DI Desa Padang Belimbing, Kenagarian Koto Sani, Kecamatan X
Koto, Singkarak, Solok (Sum-Bar) 80 km dari Kota Padang,
tinggallah seorang wanita yang bernama Bangun. Ia dikenal orang
sebagai penderita penyakit aneh. Ke dukun sudah dia coba, tapi
tak sembuh-sembuh juga. Sedangkan dr. Nelly Rasyidin, Kepala
Puskesmas di desa itu bingung melihat penyakit yang diderita
wanita berusia 52 tahun itu. "Penyakit seperti ini masih sesuatu
yang aneh," katanya tak habis pikir.
Sekujur tubuh Bangun ditaburi benjolan-benjolan. Mulai dari
sebesar kelereng sampai segede telur ayam. Tepat di bagian
wajahnya benjolan itu nampak agak lembut. Begitu juga yang
terdapat di bagian tangannya. Khusus di tangan kanan, benjolan
itu membesar secara menyolok. Hingga Ibu Bangun seperti membawa
beban sekarung kecil lemak yang terburai dan menggantung di
pergelangan tangannya.
Sekalipun dia tampak seram dan menderita karena penyakit itu,
Bangun tetap tak terganggu sebagai wanita desa yang rajin. Saban
hari ia kelihatan mencangkul dan membersihkan sawahnya. Cuma
akhir-akhir ini penyakit aneh itu jadi terangsang. Gumpalan yang
melekat di tangan kanannya itu mulai bernanah, karena sering
terjilat api sewaktu memasak. "Terasa pedih kalau turun ke
sawah," ujar Bangun kepada wartawan TEMPO yang datang
menemuinya.
Rupanya benih penyakit aneh itu sudah dibawanya sejak lahir.
Menurut pamannya, M. Said Malin Batuah, begitu lahir, pada
bagian bawah telapak tangan dekat kelingking keponakannya itu,
ditemukan kutil kecil. Waktu itu tak ada yang curiga. "Tapi
sepuluh tahun kemudian kutil yang sebesar biji jagung itu terus
membesar sampai sebesar telor bebek. Kami mulai risau," cerita
Malin Batuah.
Dalam usia 10 tahun si Bangun dibawa ke rumahsakit umum di
Padang. Bangun masih ingat betul ketika itu dokter Belanda
memberikan obat-obatan yang rupanya "seperti tahi kambing".
Benjolan itu tak kempes-kempes juga.
Sebelum Bangun dinikahkan dia diboyong lagi ke Padang. Dokter
ketika itu memutuskan supaya tangan kanan Bangun dipotong sampai
ke siku. Tapi keluarga yang datang dari Singkarak itu keberatan.
"Karena tak ada biaya. Maklumlah aman penjajahan," cerita M.
Said Malin Batuah.
Para Pejabat
Tak berapa lama setelah kejadian itu Bangun dibawa pula pada
seorang dokter. Dokter itu menyebutkan penyakit Bangun itu bisa
diatasi dengan suntikan. Tapi rencana pengobatan itu gagal.
Lagi-lagi soal biaya. Bayarannya ketika itu sama dengan 200
liter beras. Keluarga petani itu hanya mampu membayar ongkos
sebesar itu, kalau menjual sawah. Tapi kekayaan satu-satunya
buat orang desa lebih penting dipertahankan daripada tumor yang
merongrong Bangun.
Setelah Bangun kawin penyakitnya semakin mengganas. Cinta
suaminya jadi mundur karena benjolan-benjolan yang sudah merayap
ke mana-mana. Bangun ditinggalkan suaminya. Beberapa lama
setelah bercerai ternyata ada orang lain yang terpikat. Bangun
kawin untuk kedua kalinya. Tapi sejak 1967 ia menjanda dengan
empat anak. Tiga meninggal. Yang seorang mengembara di Jakarta.
Di Desa Padang Belimbing, Singkarak, Bangun sering kelihatan
sembahyang berjamaah di masjid. Ia juga gampang ditemui di
pasar. Dengan tabah ia membiayai hidupnya dengan berjualan telur
bebek, hasil piaraannya. Ia mengaku sering berjumpa dengan para
pejabat, juga dokter ketika sedang berdagang. Tapi belum seorang
pun yang bermurah hati untuk meringankan penderitaannya. "Kalau
saja ada orang yang mau menolong, saya bersedia dibawa ke mana
saja. Asalkan bisa sembuh," pintanya.
Nelly Rasyidin kepala Puskesmas setempat juga pernah menjumpai
Bangun di pasar. Dia tak bisa berbuat apa-apa karena peralatan
terbatas di Puskesmas. Dulu Bangun pernah dianjurkan berobat ke
Padang, tapi tak jadi karena tak ada biaya. " Kami di sini hanya
bisa menganjurkan," ucap dr. Nelly.
Tentang penyakit wanita itu sendiri, dr. Nelly belum blsa
menyebutkannya. "Diperlukan pemeriksaan secara patologis,"
katanya. Tapi orang orang kampung tak terlalu sulit untuk
mencari nama buat penderitaan ibu kita itu. Mereka
menyebutkannya penyakit "ketumbuhan".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini