Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Bangun dan benjolannya

Bangun, penderita penyakit aneh yang dibawanya sejak lahir. sekujur tubuhnya ditaburi benjolan. sudah pernah diobati, tapi pengobatan itu gagal. (ksh)

11 April 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Desa Padang Belimbing, Kenagarian Koto Sani, Kecamatan X Koto, Singkarak, Solok (Sum-Bar) 80 km dari Kota Padang, tinggallah seorang wanita yang bernama Bangun. Ia dikenal orang sebagai penderita penyakit aneh. Ke dukun sudah dia coba, tapi tak sembuh-sembuh juga. Sedangkan dr. Nelly Rasyidin, Kepala Puskesmas di desa itu bingung melihat penyakit yang diderita wanita berusia 52 tahun itu. "Penyakit seperti ini masih sesuatu yang aneh," katanya tak habis pikir. Sekujur tubuh Bangun ditaburi benjolan-benjolan. Mulai dari sebesar kelereng sampai segede telur ayam. Tepat di bagian wajahnya benjolan itu nampak agak lembut. Begitu juga yang terdapat di bagian tangannya. Khusus di tangan kanan, benjolan itu membesar secara menyolok. Hingga Ibu Bangun seperti membawa beban sekarung kecil lemak yang terburai dan menggantung di pergelangan tangannya. Sekalipun dia tampak seram dan menderita karena penyakit itu, Bangun tetap tak terganggu sebagai wanita desa yang rajin. Saban hari ia kelihatan mencangkul dan membersihkan sawahnya. Cuma akhir-akhir ini penyakit aneh itu jadi terangsang. Gumpalan yang melekat di tangan kanannya itu mulai bernanah, karena sering terjilat api sewaktu memasak. "Terasa pedih kalau turun ke sawah," ujar Bangun kepada wartawan TEMPO yang datang menemuinya. Rupanya benih penyakit aneh itu sudah dibawanya sejak lahir. Menurut pamannya, M. Said Malin Batuah, begitu lahir, pada bagian bawah telapak tangan dekat kelingking keponakannya itu, ditemukan kutil kecil. Waktu itu tak ada yang curiga. "Tapi sepuluh tahun kemudian kutil yang sebesar biji jagung itu terus membesar sampai sebesar telor bebek. Kami mulai risau," cerita Malin Batuah. Dalam usia 10 tahun si Bangun dibawa ke rumahsakit umum di Padang. Bangun masih ingat betul ketika itu dokter Belanda memberikan obat-obatan yang rupanya "seperti tahi kambing". Benjolan itu tak kempes-kempes juga. Sebelum Bangun dinikahkan dia diboyong lagi ke Padang. Dokter ketika itu memutuskan supaya tangan kanan Bangun dipotong sampai ke siku. Tapi keluarga yang datang dari Singkarak itu keberatan. "Karena tak ada biaya. Maklumlah aman penjajahan," cerita M. Said Malin Batuah. Para Pejabat Tak berapa lama setelah kejadian itu Bangun dibawa pula pada seorang dokter. Dokter itu menyebutkan penyakit Bangun itu bisa diatasi dengan suntikan. Tapi rencana pengobatan itu gagal. Lagi-lagi soal biaya. Bayarannya ketika itu sama dengan 200 liter beras. Keluarga petani itu hanya mampu membayar ongkos sebesar itu, kalau menjual sawah. Tapi kekayaan satu-satunya buat orang desa lebih penting dipertahankan daripada tumor yang merongrong Bangun. Setelah Bangun kawin penyakitnya semakin mengganas. Cinta suaminya jadi mundur karena benjolan-benjolan yang sudah merayap ke mana-mana. Bangun ditinggalkan suaminya. Beberapa lama setelah bercerai ternyata ada orang lain yang terpikat. Bangun kawin untuk kedua kalinya. Tapi sejak 1967 ia menjanda dengan empat anak. Tiga meninggal. Yang seorang mengembara di Jakarta. Di Desa Padang Belimbing, Singkarak, Bangun sering kelihatan sembahyang berjamaah di masjid. Ia juga gampang ditemui di pasar. Dengan tabah ia membiayai hidupnya dengan berjualan telur bebek, hasil piaraannya. Ia mengaku sering berjumpa dengan para pejabat, juga dokter ketika sedang berdagang. Tapi belum seorang pun yang bermurah hati untuk meringankan penderitaannya. "Kalau saja ada orang yang mau menolong, saya bersedia dibawa ke mana saja. Asalkan bisa sembuh," pintanya. Nelly Rasyidin kepala Puskesmas setempat juga pernah menjumpai Bangun di pasar. Dia tak bisa berbuat apa-apa karena peralatan terbatas di Puskesmas. Dulu Bangun pernah dianjurkan berobat ke Padang, tapi tak jadi karena tak ada biaya. " Kami di sini hanya bisa menganjurkan," ucap dr. Nelly. Tentang penyakit wanita itu sendiri, dr. Nelly belum blsa menyebutkannya. "Diperlukan pemeriksaan secara patologis," katanya. Tapi orang orang kampung tak terlalu sulit untuk mencari nama buat penderitaan ibu kita itu. Mereka menyebutkannya penyakit "ketumbuhan".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus