SEMBILAN pasien terbaring dalam ruangan dialisa Rumah Sakit Tjipto Mangunkusumo (RSTM), Jakarta Pusat, Rabu pagi pekan lampau. Ada yang pulas dan ada yang hanyut dalam pembicaraan dengan keluarganya. Inilah sebagian penderita penyakit ginjal yang akan menikmati keringanan biaya sekitar Rp 40.000 perminggu, setelah pemerintah, Januari lalu, menghapuskan bea masuk dan pajak penjualan impor (PPn) untuk hemodialisis atau alat pencuci darah. Tanpa melawan takdir Tuhan, penggunaan alat ini adalah upaya memperpanjang usia yang tergolong mahal. Untuk sekali cuci darah di RSTM, diperlukan biaya Rp 110.000. Di rumah sakit Cikini, Jakarta Pusat, tarif itu R 160.000. Padahal, dalam seminggu. seorang pasien harus membersihkan darahnya dua kali. Sedangkan, menurut catatan yang ada, sampai sekarang prestasi alat ini di luar negeri baru berhasil memperpanjang umur pasien sampai 15 tahun. Di RSTM, rekor terlama delapan tahun. Penghapusan bea masuk dan PPn itu tak lain adalah hasil perjuangan Perhimpunan Pasien Hemodialise dan Transplantasi Ginjal Indonesia (Pepdiatrin), yang berdiri Maret 1981. Di Jakarta, dari 100 anggotanya, 40 orang dirawat di RSTM, 40 lagi di RS Cikini, dan 20 orang di RS St. Carolus. Tidak jelas berapa banyak penderita penyakit ginjal yang sudah memerlukan cuci darah. Tapi di seluruh Indonesia diperkirakan ada 10.000 orang yang kena penyakit serupa, dengan segala tingkat kegawatannya. Yang pasti, bila fungsi ginjal seseorang sudah menurun sampai di bawah 20%, perlu mendapat perawatan cuci darah. Sementara itu harga hemodialisis per unit sebelum bea masuk dan PPn dihapuskan mencapai Rp 30 juta. Dengan kemampuan kerja - umur mesin itu - sampai 2.500 jam, ia cuma dapat dipakai 400 kali. Bagi seorang pasien, diperlukan waktu lima sampai enam jam. Berarti, untuk sekali mencuci darah, penderita harus memikul biaya pembelian mesin sekitar Rp 60.000. Belum lagi untuk alat penyaring, selang, serta heparin ataupun protamin (anti pembekuan darah) dan cairan dialisat, pasien masih perlu mengeluarkan ongkos sekitar Rp 40.000. Dan "yang Rp 10.000 merupakan biaya obat dan sewa kamar," kata Dr. Pudji Rahardjo, ahli penyakit ginjal RSTM memperinci ongkos cuci darah di rumah sakitnya. Buat H. Hakim Aziz, 47, pegawai Departemen Perindustrian, hemodialisis sama pentingnya dengan ginjal dia sendiri. Ayah enam anak itu mencuci darah dua kali seminggu dalam 20 bulan terakhir ini. Katanya, "Kami, penderita sakit ginjal, sadar bahwa mesin ini hanya memperpanjang hidup sesaat." Keadaan inilah, memang, yang mendorong lahirnya Pepdiatrin, yang memiliki Yayasan Diatran Indonesia. Yayasan ini bertujuan mencari dana buat perhimpunan. Tapi usaha untuk memiliki mesin pencuci darah sendiri, sampai saat ini belum juga kunjung tercapai. Cuci darah memang bukan satu-satunya cara untuk menolong penderita penyakit ginjal. Cara lain adalah dengan pencangkokan ginjal. Cara ini, menurut Pudji Rahardjo, juga punya risiko. Harapan untuk hidup satu tahun bagi pasien, dengan cara: cangkok ginjal dari saudara kembar, dari saudara sekandung, atau dari saudara bukan sekandung - masing-masing mempunyai harapan 90%, 70%, dan 60%. Juga cangkok ginjal dari orang lain bisa dilakukan, dengan harapan yang lebih kecil lagi. Nalaprana, 56, pensiunan guru, misalnya, sebetulnya mendapat tawaran cangkok ginjal dari anaknya sendiri. "Saya tak tega," katanya. Karena itu, dia memilih mesin pencuci darah. Walaupun biayanya ditanggung asuransi kesehatan, keluarga Nalaprana telah menguras uang selama 3,5 tahun tanpa sempat lagi menghitung jumlah biaya yang sudah keluar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini