Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dokumenter Atas Nama Daun menyuguhkan perspektif hukum soal ganja di Indonesia
Diarahkan sutradara Mahatma Putra dengan narator Tio Pakusadewo
Diperkuat narasi dari Fidelis Arie dan Angki Purbandono
SUARA Fidelis Arie Sudewarto bergetar saat mengisahkan lagi kenangan akan mendiang istrinya, Yeni Riawati. Kelebatan foto Yeni yang dirangkai menjadi video melatari narasi Fidelis. Pada 2017, cerita pilu pasangan ini membuat geger media massa. Fidelis yang seorang pegawai negeri sipil di Pemerintah Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, diringkus Badan Narkotika Nasional karena menanam 39 pohon ganja di rumahnya. Getir. Sebab, mariyuana itu sejatinya digunakan Fidelis untuk mengobati sang istri yang menderita syringomyelia—tumbuhnya kista berisi cairan di sumsum tulang belakang. Gara-gara penyakit itu, Yeni tak bisa beraktivitas normal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berbagai jalan pengobatan sudah Fidelis berikan untuk Yeni. Namun hasilnya nihil. Dari literatur ia lalu mendapat informasi soal cannabinoid, kandungan yang hanya ada pada ganja. “Dengan kondisi istri yang memburuk, ya udah saya memutuskan untuk memakai ganja,” ujarnya. Rupanya ekstrak tanaman bernama Latin Cannabis ini ampuh untuk mengobati Yeni. Perlahan kondisinya membaik. Namun hal itu tak bertahan lama karena pada 2 Agustus 2017 hakim Pengadilan Negeri Sanggau menghukum Fidelis delapan bulan bui. Ayah dua anak itu dianggap bersalah karena memiliki ganja. Sekitar sebulan setelahnya, Yeni pun meninggal dunia. “Walau saya sudah bilang ke penyidik kalau pemakaian ganja itu untuk obat, mereka mana peduli?”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bab IV Atas Nama Cinta dalam Atas Nama Daun. Youtube Anatman Picture
Kisah Fidelis menjadi bagian dari fragmen “Atas Nama Cinta” dalam film dokumenter Atas Nama Daun. Film arahan sutradara Mahatma Putra itu diproduksi Anatman Pictures. Dirilis pada Kamis, 24 Maret lalu, Atas Nama Daun bisa ditonton bebas di kanal YouTube. Film ini merajut lima babak, yakni “Atas Nama Riset”, “Atas Nama Daun”, “Atas Nama Hukum”, “Atas Nama Cinta”, dan “Atas Nama Hak Asasi Manusia”. Serangkaian bagian itu bermaksud menyuguhkan perspektif berbeda ihwal ganja, lewat proses wawancara dengan narasumber, penggalan video, dan berita lawas.
Menurut Putra yang pada 2020 melahirkan dokumenter Diam & Dengarkan, semula suaranyalah yang dipakai untuk menyampaikan narasi di film sepanjang lebih dari satu jam ini. “Tapi enggak jadi karena suara saya enggak enak didengar,” tuturnya lewat telepon, Kamis, 7 April lalu. Ia lalu mendata sejumlah aktivis dan tokoh publik yang selama ini lantang dalam advokasi ganja. Terlintaslah nama Tio Pakusadewo, aktor yang dua kali mendekam di penjara lantaran kedapatan mengonsumsi cimeng. Putra menyebutkan Tio dengan sukacita menerima ajakannya, bahkan tanpa bayaran.
Bab V, Atas Nama Hak dalam Atas Nama Daun produksi Anatman Picture. Youtube Anatman Pictures
Materi naskah dibacakan Tio dengan santai, terkadang jenaka. Dalam babak “Atas Nama Riset”, Tio menjelaskan perihal para pemakai ganja di Indonesia yang diperlakukan bak kriminal. Tak sedikit seniman negeri ini yang dikriminalisasi. Mereka di antaranya musikus kawakan Iwa K, Anji, Ardhito Pramono, aktor Jefri Nichol, sutradara Robby Ertanto, pelukis Tommy Tanggara, dan, “Uhuk-uhuk..” Tio lalu terbatuk. “Saya sendiri.”
Dokumenter yang mengusung isu ganja sudah banyak dirilis sebelumnya. Berdekatan waktunya, film dokumenter bertajuk Musa juga diluncurkan di YouTube. Berdurasi 23 menit, film yang digarap Alexander Sinaga bersama Yayasan Sativa Nusantara itu mengangkat isu ganja dari perspektif kesehatan. Judul itu diambil dari nama anak penderita cerebral palsy atau lumpuh otak, Musa Ibnu Hassan Pedersen, yang meninggal pada akhir 2020. Putra dari Dwi Pertiwi itu sempat menjalani pengobatan dengan ganja di Australia. Namun sekembalinya ke Indonesia, Musa tak bisa melanjutkan pengobatan. Ini karena di Indonesia ganja tergolong narkotik golongan I yang hanya bisa dipakai untuk kepentingan riset, tapi tidak untuk kesehatan.
Suasana nonton bareng dan peluncuruan film Atas Nama Daun, di Jakarta, 24 MAret 2022. Axel Theophilus
Grass is Greener (2019) adalah salah satu dokumenter yang punya perspektif menarik tentang sejarah legalisasi ganja. Film arahan legenda hip-hop Fab Five Freddy ini memberi pandangan bahwa kriminalisasi ganja di Amerika tak bisa dilepaskan dari rasisme dan musik. Freddy mengaitkannya dengan musikus jazz di Amerika yang dulu menjadi semacam target awal Undang-Undang Narkotika. Adapun film lain seperti Murder Mountain memberi gambaran ihwal industri ganja di California yang dikaitkan dengan banyaknya orang hilang di kawasan pegunungan Humboldt. Dari kawasan Asia Tenggara, ada Highland: Thailand’s Marijuana Awakening (2017) yang membahas legalitas ganja di Thailand.
•••
ATAS Nama Daun berangkat dari inisiatif Putra untuk memvisualisasi penelitian sahabatnya sejak di sekolah menengah pertama, Aristo Pangaribuan. Aristo, dosen di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, sedang menyusun disertasinya di University of Seattle, Amerika Serikat. Menurut Aristo, materi risetnya bisa jadi tak menyentuh banyak kalangan bila hanya disampaikan dalam bentuk karya ilmiah.
Berbekal penelitian Aristo, pada 2019 Putra menyusun pembabakan dokumenternya. Ia mengikuti wawancara Aristo dengan sejumlah narasumber, seperti seniman Angki Purbandono; Ketua Lingkar Ganja Nusantara Dhira Narayana; Ketua Yayasan Sativa Nusantara Peter Dantovski; mantan Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Badan Narkotika Nasional, Sulistriandiatmoko; Fidelis Arie Sudewarto; dan Dwi Pertiwi. Nama terakhir adalah salah satu penggugat revisi Undang-undang Narkotika di Mahkamah Konstitusi. Bersama dua ibu lain, Dwi memohon legalitas ganja untuk pengobatan.
Atas Nama Daun dimulai dengaN penjabaran Aristo tentang legalnya ganja di 11 negara bagian Amerika Serikat, yang disertai pemandangan papan iklan dan toko-toko ganja di Seattle. Namun, di sisi lain, riset ganja di Amerika pun belum konklusif dan masih menjadi perdebatan hingga kini. Problematika ganja dari kacamata hukum ini dilanjutkan dengan paparan dari narasumber “legenda” yang pernah bersentuhan dengan ganja.
Angki, misalnya, malah memperpanjang masa tahanannya di penjara karena hendak menyelesaikan proyek Program Seni Rutan. Pada 2013 Angki ditahan di Lembaga Permasyarakatan Narkotika Kelas IIA Yogyakarta. Di dalam penjara Angki menggagas gerakan seni oleh para narapidana, produksi suvenir, dan lokakarya. Lewat gerakan itu ia ingin membuktikan bahwa ganja bukan stimulus yang membuatnya kreatif.
Sayangnya, film ini tak menyajikan riset terkini soal Cannabis. Padahal itu adalah hal fundamental yang menjadi jurang dalam kontroversi pemanfaatan ganja untuk medis di Indonesia. Riset teranyar yang dimuat di Journal of Nature Products menyatakan ada senyawa dalam ganja yang dapat mencegah masuknya virus Covid-19 ke dalam sel manusia. Dalam studi itu disebutkan, dua senyawa yang biasanya ditemukan di rami, yakni asam cannabigerolic (CBGA) dan cannabidiolic (CBDA), dapat mencegah SARS-CoV-2. Adapun di Indonesia penelitian soak kaitan ganja dengan kesehatan belum dilakukan. Padahal lampu hijau risetnya sudah ada, yaitu Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 118/2015.
Anatman Pictures
Atas Nama Daun
Sutradara: Mahatma Putra
Produksi: Anatman Pictures
Narator: Tio Pakusadewo
Tayang: 24 Maret 2022 di YouTube
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo