Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Band Kami, Gaya Kami

Anak-anak muda ini membentuk band bukan untuk mencari uang. Mereka sudah kaya. Aliran musiknya pun sesuai dengan selera mereka, bukan ditentukan pasar.

24 Mei 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EMPAT pemuda keren berkumpul di kantor sebuah manajemen musik di kawasan elite Pondok Indah, Jakarta Selatan, Senin pekan lalu. Mereka membicarakan persiapan album kedua untuk band mereka, Konspirasi. Ini memang bukan grup musik arus utama Indonesia saat ini, sehingga namanya tidak berdering di telinga seperti ST 12 atau D’Masiv. Konspirasi adalah grup band grunge—yang antara lain terilhami rock alternatif, punk, dan heavy metal—aliran yang muncul di Seattle, Amerika Serikat, tiga dekade silam.

Jangan bayangkan mereka berpenampilan sangar, kucel, dekil, kerempeng, dan lagi kere—yang selama ini menjadi stereotipe band genre. Mereka berkulit bersih, tubuh berisi, dan tak lepas dari gadget pintar. Ketika ditemui Tempo, Chandra Johan, Edwin Marshal, Marcell Siahaan, dan Romy Sophiaan tampak santai dengan setelan kasual. Apa boleh buat, ”Ada yang mengatakan penampilan kami kurang grunge. Ada juga yang mengecap kami grunge tajir,” kata Edwin, pemain gitar.

Tak salah bila ada yang mengecap tajir. Semua anggota sudah memiliki penghasilan masing-masing, dan isi kantong mereka juga sudah tebal. Konspirasi hanya untuk eksistensi. Marcell sudah punya penghasilan di genre musik pop. Pria bernama lengkap Marcellius Kirana Hamonangan Siahaan ini sudah malang-melintang menjadi vokalis lagu-lagu manis. Namun, di Konspirasi, Marcell berubah sangar. Dia menggebuk drum.

Personel lainnya, Edwin Marshal, juga lebih dulu terkenal sebagai gitaris Cokelat. Grup musik ini adalah salah satu sumber penghasilannya. Selain itu, pria 35 tahun ini menjadi produser sekaligus pemilik manajemen Sound Entertainment, yang menaungi sejumlah grup musik di genre pop. ”Di Konspirasi, saya ingin menyalurkan minat dan mencapai kepuasan bermusik. Jika kemudian populer dan menghasilkan uang, juga sangat menyenangkan,” katanya.

Sementara Marcell dan Edwin sudah populer di dunia pop, dan sudah menjadi selebritas, lain halnya dengan Chandra Johan. Vokalis yang akrab disapa Che ini sudah mapan lewat bisnis distro. Ia juga menekuni bisnis media. Che adalah pendiri sekaligus Chief Editor Jeune, majalah fashion dan musik yang menjadi referensi para peminat pakaian distro dan pencinta musik grunge, terutama di Bandung. Che juga aktif menuliskan pikirannya di sejumlah media tentang perkembangan musik, antara lain di majalah Rolling Stones.

Adapun Romy Sophiaan, putra Sophan Sophiaan almarhum, sebelum bergabung dengan Konspirasi sudah memiliki band sendiri, The Acid, yang menyanyikan lagu-lagu band legendaris The Rolling Stones. ”Untuk ngamen,” kata Romy. Pemain bas ini mengaku tertarik bergabung dengan Konspirasi karena sejak dulu sudah gandrung pada musik grunge. ”Begitu ditawari, saya tidak pikir-pikir lagi. Sesuai dengan passion saya,” kata lulusan program Diploma TV and Film Production KVB Visual College Sydney ini.

Kaya, berpendidikan, punya gagasan kuat dalam musik. Inilah gambaran para personel Konspirasi. Marcell mengatakan pembentukan grup ini merupakan upaya memberikan alternatif bagi masyarakat yang selama ini disuguhi musik mainstream. ”Kami tak ingin dan tak mungkin menggeser arus utama itu, tapi kami ingin meletakkan grunge sebagai pilihan,” kata alumnus Fakultas Hukum Universitas Parahyangan ini. Jauh sebelum populer di dunia pop, hati Marcell memang sudah tertambat pada grunge.

Bagi Edwin, Konspirasi merupakan pemenuhan hasrat kembali ke dunia lamanya, membuat musik yang lebih keras ketimbang yang ia lakukan selama ini bersama Cokelat. ”Konspirasi berawal dari keinginan saya membuat musik dengan meminimalkan rem kemapanan,” katanya. Menurut Edwin, grup musik ini merupakan proyek sampingan, tapi digarap serius. ”Personelnya adalah orang-orang yang berpengalaman dan memiliki referensi musik grunge,” ujarnya.

Nah, karena grup musik tersebut dibentuk bukan untuk mencari duit, dan menggunakan label independen (indie), para personelnya membiayai sendiri seluruh proses kreatif, termasuk pembuatan album. Hal itu tentu tak jadi masalah. ”Untuk berlatih, kami bergantian keluar uang,” kata Marcell. Dengan modal sendiri, dan label indie, praktis tak ada kekangan kreativitas. ”Tentu kami tidak alergi pada major label, asalkan mereka tidak mendikte,” katanya.

Muncullah lagu-lagu yang berisi kritik sosial, misalnya yang berjudul Koruptor dan Arogan. Menurut Chandra, penciptaan lagu dan lirik merupakan hasil diskusi personel band. ”Awalnya kami bicara santai, tapi kemudian serius dan membahas masalah politik dan sosial,” kata Chandra, penggemar buku filsafat. Selain bermusik dengan bebas, Chandra ingin menjadikan band-nya sarana pembelajaran lewat lirik yang berisi pesan moral. ”Pesan moral biasanya universal dan tak cepat hilang,” katanya.

Kelompok musik yang personelnya kaya, sehingga bisa menentukan sendiri gaya bermusiknya, memang sudah menjadi fenomena. Label indie pun sudah tidak identik lagi dengan band pemberontak yang berkantong tipis dan berpenampilan kumal. Contoh lain adalah Tika and The Dissident, yang dibentuk Kartika Jahja. Band ini sukses dengan album The Headless Songstress tahun lalu. Sehari-hari, perempuan yang dipanggil Tika ini mengelola kedai kopi miliknya di kawasan Kemang, Jakarta Selatan. ”Salah satu pekerjaan saya menjaga tempat ini,” ujar Tika, yang sempat kuliah di Art Institute of Seattle, Amerika Serikat.

Kafe itu memang hanya salah satu kesibukan Tika. Ia juga memiliki usaha kerajinan dan desain grafis. ”Saya juga membuat film dan membintanginya,” katanya. Filmnya, At the Very Bottom of Everything, mendapat penghargaan dari International Film Festival Rotterdam, Februari lalu. Walhasil, dengan segala pekerjaan itu, Tika memang tidak ngebet mencari uang lewat musiknya, yang menggunakan label indie. ”Asalkan tidak tekor dan bisa membawa sedikit hasil,” katanya.

Tika mengatakan, ia dan personel grupnya, yaitu Susan Agiwitanto (bas) dan Iga Massardi (gitar), memang sepakat menjadikan Tika and The Dissident—band beraliran jazz dan grunge—sebagai tempat menumpahkan minat musik dan bebas dari dikte yang bisa memangkas ide dan kreativitas. Karena itu, tak hanya Tika yang punya mata pencarian lain, tapi juga dua rekannya. ”Ada yang jualan online, bisnis percetakan, dan ada juga yang menjadi anggota band lain,” kata perempuan 29 tahun ini.

Sedikit berbeda adalah kisah Vierra, band beranggotakan tiga remaja putra dan satu perempuan. Mereka anak-anak orang berada, juga memiliki dasar akademis bermusik, karena memang mengikuti kursus musik serius. Gaya mereka khas. Yang laki-laki dengan potongan rambut gondrong bermodel tokoh manga, yang perempuan bergaya anak sekolahan yang manja. Dan mereka menamai aliran musiknya powerpop dan disney. Mereka tetap beredar di arus utama—album Vierra direkam perusahaan major label. Namun, karena penampilan dan musik mereka pas dengan selera pasar remaja, kreativitas bermusik Vierra pun tetap independen tanpa intervensi. ”Tema cinta dan pergaulan remaja, sesuai dengan pendengar kami,” kata Kevin Aprillio, mahasiswa Universitas Pelita Harapan.

Kevin, putra pasangan konduktor Adhie M.S. dan biduan Memes, awalnya membentuk grup musik Vierra untuk menyalurkan bakat musik. ”Sejak kecil saya akrab dengan musik,” katanya. Tapi, dalam perjalanannya, Vierra memiliki banyak penggemar dan menjadi band remaja paling sukses. Menurut Kevin, konsep kehidupan remaja memang ia garap serius, demikian pula dengan penampilan dan fashion para personelnya. ”Bukan tidak sengaja semua personel Vierra berpenampilan mirip,” katanya.

Meski berada pada jalur dan genre musik yang berbeda, Konspirasi, Tika and The Dissident, dan Vierra sama-sama muncul dari minat dan konsep untuk membentuk grup musik tanpa didikte pasar. Latar belakang dan gaya hidup para personel ketiga band ini terasa kuat mewarnai musik, lirik lagu, dan penampilan panggung mereka. Ya, ini musik mereka, gaya mereka. Jika pas di telinga Anda, silakan menikmati.

Adek Media

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus