PAGAR besi rendah itu tampak sudah tua. Dengan kebun yang tidak
terurus, penuh ilalang, bangunan itu tampak kalah pamor
dibandingkan dengan gedung-gedung sekitarnya.
Bangunan dengan arsitektur gaya Timur Tengah itu adalah Istana
Agung Kota Maimun, di Jalan Brigjen Katamso Medan. Luas
bangunannya, 2.772 mÿFD. Bertingkat dua, bangunan ditopang oleh 82
buah tiang batu dan 43 tiang kayu. Di bangunan induk, ada
sebuah balairung seluas 412 mÿFD. Sementara itu, di perkarangan
yang tak terurus itu, setiap petang kini dipakai anak-anak
bermain bola.
Istana Sultan Deli -- demikian istana itu biasa disebut -- tidak
terlalu tua. Dibangun oleh Sultan Makmun Al Rasyid Perkasa
Alamsyah, 26 Agustus 1888 sebagai salah satu hasil uang
kontrakan perkebunan tembakau. Tahun 1828-1872, Sultan Deli
menyewakan perkebunan tembakau kepada Belanda. Selain istana,
uang sewa kebun itu juga menghasilkan sekitar 70 buah masjid,
sebuah antaranya yang terbesar, berseberangan dengan Istana
Maimun yaitu Masjid Raya Al Mansun.
Istana Maimun, dianggap peninggalan Kerajaan Negeri Deli yang
paling cemerlang Benda-benda peninggalannya pun masih bisa
digolongkan cukup lengkap. Kursi kerajaan yang bercat kuning,
masih ada. Juga 18 buah keris, pedang, payung kerajaan, tombak,
gebuk (tempat air untuk mandi), tempolong -- semua masih terawat
baik.
Sultan Deli yang sekarang, Tengku Azmi Perkasa Alamsyah, 47
tahun, menggantikan ayahnya, Tengku Othman, pada 1967. Hidup
sebagai manajer distrik dari sebuah perusahaan minyak, Tengku
Azmi berstatus sebagai Kepala Adat Melayu Deli. Kawasan
kekuasaannya meliputi Medan, Deli Serdang dan Langkat. Jumlah
kawula-nya diperkirakan 2,8 juta orang. Selain itu, dia juga
menjadi nazir dari 97 tempat ibadah, mulai dari masjid sampai ke
surau dan madrasah. Awal April ini, ia sedang menunggu
pelantikannya sebagai anggota DPR/MPR dari Fraksi PPP,
menggantikan Zainal Afirin Abbas almarhum.
Istana Maimun sendiri sudah dua kali dipugar. Biaya pemugaran
berasal dari pemerintah, karena istana ini termasuk salah satu
proyek Pengembangan Sarana Wisata Budaya. "Kalau tidak dipugar,"
kata salah seorang keluarga Sultan Deli, "istana sudah lama
rusak." Sedangkan untuk memelihara pekarangan seluas 4 ha, pihak
keluarga tidak mampu membiayainya.
Istana itu tampak hidup kembali bila Hari Raya led dan Idul
Adha. Di saat itulah, Sultan Deli dengan mengenakan pakaian
kerajaan, duduk di singgasana, untuk menerima salam sembah dari
para kerabatnya.
Bagian belakang dan samping istana kini dihuni oleh sekitar 40
KK atau sekitar 100 orang. Sultan Deli memang tidak terlalu
ketat mengatur kerabat dekatnya yang ingin tinggal di kompleks
istana. "Siapa saja yang ingin membangun tempat tinggal di
lingkungan istana, boleh," Sultan Deli pernah berkata: "Tapi
harus minta izin Pemda Medan." Tiap keluarga yang tinggal di
sana, harus menanggung hidupnya masing-masing.
"Pemerintah sudah cukup baik menyokong kami," tutur Tengku Azmi.
Sebab selama ini, listrik dan air, ditanggung Pemda Medan. Cuma
telepon, harus bayar sendiri.
"Dan tidak betul kalau istana akan dijual atau dikaveling"
bantah Tengku Azmi terhadap desas-desus yang akhirakhir ini
sering terdengar di Medan. Tambahnya: "Kami juga tidak pernah
ribut-ribut tentang masalah itu, sebab sudah menjadi kesepakatan
kerabat, tidak mungkin istana dijual." Apalagi karena kepala
keluarga yang berstatus sultan, masih hidup.
Sultan Abdurahcman.
Istana Sultan Deli, memang masih kokoh. Tapi berbeda dengan itu
adalah Istana Sultan Abdurachman di Pontianak, yang terletak di
sebuah tanjung, antara Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Istana
ini kini berusia 209 tahun. Sebagian besar bangunannya terbuat
dari kayu dan tampak sudah lapuk. "Kalau hujan datang, kami
harus mengungsi ke tempat yang tidak bocor," kata salah seorang
penghuni istana itu.
Karena istana ini dilingkari sungai, seseorang yang hendak
mengunjunginya harus naik sampan atau perahu motor. Penduduk di
sekitarnya berpenghasilan agak minim, jadi pegawai kecil, atau
buruh.
Sementara itu karena kesulitan hidup sehari-hari, agaknya juga
sulit bagi keturunan Sultan Abdurachman memperbaiki istana itu.
Memang ada sumbangan Rp 500.000 dari Pemda Tingkat I Kal-Bar dan
Pemerintah Pusat lewat Departemen Dalam Negeri sebanyak Rp
750.000 setahun. "Tapi itu cuma cukup untuk tambal
sulam dinding yang bocor saja," ujar Syarif Thaha
Alkadrie "paling tidak, harus ada ongkos Rp 50 juta untuk
renovasi total." Dia sendiri, pernah menjadi sultan selama satu
bulan, sebelum Sultan Hamid II (almarhum) dinobatkan.
Kini, Syarif Yusuf Usman dikuasakan untuk mengurus keraton yang
nyaris kosong dari harta peninggalan ini. Di sini sekarang
tinggal 3 kepala keluarga dengan jumlah warga sebanyak 27 orang.
"Harta peninggalan keraton, saya tidak tahu," ujar Syarif Yusuf.
Konon katanya telah hilang sejak zaman Jepang.
Masyarakat Pontianak tidak memperlakukan penghuni keraton ini
lebih dari warga kota lainnya.
Walaupun begitu, nasib istana Cirebon, Yogya atau Sala, masih
lebih baik ketimbang yang ada di luar Pulau Jawa. Selain dipugar
dengan biaya seluruhnya atau sebagian dari negara, peminat atau
pengunjungnya masih lumayan jumlahnya. Belum lagi pendapatan
dari pengunjung. "Di bulan Maulud keraton mendapat penghasilan
dari para pengunjung yang berziarah," kata Pangeran Raja Muda
Haji Djalaludin dari Keraton Kanoman Cirebon. Tak dijelaskan
jumlahnya. Tapi uang itu berasal dari sewa kios para pedagang
dan sumbangan langsung dari kocek para penziarah.
Karena kesulitan biaya Aji Pangeran Muhammad Parikesit, pewaris
dan bekas Sultan Kerajaan Kutai pada 1971 menawarkan agar
pemerintah membeli Istana Kutai. Pemda Kalimantan Timur kemudian
membelinya seharga Rp 64 juta dan menjadikannya museum. Raja
ke-13 ini kemudian membeli sebuah rumah yang tak jauh dari
istana, mobil dan sisa uang dia depositokan di bank, untuk biaya
hidupnya. Kini, Aji Pangeran yang juga pernah duduk di DPRD,
hidup nyaman. Walaupun usianya telah 80 tahun, dia sering tampak
keliling kota dengan mobilnya.
Menurut catatan, ada 42.000 pengunjung Istana Kutai setahun.
Hasyim Achmad, Kepala Bidang Sejarah dan Kepurbakalaan di
Kal-Tim, mengakui prasarana museum ini minim sekali. Pemandu
yang memenuhi syarat, belum dipunyai. Tetapi dia merasa bangga
karena pada 1980, museum bisa berpenghasilan Rp 60 juta, hanya
dari pengunjung saja.
Istana Sultan Siak, di Kabupaten Bengkalis, Riau menyedihkan.
Penduduk sekitar menyebutnya sebagai Istana Hasyimiah. Status
istana yang dihangun tahun 1889 (selama 9 tahun) oleh Sultan
Syarif Hasyim Abdul Jalil Syaifuddin (mangkat 1908), kini masih
belum jelas.
Putra Sultan Syarif, pada 1915 dinobatkan dengan gelar Assaidis
Syarif Kasyim Abdul Jalil Syaifuddin. Selama pemerintahannya,
Istana Hasyimiah diperluas lagi dengan istana peraduan, masjid,
madrasah, HIS, sekolah latihan untuk wanita, dan berbagai
bangunan lain. Tetapi ketika Sultan Syarif Kasyim mengundurkan
diri pada 1946, istana menjadi kapiran.
Pada tahun 1960-an masyarakat Siak mendesak pemerintah untuk
mengambil alih saja istana tersebut dan menjadikannya museum.
Tetapi tahun 1964, Syarif Kasyim kembali ke Siak beserta
istrinya, Syarifah Fadlun. Mereka tinggal di Istana Peraduan
yang memang miliknya.
Pada 1968, Sultan Syarif Kasyim lewat pengacaranya, mengirim
surat kepada Menteri Dalam Negeri. Maksudnya menyerahkan semua
harta benda dan bangunan istana, dengan ganti rugi Rp 20 juta.
Setelah Syarif Kasyim wafat April 1968, permintaan ini diulangi
lagi oleh istrinya. Jumlah yang diminta turun menjadi Rp 15
juta. Niatnya, untuk membeli rumah di Jakarta. Permintaan ini
tak dikabulkan. Kasyim dan Fadlun tidak mempunyai keturunan.
Adik Kasyim yang bernama Tengku Long Putih dan tinggal di
Singapura, ketika berziarah ke makam kakaknya, telah memberikan
surat kuasa kepada Pemda untuk mengawasi Istana Hasyimiah.
Masalahnya kini, Nyonya Fadlun tetap bercokol di Istana
Peraduan. Begitu pula semua kunci kompleks istana, dipegangnya.
Karenanya pihak Pemda yang semula akan mengelola istana, mundur.
Kini, payung kerajaan dan kursi kerajaan yang terbuat dari emas,
berada di Kantor Gubernur Riau.
Istana Sultan Siak itu sendiri, tampak ringkih dan muram.
Kegemilangan masa lampau, tak bersisa sedikit pun. Hanya
sesekali datang rombongan anak sekolah untuk melihat hari-hari
terakhir sisa usia istana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini