SUDAH barang tentu pembaca akan bertanya-tanya apa kaitannya
kata mumpung yang berasal dari bahasa Jawa dengan nama Rusia
yang terpampang dalam judul di atas. Bukankah sebenarnya
hubungan antara Rusia dengan orang Jawa baru berumur beberapa
puluh tahun saja?
Memang yang dimaksud bukanlah hubungan langsung atau hubungan
bertemu muka, berhadapan secara badaniah. Sifat hubungan yang
dimaksud lebih berbentuk gagasan-gagasan A.V. Chayanov, yang
tampaknya dapat juga kita lihat perwujudannya dalam masyarakat
kita.
A.V. Chayanov bukan sembarangan orang Rusia, tetapi seorang ahli
yang mendukung profesi ekonomi, dan khususnya menulis mengenai
ekonomi petani miskin Rusia sekitar tahun 1926.
Waktu itu rezim Stalin juga menghadapi Pelita pertama Uni Soviet
yang bertekad mengangkat nasib petani kecil dengan kolektivisasi
dan mekanisasi. Tetapi bukan masalah ini yang akan dikupas. Yang
lebih menarik adalah hasil penelitian A.V. Chayanov mengenai
petani gurem, yang menunjukkan banyak ciri-ciri yang sama dengan
petani-petani gurem di dunia ketiga, termasuk di Pulau Jawa di
Republik kita ini.
Sudah dapat dipastikan ballwa Chayanov belum berkomunikasi
dengan ahli ekonomi Belanda J.H. Boeke atau ahli
anthropologi-sosial Amerika C. Geertz yang juga menulis mengenai
dasar-dasar keterbelakangan dan kemelaratan yang begitu berakar
dalam.
Sebelum mengungkapkan gagasan Chayanov, tentu pembaca terutama
yang tidak berbahasa Jawa, ingin mengetahui apa yang terkandung
dalam istilah mumpung itu. Dalam bahasa Jawa mumpung mengandung
arti: seseorang yang secara kebetulan dapat menikmati suatu
keuntungan, dan biasanya untuk waktu yang tidak berkelanjutan.
Atau dalam istilah sehari-hari sekarang lebih dikenal sebagai
rezeki nomplok. Tentu hal ini perlu dinikmati selama ada
kesempatan. Hanya orang bodoh yang tidak demikian perbuatannya.
Menurut gagasan Chayanov, petani kecil atau gurem pada tingkat
kehidupan subsistensi mengelola perusahaan taninya baik sebagai
satuan produksi maupun sebagai satuan konsumsi. Dalam kondisi
serba kekurangan modal, alat dan faktor produksi lain, petani
gurem harus mengorbankan tenaga kerja dan waktu yang sering
tidak berimbang lagi dengan penambahan sedikit produksi. Ini pun
tidak cukup untuk memperluas usaha taninya.
Dalam keadaan seperti itu sebuah perusahaan kapitalis yang besar
sudah lama menghentikan usahanya, karena dikatakan bahwa pada
fase demikian perusahaan sudah "makan modal" sendiri.
Untuk si petani gurem soalnya pada tingkat subsistensi memang
tidak ada pilihan lagi antara terus berusaha atau berhenti.
Menghentikan usaha kecilnya berarti: bertolak ke alarn baka
bersama anggota keluarga lain.
Menanggung risiko yang sebesar itu, ia benar-benar bekerja
mati-matian, dan sudah terang bahwa bekerja setengah mati itu
masih lebih disukai daripada mati betul. Inilah yang oleh
Chayanov disebut manusia mengeksploatasi dirinya. Kalau keadaan
seperti digambarkan itu cukup lama berlangsung, timbul sikap
mental yang sedikit banyak membudaya: cakrawala penglihatan
hidup sempit dan pendek, dan tidak ambil risiko.
Tetapi Tuhan Maha Penyayang, juga bersifat adil. Kadang-kadang
di dalam masyarakat timbul suatu perombakan yang demikian
dahsyatnya sehingga golongan yang semula merana berubah
kedudukan dan kesempatan memperbaiki hidup dan nasibnya. Suatu
keadaan yang semula hanya ada di dunia impian sekonyong-konyong
terwujud sebagai kenyataan. Baik Rusia maupun Indonesia
mengalami perombakan dahsyat dalam masyarakat masing-masing, dan
akibatnya memang timbul gejala rezeki nomplok.
Orang percaya bahwa keadaan seperti itu tidak lestari dan karena
itu pula menimbulkan sikap mumpung pakailah kesempatan pendek
itu untuk mengumpulkan harta kekayaan, meningkatkan gengsi
sosial, supaya paling tidak di kemudian hari risiko dapat lebih
mudah ditanggung bila rezeki sudah mereda atau habis.
Mumpung sebagai sikap dan gejala masyarakat terang tidak
merupakan monopoli kebudayaan Jawa atau Indonesia saja, karena
seandainya demikian halnya tentu teori Chayanov tidak dapat
diterapkan di sini.
Nyatanya kaum bourgeois setelah revolusi Prancis 1789, atau
"robber barons" di Amerika Serikat setelah perang saudara 1865
menunjukkan ciri-ciri yang mirip dengan tingkah laku golongan
"O.K.B." kita.
Tampaknya sikap mumpung dikenal juga oleh masyarakat lain dalam
lingkungan kebudayaan lain, dan memperlihatkan gelagat golongan
tertentu pada fase perkembangan masyarakat tertentu, diawali
oleh suatu perombakan yang memutarbalikkan lapisan masyarakat.
Mental lapisan yang diputarbalik tadi belum siap mencernakan
keadaan baru, dan masih dihinggapi sikap dasar. Artinya sikap
seperti pada petani gurem, dimiliki oleh orang yang
sekonyong-konyong mendapat reeki nomplok. Akibatnya memang
timbul keserakahan, yang berusaha mengamankan nasib tujuh
generasi berikutnya selama hayat di kandung badan.
Di mana-mana kelihatannya sikap tadi adalah cetusan dari aspek
kebudayaan, yaitu aspek kebudayaan golongan melarat atau
poverty culture. Dan inilah pembaca yang tercinta kaitannya
antara gagasan A.V. Chayanov dalam The Theory of Peasant
Economy dan kata Jawa mumpung!
Sebagaimana semua teori, yang dikemukakan Chayanov tentu dapat
didukung, bahkan diterapkan, atau justru ditentang dan
diberantas. Ini terserah kepada pribadi pembaca.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini