KETIKA subuh tiba, di Pasar Ciroyom, Bandung, para pedagang sayur-mayur tampak sibuk. Mereka menurunkan sayur-mayur itu dari truk-truk, untuk dibagikan kepada para pedagang eceran di pasar-pasar, di kaki lima, dan pedagang sayur kereta dorong. Tapi ternyata bahan makanan yang siap dikonsumsikan itu ada yang tercemar. Begitu kesimpulan Putranti Adirestuti, 24, sarjana farmasi ITB. Hasil penelitiannya berupa diagram hubungan limbah industri dengan lingkungan hidup, khususnya sayuran, minggu lalu dipamerkan - bersama karya mahasiswa lain - dalam rangka lustrum kelima almamaternya. Dalam penelitiannya, anak sulung dari lima bersaudara ini mengambil sample kangkung dan selada air, baik yang masih ditanam maupun yang sudah dipasarkan. Menurut Putranti, perairan di Babakan Ciparay, tempat kangkung ditanam, sudah tercemar krom dari pabrik penyamakan kulit, fotografi, tekstil, pelapisan logam, pengawetan kayu, dan sablon di sekitarnya. Dari penelitian laboratorium, Putranti menemukan kadar kandungan krom ratarata pada kangkung asal kebun 0,867 ppm (part per million, atau satu bagian per sejuta), sementara pada selada air 0,837 ppm. Ia berkesimpulan, kandungan krom pada kangkung antara 0,920 ppm dan 4,062 ppm. "Artinya, dalam setiap kg kangkung segar terdapat krom antara 0,920 mg dan 4,062 mg," katanya. Batas toleransi krom dalam makanan, menurut buku The Basic Science of Pharmacology, untuk orang dewasa, misalnya, 0,05 mg-0,20 mg. Lebih dari batas toleransi itu akan menyebabkan kerusakan sistem saraf dan ginjal. Pencemaran terhadap sayuran juga pernah diteliti Noor Aini Abdussama, asal Malaysia, lulusan farmasi ITB. Ia meneliti kadar kandungan Pb (timbel) pada kangkung, kubis, dan kemani yan dijual di kaki lima. Aini, yang sudah kembali ke negerinya itu, menylmpulkan: ketiga jenis sayuran itu tercemar Pb (unsur katalis dalam bensin) sebanyak 0,1 ppm, akibat asap knalpot. Menurut Dr. Kisman, dosen pembimbing Aini, batas toleransi kadar Pb dalam sayuran belum ditentukan FAO, badan pangan PBB. Tapi sebagai perbandingan, batas toleransi kadar Pb dalam air minum di Prancis ternyata juga menunjuk angka 0,1 ppm. "Dan untuk segala jenis makanan, batas toleransi Pb yang ditentukan FAO lebih ketat lagi," ujarnya. Untuk orang dewasa, misalnya, batas dosis Pb yang diperkenankan menyelinap dalam tubuh 0,05 mg untuk setiap kg berat badan selama seminggu. "Berarti untuk orang dewasa yang berat badannya 50 kg, misalnya, kadar Pb yang diizinkan masuk ke dalam tubuh maksimal 2,5 mg," katanya lagi. Penyakit yang diakibatkan Pb sama dengan krom. Para dosen farmasi ITB sendiri pada 1982 pernah meneliti kadar pencemaran lingkungan akibat penggunaan pestisida dalam pertanian. Bersama tiga dosen lain, Dr. Sudana Atmawidjaja, 45, meneliti sayuran air minum dan siput sawah. Menurut Sudana, yang menggondol doktor lingkungan di Prancis (1979), di antara 199 zat aktif pestisida yang di izinkan dipakai disini, yang paling banyak digunakan ya itu lindan, aldrin, dan terutama diazinon serta fenitrotion. Dengan meneliti kol, bunga kol, sawi, tomat, dan wortel, Sudana dan kawan-kawan menemukan bahwa dalam tiap-tiap sayuran itu terdapat zat aktif pestisida yang bervariasi. Dan ternyata hanya tomat saja yang mengandung diazinon dengan batas toleransi melebihi ketentuan FAO. Tomat yang diteliti mengandung diazinon 0,97 ppm dan fenitrotion 0,13 ppm. Diazinon memang cepat terurai dan tidak meninggalkan residu. Karena itu, dinilai aman. "Tapi karena penggunaannya terus-menerus, tentu masih ada yang tersisa," kata Sudana. Mengenai jenis zat aktif lainnya, sekalipun dosisnya masih rendah, ada yang bisa terakumulasi dalam tubuh, misalnya aldrin. Zat racun itu masuk ke dalam sayuran melalui daun atau terserap oleh akar. Mengenai siput sawah, Sudana dan kawan-kawan menelitinya di Ujung Berung, 10 km sebelah timur Bandung. Selama ini, sawah-sawah di sana disemprot pestisida secara ajek. Karena tanahnya landai, residunya menumpuk. Maka, Sudana dan kawan-kawan menemukan bahwa siput Ujung Berung mengandung diazinon rata-rata ,002 ppm dan fenitrotion 0,0025 ppm. "Kadar zat aktif dalam siput belum ditentukan FAO, tapi dalam ikan batas toleransinya 0,7 ppm untuk diazinon dan 0,05 ppm untuk fenitrotion," ujarnya. Sumur-sumur penduduk di kawasan itu juga diteliti. Dengan mengambil contoh satu liter air permukaan dari 100 sumur di permukiman sekitar sawah, Sudana dan kawan-kawan menemukan kandungan diazinon rata-rata 0,15 ppb (part per billion) dan fenitrotion 1,5 ppb. Meskipun kadarnya masih rendah, Sudana mengingatkan bahwa zat aktlf beracun itu dapat merembes dari sawah sampai ke dalam sumur. Batas toleransi FAO untuk diazinon dan fenitrotion dalam air belum ada. Tapi Prancis menentukan 0,0005 ppm atau 0,5 ppb. Jadi, kalau diukur dengan ketentuan Prancis yang memang sangat ketat, kandungan zat aktif beracun dalam air sumur penduduk Ujung Berung cukup berbahaya. Melihat penelitian-penelitian itu, Imam Supardi, 46, seorang dokter yang bulan lalu meraih gelar doktor di Unpad, mengungkapkan bahaya unsur logam berat itu bagi kesehatan. Bila krom melebihi batas toleransi, dapat merusakkan saluran pencernaan (mengakibatkan muntah dan berak) serta meracuni pembuluh darah dan ginjal. "Pb yang melebihi batas toleransi dapat menimbulkan kolik usus atau kekurangan darah kronis," ujar dokter pengawas labortorium RS Borromeus, Bandung, itu. Sedangkan penimbunan diazinon dan fenitrotion dapat menyebabkan penglihatan kabur, perut mual, kepala pusing, dada sesak, badan lemah, lumpuh, jari tangan gemetar, bahkan coma.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini