Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Dari keraton ke istana

Nasib istana kesultanan di pulau jawa maupun di luar jawa, ada yang tak terurus dan ada yang hampir punah. beberapa probelma yang dihadapi para ahli warisnya. (ils)

11 April 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAGAR besi rendah itu tampak sudah tua. Dengan kebun yang tidak terurus, penuh ilalang, bangunan itu tampak kalah pamor dibandingkan dengan gedung-gedung sekitarnya. Bangunan dengan arsitektur gaya Timur Tengah itu adalah Istana Agung Kota Maimun, di Jalan Brigjen Katamso Medan. Luas bangunannya, 2.772 mÿFD. Bertingkat dua, bangunan ditopang oleh 82 buah tiang batu dan 43 tiang kayu. Di bangunan induk, ada sebuah balairung seluas 412 mÿFD. Sementara itu, di perkarangan yang tak terurus itu, setiap petang kini dipakai anak-anak bermain bola. Istana Sultan Deli -- demikian istana itu biasa disebut -- tidak terlalu tua. Dibangun oleh Sultan Makmun Al Rasyid Perkasa Alamsyah, 26 Agustus 1888 sebagai salah satu hasil uang kontrakan perkebunan tembakau. Tahun 1828-1872, Sultan Deli menyewakan perkebunan tembakau kepada Belanda. Selain istana, uang sewa kebun itu juga menghasilkan sekitar 70 buah masjid, sebuah antaranya yang terbesar, berseberangan dengan Istana Maimun yaitu Masjid Raya Al Mansun. Istana Maimun, dianggap peninggalan Kerajaan Negeri Deli yang paling cemerlang Benda-benda peninggalannya pun masih bisa digolongkan cukup lengkap. Kursi kerajaan yang bercat kuning, masih ada. Juga 18 buah keris, pedang, payung kerajaan, tombak, gebuk (tempat air untuk mandi), tempolong -- semua masih terawat baik. Sultan Deli yang sekarang, Tengku Azmi Perkasa Alamsyah, 47 tahun, menggantikan ayahnya, Tengku Othman, pada 1967. Hidup sebagai manajer distrik dari sebuah perusahaan minyak, Tengku Azmi berstatus sebagai Kepala Adat Melayu Deli. Kawasan kekuasaannya meliputi Medan, Deli Serdang dan Langkat. Jumlah kawula-nya diperkirakan 2,8 juta orang. Selain itu, dia juga menjadi nazir dari 97 tempat ibadah, mulai dari masjid sampai ke surau dan madrasah. Awal April ini, ia sedang menunggu pelantikannya sebagai anggota DPR/MPR dari Fraksi PPP, menggantikan Zainal Afirin Abbas almarhum. Istana Maimun sendiri sudah dua kali dipugar. Biaya pemugaran berasal dari pemerintah, karena istana ini termasuk salah satu proyek Pengembangan Sarana Wisata Budaya. "Kalau tidak dipugar," kata salah seorang keluarga Sultan Deli, "istana sudah lama rusak." Sedangkan untuk memelihara pekarangan seluas 4 ha, pihak keluarga tidak mampu membiayainya. Istana itu tampak hidup kembali bila Hari Raya led dan Idul Adha. Di saat itulah, Sultan Deli dengan mengenakan pakaian kerajaan, duduk di singgasana, untuk menerima salam sembah dari para kerabatnya. Bagian belakang dan samping istana kini dihuni oleh sekitar 40 KK atau sekitar 100 orang. Sultan Deli memang tidak terlalu ketat mengatur kerabat dekatnya yang ingin tinggal di kompleks istana. "Siapa saja yang ingin membangun tempat tinggal di lingkungan istana, boleh," Sultan Deli pernah berkata: "Tapi harus minta izin Pemda Medan." Tiap keluarga yang tinggal di sana, harus menanggung hidupnya masing-masing. "Pemerintah sudah cukup baik menyokong kami," tutur Tengku Azmi. Sebab selama ini, listrik dan air, ditanggung Pemda Medan. Cuma telepon, harus bayar sendiri. "Dan tidak betul kalau istana akan dijual atau dikaveling" bantah Tengku Azmi terhadap desas-desus yang akhirakhir ini sering terdengar di Medan. Tambahnya: "Kami juga tidak pernah ribut-ribut tentang masalah itu, sebab sudah menjadi kesepakatan kerabat, tidak mungkin istana dijual." Apalagi karena kepala keluarga yang berstatus sultan, masih hidup. Sultan Abdurahcman. Istana Sultan Deli, memang masih kokoh. Tapi berbeda dengan itu adalah Istana Sultan Abdurachman di Pontianak, yang terletak di sebuah tanjung, antara Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Istana ini kini berusia 209 tahun. Sebagian besar bangunannya terbuat dari kayu dan tampak sudah lapuk. "Kalau hujan datang, kami harus mengungsi ke tempat yang tidak bocor," kata salah seorang penghuni istana itu. Karena istana ini dilingkari sungai, seseorang yang hendak mengunjunginya harus naik sampan atau perahu motor. Penduduk di sekitarnya berpenghasilan agak minim, jadi pegawai kecil, atau buruh. Sementara itu karena kesulitan hidup sehari-hari, agaknya juga sulit bagi keturunan Sultan Abdurachman memperbaiki istana itu. Memang ada sumbangan Rp 500.000 dari Pemda Tingkat I Kal-Bar dan Pemerintah Pusat lewat Departemen Dalam Negeri sebanyak Rp 750.000 setahun. "Tapi itu cuma cukup untuk tambal sulam dinding yang bocor saja," ujar Syarif Thaha Alkadrie "paling tidak, harus ada ongkos Rp 50 juta untuk renovasi total." Dia sendiri, pernah menjadi sultan selama satu bulan, sebelum Sultan Hamid II (almarhum) dinobatkan. Kini, Syarif Yusuf Usman dikuasakan untuk mengurus keraton yang nyaris kosong dari harta peninggalan ini. Di sini sekarang tinggal 3 kepala keluarga dengan jumlah warga sebanyak 27 orang. "Harta peninggalan keraton, saya tidak tahu," ujar Syarif Yusuf. Konon katanya telah hilang sejak zaman Jepang. Masyarakat Pontianak tidak memperlakukan penghuni keraton ini lebih dari warga kota lainnya. Walaupun begitu, nasib istana Cirebon, Yogya atau Sala, masih lebih baik ketimbang yang ada di luar Pulau Jawa. Selain dipugar dengan biaya seluruhnya atau sebagian dari negara, peminat atau pengunjungnya masih lumayan jumlahnya. Belum lagi pendapatan dari pengunjung. "Di bulan Maulud keraton mendapat penghasilan dari para pengunjung yang berziarah," kata Pangeran Raja Muda Haji Djalaludin dari Keraton Kanoman Cirebon. Tak dijelaskan jumlahnya. Tapi uang itu berasal dari sewa kios para pedagang dan sumbangan langsung dari kocek para penziarah. Karena kesulitan biaya Aji Pangeran Muhammad Parikesit, pewaris dan bekas Sultan Kerajaan Kutai pada 1971 menawarkan agar pemerintah membeli Istana Kutai. Pemda Kalimantan Timur kemudian membelinya seharga Rp 64 juta dan menjadikannya museum. Raja ke-13 ini kemudian membeli sebuah rumah yang tak jauh dari istana, mobil dan sisa uang dia depositokan di bank, untuk biaya hidupnya. Kini, Aji Pangeran yang juga pernah duduk di DPRD, hidup nyaman. Walaupun usianya telah 80 tahun, dia sering tampak keliling kota dengan mobilnya. Menurut catatan, ada 42.000 pengunjung Istana Kutai setahun. Hasyim Achmad, Kepala Bidang Sejarah dan Kepurbakalaan di Kal-Tim, mengakui prasarana museum ini minim sekali. Pemandu yang memenuhi syarat, belum dipunyai. Tetapi dia merasa bangga karena pada 1980, museum bisa berpenghasilan Rp 60 juta, hanya dari pengunjung saja. Istana Sultan Siak, di Kabupaten Bengkalis, Riau menyedihkan. Penduduk sekitar menyebutnya sebagai Istana Hasyimiah. Status istana yang dihangun tahun 1889 (selama 9 tahun) oleh Sultan Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin (mangkat 1908), kini masih belum jelas. Putra Sultan Syarif, pada 1915 dinobatkan dengan gelar Assaidis Syarif Kasyim Abdul Jalil Syaifuddin. Selama pemerintahannya, Istana Hasyimiah diperluas lagi dengan istana peraduan, masjid, madrasah, HIS, sekolah latihan untuk wanita, dan berbagai bangunan lain. Tetapi ketika Sultan Syarif Kasyim mengundurkan diri pada 1946, istana menjadi kapiran. Pada tahun 1960-an masyarakat Siak mendesak pemerintah untuk mengambil alih saja istana tersebut dan menjadikannya museum. Tetapi tahun 1964, Syarif Kasyim kembali ke Siak beserta istrinya, Syarifah Fadlun. Mereka tinggal di Istana Peraduan yang memang miliknya. Pada 1968, Sultan Syarif Kasyim lewat pengacaranya, mengirim surat kepada Menteri Dalam Negeri. Maksudnya menyerahkan semua harta benda dan bangunan istana, dengan ganti rugi Rp 20 juta. Setelah Syarif Kasyim wafat April 1968, permintaan ini diulangi lagi oleh istrinya. Jumlah yang diminta turun menjadi Rp 15 juta. Niatnya, untuk membeli rumah di Jakarta. Permintaan ini tak dikabulkan. Kasyim dan Fadlun tidak mempunyai keturunan. Adik Kasyim yang bernama Tengku Long Putih dan tinggal di Singapura, ketika berziarah ke makam kakaknya, telah memberikan surat kuasa kepada Pemda untuk mengawasi Istana Hasyimiah. Masalahnya kini, Nyonya Fadlun tetap bercokol di Istana Peraduan. Begitu pula semua kunci kompleks istana, dipegangnya. Karenanya pihak Pemda yang semula akan mengelola istana, mundur. Kini, payung kerajaan dan kursi kerajaan yang terbuat dari emas, berada di Kantor Gubernur Riau. Istana Sultan Siak itu sendiri, tampak ringkih dan muram. Kegemilangan masa lampau, tak bersisa sedikit pun. Hanya sesekali datang rombongan anak sekolah untuk melihat hari-hari terakhir sisa usia istana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus