Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kutipan & Album

Meninggal Dunia

Mulyono gandadiputra, psikolog, 50, meninggal dunia setelah menderita kanker selama 3 tahun. (alb)

17 Maret 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETELAH bergulat dengan kanker sekitar tiga tahun, Prof. Dr. Mulyono Gandadiputra, 50, akhirnya meninggal dunia, 9 Maret tengah hari di Medan. Ahli psikologi yang sering tampil di layar televisi itu tiba di Medan bersama istrinya, 26 Februari, dari Amerika Serikat, setelah di negara itu dia gagal mendapatkan pengobatan di Mayo Clinic, Rochester, Minnesota. Dia mengunjungi pesantren Darul Amin untuk mendapatkan pengobatan metafisis Islam dari Prof. Dr. Kadirun Yahya, Rektor Universitas Pancabudi, yang memimpin pesantren itu. Menyambut kedatangan Mulyono itu, Kadirun Yahya membentuk tim dokter beranggotakan enam orang. Tim itu terutama untuk mengatasi hepatoma (kanker hati), antara lain memberikan tutofusin. Namun, pada hari kedelapan, mulut Mulyono mengeluarkan darah. Pada saat bersamaan, Kadirun Yahya melaksanakan pula pengobatan secara metafisika dan melarang Mulyono makan daging. Hidup Mulyono hanya ditopang sari buah dan madu. Tetapi usaha itu toh tak menolong juga. Sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir hari Jumat itu, dia masih bisa duduk di ranjangnya. "Saya ingin meninggal dalam keadaan beriman. Doakanlah keluarga kami," katanya kepada Sujono, pensiunan letnan kolonel, pembantu Kadirun Yahya. Pukul 13.55 dia muntah darah. Lalu dia mengucapkan kalimah syahadat, untuk kemudian meninggal - menemui Tuhannya. Jalan penderitaan Mulyono itu dimulai bulan Juni 1980, ketika dia menemukan darah dalam air seninya. Dia berobat ke mana-mana. Tetapi baru belakangan diketahui bahwa kanker telah bersarang di kandung kemihnya. Oktober tahun lalu, dokter menemukan kanker menyerang pula ususnya. Dan berdasarkan foto yang dibuat ketika itu, diketahui sudah ada tanda-tanda kuat bahwa pcnyakit itu telah pula merayap ke hati Dokter tidak bisa memastikan apakah serangan di hati itu merupakan kiriman dari kandung kemih. Dan ketika sepertiga bagian dari organ hati itu sudah dimangsa kanker, 31 Desember 1983, atas anjuran tim dokter yang menanganinya di Jakarta, dia berangkat ke Mayo Clinic, klinik terkenal di mana Syah Iran pernah berobat. Tetapi di situ dia tidak mendapat apa-apa karena penyakit yang di deritanya, menurut dokter, sudah begitu parahnya. Dia hanya diberi vitamin-vitamin. Tidak diopname. Mulyono adalah sebuah pribadi yang kuat. Terutama dalam menghadapi penyakit yang menyerangnya. Penyakit itu, menurut beberapa orang yang mengenalnya, tidak mengurangi gairah hidupnya. Kecuali bahwa tubuhnya kelihatan sedikit lebih kurus. Sedangkan acaranya tidak pernah putus karena penyakit itu. Malahan, dalam acara peringatan Israk Mikraj di Masjid Istiqlal tahun lalu, yang dihadiri Presiden Suharto dan pejabat pemerintah lainnya, dia tampil sebagai penceramah. Ketika tampil dalam seminar sehari mengenai "Masalah Kanker dalam Keluarga", yang diselenggarakan Lembaga Kanker Indonesia, Agustus 1983, dia menjadi pembicara yang paling memikat dari sekian banyak pembicara. Dia menguraikan perubahan sikap yang bisa terjadi pada seorang penderita dan keluarganya. "Keluarga penderita terserang gangguan perasaan kecemasan dalam menghadapi masa yang akan datang. Apa yang akan terjadi, keluarga penderita tak tahu persis. Dalam keadaan tertekan, si penderita harus diajak untuk tidak berkecil hati," kata ayah tiga anak itu mengetengahkan kepahitan yang sebagian didasarkan pada pengalamannya sendiri. Menurut pengakuannya, kanker yang menyerang memang telah membawa perubahan terhadap dirinya sendiri. Terutama dalam pola berpikir. "Dulu, saya mencari uang. Sudah mendapat gelar profesor, doktor. Sudah melihat Amerika. Sekarang, yang penting, bagaimana lebih dekat kepada Tuhan," ceritanya kepada hadirin ketika itu. Dan istrinya, Tien Andawati, memang tidak mengecilkan hatinya. Wanita itu, yang dinikahinya tahun 1966 dan ahli perpustakaan, terus mengikuti Mulyono menempuh perjalanan panjang dan melelahkan dalam upaya mencari kesembuhan, dari San Francisco-Tokyo-Hong Kong-Kualalumpur langsung ke Medan. Dan tetap bersama Mulyono sampai saat-saat terakhir di Pesantren Darul Amin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus