1942" milik Mayong Bibakkati Kalua/Dokumentasi Pribadi
Mayong mulai memahami filateli saat berusia 6 tahun. Sejak saat itu, koleksi prangkonya terarah dan bertema. Ia pun mulai mengumpulkan prangko bergambar burung dan menamai album koleksinya “Rahasia Burung”. Saat itu koleksi prangko bergambar burung baru satu frame atau 16 halaman kertas A4.
Koleksinya terus bertambah dan berganti nama beberapa kali. Saat Mayong berusia 11 tahun, koleksi prangko bergambar burung itu berubah nama menjadi “Through the Rainbow Color of Feather”. Kini koleksi prangkonya itu bernama “What I Know About Birds: My School Science Project” sebanyak empat frame.
Mayong kemudian meluaskan koleksinya ke prangko dan amplop. Ia berburu amplop dan prangko bertema “Netherlands Indies Airmail 1927-1942”. Koleksi amplop dan prangko bertema pos udara zaman Hindia Belanda itu kini sebanyak empat frame.
Tak mudah bagi Mayong untuk mendapatkan prangko dan amplop tersebut. Sebagian koleksi benda pos bertema “Netherlands Indies Airmail” berasal dari Belanda dan Jerman. Sedangkan koleksi prangko bertema burung berasal dari Indonesia, Belanda, Jerman, Prancis, Inggris, Madagaskar, dan Sierra Leone. “Ada yang didapat dari bertukar, beli, hingga mengikuti lelang,” tuturnya.
Mayong harus menyisihkan uang jajannya demi filateli, tapi dia enggan menyebutkan berapa uang yang telah ia habiskan untuk berburu prangko dan amplop.
Beragam medali telah Mayong dapatkan dari sejumlah perlombaan. Ia memperoleh medali large vermeil dalam World Stamp Show di New York, Amerika Serikat, pada 2016; vermeil dalam 32nd Asian International Stamp Exhibition di Thailand pada 2016; dan vermeil dalam Macao 35th Asian International Stamp Exhibition pada 2018. Dalam filateli, vermeil adalah medali di bawah emas dan di atas perak.
Mayong berharap filateli tak mati tergilas perkembangan teknologi informasi. Apalagi kini surat-menyurat dengan prangko sudah sangat jarang dilakukan. Filatelis pun makin jarang ditemukan karena kurangnya regenerasi.
Salah satu generasi baru filatelis adalah Muhammad Azka Anindyo. Siswa kelas IX D Sekolah Menengah Pertama Al-Izhar, Pondok Labu, Jakarta Selatan, itu mengenal prangko sejak duduk di kelas II sekolah dasar dari orang tuanya yang merupakan filatelis. Minatnya pada prangko makin tumbuh saat ia bergabung dengan klub filateli di sekolah. Sejak saat itu, ia gemar mengumpulkan prangko.
Azka mengumpulkan prangko yang kondisinya masih bagus atau belum sobek. Meski prangko tersebut bekas, selama belum rusak, ia akan mengoleksinya. Bagi dia, prangko bekas berstempel justru lebih unik dan autentik sebagai benda pos karena nilai sejarahnya bertambah.
Koleksi prangko remaja pria 15 tahun itu antara lain bertema kendaraan, astronomi, flora dan fauna, serta Harry Potter. “Saya suka serialnya (Harry Potter) dan menemukan prangkonya yang dibuat PT Pos Indonesia terbitan 2007,” ujarnya.
Azka berburu prangko dengan beragam cara, di antaranya membeli dari Pos Indonesia, pameran filateli, dan kolektor lain. Ia juga melakukan korespondensi saat berada di luar kota, seperti Bandung; Yogyakarta; Los Angeles, Amerika Serikat; Montreal, Kanada; dan Paris, Prancis. Surat-surat itu ia kirim ke rumah keluarga atau kerabatnya. Tak ada anggaran khusus untuk hobinya itu.
Ia pernah mengikuti beberapa lomba filateli tingkat nasional dan internasional. Prangko koleksinya menyabet beragam penghargaan, seperti medali vermeil dalam Four Nations Stamp Exhibition di Thailand pada 2017. Dua tahun kemudian, koleksi prangkonya yang bertema “My Journey from Remote Area to Big City” mendapat medali large silver dalam World Stamp Exhibition di Wuhan, Cina.
Muhammad Azka Anindyo di rumahnya di Jakarta, 8 April 2022/Dok. Pribadi
Hal serupa dialami Gita Noviandi, yang tertarik pada prangko sejak berusia 3 tahun. Ayahnya, yang saat itu bertugas di Karawang, Jawa Barat, kerap berkirim surat kepada keluarganya yang tinggal di Kota Banjar, Jawa Barat. Dari amplop-amplop itulah Gita kecil mengambil dan menyimpan prangkonya.
Gita punya koleksi benda filateli favorit yang sering ia ikutkan lomba, yaitu sampul surat, prangko, dan cap bergambar pendiri badan pandu dunia, Lord Baden-Powell. Di antara koleksinya, ada yang bertarikh 1894, 1909, juga 1960-an. Koleksi berjudul “One World, One Promise” tersebut pernah menyabet medali emas dalam suatu perlombaan di Singapura pada 2016.
Gita mulai berdagang prangko pada 1990. Dua tahun kemudian, ia masuk organisasi filatelis. Dari organisasi tersebut, alumnus Politeknik Institut Teknologi Bandung pada 2000 ini mengetahui banyak prangko berharga untuk diburu.
Gita pernah mendapat berkah besar ketika menjual prangko pada 2003. Saat itu ada keluarga yang memintanya menjual koleksi prangko lengkap dari berbagai negara. Ia meraup untung Rp 100 juta dari penjualan prangko tersebut. “Uang itu jadi modal untuk diputar lagi,” tuturnya kepada Anwar Siswadi dari Tempo.
Pria 46 tahun itu juga pernah membeli sebuah album prangko 12 halaman seharga Rp 3 juta. Dari album itu, ia mendapatkan 58 edisi prangko untuk uji cetak atau proof zaman Hindia Belanda pada 1930-an. Prangko-prangko itu kemudian ia jual seharga Rp 520 juta kepada kolektor lain.
Dari hobinya itu, Gita bisa membeli rumah pada 2004 di Bandung. Lima tahun kemudian, ia membeli rumah keduanya di kota yang sama.
Gita tak melewatkan acara “100 Tahun Perkumpulan Filatelis Indonesia” yang digelar di Museum Kota Bandung pada 29-31 Maret lalu. Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Perkumpulan Filatelis Indonesia (PFI) itu berburu prangko dan benda filateli lain, seperti kartu pos dan amplop, dalam acara tersebut. Ia bahkan mencari benda kuno seperti uang kertas, koin perak atau emas, dokumen, peta, buku, komik, kain batik, dan barang antik lain yang berusia lebih dari 72 tahun.
Gita hanya mencari prangko dan benda pos lain dalam kondisi tertentu. Misalnya prangko dari dalam dan luar negeri yang belum dicap oleh kantor pos, tidak cacat, dan dalam satu seri lengkap. Namun ia tak menolak jika ada kartu pos atau amplop yang masih berprangko dengan tanda cap kirim atau terima.
Gita mencari benda filateli yang berasal dari periode 1783-1942 atau bertema “VOC Letter and Netherlands East Indies”. Ia juga mencari benda pos dari periode lain, seperti masa penjajahan Jepang pada 1942-1945 dan revolusi Indonesia pada 1945-1949.
Manajer Konsinyasi dan Filateli PT Pos Indonesia Ria Marantika menuturkan, menerbitkan prangko merupakan kewenangan Kementerian Komunikasi dan Informatika. Adapun pencetakan prangko ditangani oleh Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia. Pos Indonesia bertugas mengedarkan atau menjual prangko tersebut.
Ria menyebutkan tren berkomunikasi melalui surat-menyurat sudah lama ditinggalkan seiring dengan berkembangnya teknologi informasi. Kini setiap tahun ada 10-14 kali penerbitan prangko. “Setiap seri jumlah cetaknya akan berbeda-beda dan tergantung kebutuhan pemrangkoan (berkirim surat),” katanya.
Gita Noviandi di Uni Emirat Arab, 2018/facebook.com/Gita Noviandi
Ria menjelaskan, prangko awalnya dibuat sebagai alat pembayaran untuk mengirim surat. Fungsi tersebut masih dijadikan dasar produksi prangko hingga kini. Di sisi lain, prangko dapat dibuat untuk mendukung hobi para filatelis.
Pos Indonesia juga berupaya terus meregenerasi filatelis, antara lain dengan menyelenggarakan lomba menulis surat pada tahun ini. Salah satu syarat mengikuti lomba ini ialah mengirim surat dengan prangko. Pos Indonesia juga memiliki kegiatan Filateli Goes to School. “Kegiatan ini dimaksudkan untuk memperkenalkan kembali prangko kepada anak-anak,” ujar Ria.
Executive General Manager Kantor Cabang Utama PT Pos Indonesia Bandung Dody Haryanto menyebutkan ada sejumlah prangko edisi khusus yang dicetak. Pada tahun ini, misalnya, perusahaan pelat merah itu meluncurkan prangko edisi khusus Imlek, letusan Gunung Semeru, dan MotoGP Mandalika. Para filatelis memburu prangko tersebut untuk dikoleksi. Sebagian filatelis dalam negeri menggunakan prangko itu untuk berkorespondensi dengan filatelis luar negeri.
Dody memperkirakan harga sampul hari pertama MotoGP Mandalika bisa naik dua-tiga kali lipat pada masa depan. Sampul hari pertama ialah amplop yang bagian depannya memuat gambar atau tema sesuai dengan prangko yang diterbitkan. Pada sampul tersebut juga terdapat prangko yang telah dibubuhi cap. Sampul hari pertama itu hanya dicetak 1.500 eksemplar dan dijual seharga Rp 13 ribu. “Dua puluh-tiga puluh tahun lagi harganya diprediksi tinggi karena acara balap motor itu berskala dunia,” ucapnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo