SEMANGAT pemerataan dicoba Arifin C. Noer untuk film Serangan
Fajar, yang kini dikerjakannya. Mendatangkan figuran yang
jumlahnya lebih dari 5.000 orang itu, sutradara Arifin
menggunakan cara pengumuman melalui petugas Kecamatan -- yang
diteruskan petugas Rukun Kampung (RK). Siapa saja yang tak punya
pekerjaan di kampung, terutama di wilayah Kodya Yogyakarta,
boleh mendaftarkan diri untuk beraksi di depan kamera. Selain
makan dan minum terjamin selama masa shooting, mereka menerima
pula Rp 2.000 per hari. "Bukan cuma pemuda kampung yang datang.
Juga datang calo, tukang parkir liar, bahkan gelandangan," kata
Fajar Suharno, koordinator pemain. "Film Mas Arifin melibatkan
banyak orang dari berbagai profesi."
Arifin tampak senang dan bergairah. Tapi suaranya sudah mulai
hilang, ketika ia mengambil adegan penyerbuan Gedung Agung,
Yogyakarta, baru-baru ini. Banyak pemain yang ribuan itu tak
mengerti petunjuk. "Bahasa Indonesia saja nggak ngerti," keluh
Arifin, "tapi pemerataan . . . "
Tentu saja pengambilan adegan kolosal seperti penyerbuan
Gedung Agung oleh tentara pelajar itu berkali-kali diulang.
Sementara matahari lebih sering di balik awan, dan figuran
menggerutu. Sering terjadi kesalahan dalam mengatur banyaknya
pemain. Beberapa pemain berteriak-teriak menggambarkan kemarahan
di depan tentara Jepang yang bersenjata, namun ada saja orang
yang tertawa. "Mereka itu tidak diseleksi. Harus sabar," kata
Jajang Pamuncak, istri Arifin yang ikut repot.
Inilah film pertama Arifin dibuat dengan figuran begitu banyak.
"Tapi saya tidak sulit mengatur pemain," kata Arifin. Sistem
kepemimpinannya mencontoh militer, yaitu mereka membentuk
kelompok-kelompok kecil semacam regu dan Arifin hanya
berhubungan dengan komandan regunya.
Serangan Fajar, suatu produksi Pusat Produksi Film Negara
(PPFN), menggambarkan empat peristiwa patriotik dalam tahun 1945
di Yogyakarta. Yaitu penaikan bendera merah putih di Gedung
Agung, penyerbuan markas Jepang di Kotabaru, penyerbuan lapangan
Maguwo, dan serangan beruntun di waktu fajar dari Maguwo ke
Semarang.
Namun Arifin tak mau menyebut ini suatu film perang. "lni film
fiktif, sedang peristiwa sejarah tadi cuma jadi latar belakang
cerita," katanya.
Tokoh sentralnya ialah seorang bocah umur 5 tahun, bernama Temon
dari keluarga petani -- keluarga pejuang sejak zaman Sultan
Agung, perang Diponegoro sampai masa revolusi. Ayah Temon ini
hilang di masa revolusi, meninggal dunia. Tetapi sang nenek
percaya, ayah Temon ini masih hidup, dan jadi romusha.
Ditularkannya terus-menerus harapan bahwa suatu waktu ayahnya
akan pulang. Hingga Temon ingin sekali menemui ayahnya, walau
keadaan belum normal benar.
Kisah Temon mencari ayahnya inilah yang jadi benang untuk
merangkai keempat peristiwa sejarah yang disodorkan PPFN. Bahkan
Temon sendiri ikut dalam pertempuran di Kotabaru, kawasan elite
di Yogyakarta. Beberapa pejuang membisikkan ke telinganya:
"Temon, ikutlah berjuang. Kalau sudah normal, ayahmu semakin
cepat pulang."
Sejarah dalam film Serangan Fajar, walaupun tempelan, akan
dibuat seautentik mungkin. Pagar Gedung Agung yang bernilai
jutaan, misalnya, dibongkar. Bahkan film hitam putih dipakai
untuk bagian yang menceritakan sejarah. Ada bagian yang dicetak
dengan kemerah-merahan, ada warna pucat kayak film usang.
Semuanya mengikuti suasana. Bagian berwarna (cuma 25% dari
keseluruhan film) antara lain menceritakan kisah pencarian oleh
Temon.
Film yang tak memakai "bintang film" ini tinggal mengambil
adegan tatkala si kecil Temon mendadak jadi besar. Berpangkat
Mayor Angkatan Udara, ia terbang mengemudikan pesawat tempur
terbaru. Ini dibuat berwarna, karena "itulah impian Temon
setelah ia tak menemui ayahnya."
Menyelang-nyeling warna begini, menurut Arifin, baru pertama
kali terjadi. Ini termasuk komprominya dengan PPFN. Dirinya
ingin membuat film yang utuh hitam putih.
Tidak jelas berapa biaya film ini produksi ke-5 yang
dikerjakannya bersama PPFN. Jelas amat mahal. "Tapi tak sampai
Rp 500 juta seperti perkiraan orang," kata Arifin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini