Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Kisah temon mencari ayahnya

Film "serangan fajar" yang diproduksi ppfn & disutradarai arifin c. noer dengan memakai figuran orang kampung yang ribuan jumlahnya. film yang tak memakai "bintang film". dengan latar belakang peristiwa 1945.(fl)

11 April 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMANGAT pemerataan dicoba Arifin C. Noer untuk film Serangan Fajar, yang kini dikerjakannya. Mendatangkan figuran yang jumlahnya lebih dari 5.000 orang itu, sutradara Arifin menggunakan cara pengumuman melalui petugas Kecamatan -- yang diteruskan petugas Rukun Kampung (RK). Siapa saja yang tak punya pekerjaan di kampung, terutama di wilayah Kodya Yogyakarta, boleh mendaftarkan diri untuk beraksi di depan kamera. Selain makan dan minum terjamin selama masa shooting, mereka menerima pula Rp 2.000 per hari. "Bukan cuma pemuda kampung yang datang. Juga datang calo, tukang parkir liar, bahkan gelandangan," kata Fajar Suharno, koordinator pemain. "Film Mas Arifin melibatkan banyak orang dari berbagai profesi." Arifin tampak senang dan bergairah. Tapi suaranya sudah mulai hilang, ketika ia mengambil adegan penyerbuan Gedung Agung, Yogyakarta, baru-baru ini. Banyak pemain yang ribuan itu tak mengerti petunjuk. "Bahasa Indonesia saja nggak ngerti," keluh Arifin, "tapi pemerataan . . . " Tentu saja pengambilan adegan kolosal seperti penyerbuan Gedung Agung oleh tentara pelajar itu berkali-kali diulang. Sementara matahari lebih sering di balik awan, dan figuran menggerutu. Sering terjadi kesalahan dalam mengatur banyaknya pemain. Beberapa pemain berteriak-teriak menggambarkan kemarahan di depan tentara Jepang yang bersenjata, namun ada saja orang yang tertawa. "Mereka itu tidak diseleksi. Harus sabar," kata Jajang Pamuncak, istri Arifin yang ikut repot. Inilah film pertama Arifin dibuat dengan figuran begitu banyak. "Tapi saya tidak sulit mengatur pemain," kata Arifin. Sistem kepemimpinannya mencontoh militer, yaitu mereka membentuk kelompok-kelompok kecil semacam regu dan Arifin hanya berhubungan dengan komandan regunya. Serangan Fajar, suatu produksi Pusat Produksi Film Negara (PPFN), menggambarkan empat peristiwa patriotik dalam tahun 1945 di Yogyakarta. Yaitu penaikan bendera merah putih di Gedung Agung, penyerbuan markas Jepang di Kotabaru, penyerbuan lapangan Maguwo, dan serangan beruntun di waktu fajar dari Maguwo ke Semarang. Namun Arifin tak mau menyebut ini suatu film perang. "lni film fiktif, sedang peristiwa sejarah tadi cuma jadi latar belakang cerita," katanya. Tokoh sentralnya ialah seorang bocah umur 5 tahun, bernama Temon dari keluarga petani -- keluarga pejuang sejak zaman Sultan Agung, perang Diponegoro sampai masa revolusi. Ayah Temon ini hilang di masa revolusi, meninggal dunia. Tetapi sang nenek percaya, ayah Temon ini masih hidup, dan jadi romusha. Ditularkannya terus-menerus harapan bahwa suatu waktu ayahnya akan pulang. Hingga Temon ingin sekali menemui ayahnya, walau keadaan belum normal benar. Kisah Temon mencari ayahnya inilah yang jadi benang untuk merangkai keempat peristiwa sejarah yang disodorkan PPFN. Bahkan Temon sendiri ikut dalam pertempuran di Kotabaru, kawasan elite di Yogyakarta. Beberapa pejuang membisikkan ke telinganya: "Temon, ikutlah berjuang. Kalau sudah normal, ayahmu semakin cepat pulang." Sejarah dalam film Serangan Fajar, walaupun tempelan, akan dibuat seautentik mungkin. Pagar Gedung Agung yang bernilai jutaan, misalnya, dibongkar. Bahkan film hitam putih dipakai untuk bagian yang menceritakan sejarah. Ada bagian yang dicetak dengan kemerah-merahan, ada warna pucat kayak film usang. Semuanya mengikuti suasana. Bagian berwarna (cuma 25% dari keseluruhan film) antara lain menceritakan kisah pencarian oleh Temon. Film yang tak memakai "bintang film" ini tinggal mengambil adegan tatkala si kecil Temon mendadak jadi besar. Berpangkat Mayor Angkatan Udara, ia terbang mengemudikan pesawat tempur terbaru. Ini dibuat berwarna, karena "itulah impian Temon setelah ia tak menemui ayahnya." Menyelang-nyeling warna begini, menurut Arifin, baru pertama kali terjadi. Ini termasuk komprominya dengan PPFN. Dirinya ingin membuat film yang utuh hitam putih. Tidak jelas berapa biaya film ini produksi ke-5 yang dikerjakannya bersama PPFN. Jelas amat mahal. "Tapi tak sampai Rp 500 juta seperti perkiraan orang," kata Arifin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus