ADA paksaan atau tidak, nyatanya Balai Pengobatan Rido Galih di Sukabumi banyak dikenal berbagai lapisan masyarakat peserta KB. Bahkan dengan tarif yang relatif lebih mahal -- apalagi jika dibandingkan dengan pemasangan kontrasepsi di Puskesmas yang
tanpa dipungut bayaran. Ada 13 ruangan yang membagi poliklinik itu. Mulai dari ruang tunggu, kamar periksa sampai ke laboratorium, apotek, dan sebuah kamar yang berisi peralatan elektronik. Di ruang terakhir inilah
dr. Winata, pemilik balai pengobatan itu membuat berbagai peralatan prakteknya -- seperti pengukur tekanan darah dan stetoskop.
Tapi dokter lulusan Geneeskendige Hogeschool, Batavia, (1941), itu juga membuati spiral. Bahan bakunya benang nylon yang biasa
dipakai untuk memancing dan mudah didapat di pasar-pasar. Dokter
umum yang kemudian memperdalam sendiri bidang penyakit kandungan
ini menurut pengakuannya, meneliti bentuk dan ukuran spiral
berikut alat pengukur vagina selama 4 tahun. Lebar vagina wanita
Indonesia, hta Winata, 71 tahun, berkisar antara 3,5 - 5 cm.
Karena itu, pensiunan pegawai Departemen Kesehatan (1969) ini
membuat 4 ukuran spiral mulai dari yang berukuran small, medium
dan extra large.
Ternyata spiral benang plastik yang mulai dibuat Winata sejak
1960 ini cukup terkenal di beberapa kalangan peserta KB. Di Kota
Sukabumi saja hampir 2.000 orang yang memakai spiral Winata dari
tahun 1966 sampai April 1983. Pemakai-pemakai lainnya datang
juga dari Jakarta, Bandung dan kota-kota lain di pulau Jawa.
Tapi juga dari Medan, Kendari, Tarakan, sampai ke Timor Timur
dan Irian Jaya. Rata-rata ada 150 pasien setiap bulan yang
datang ke Rido Galih.
Di Bandung Winata berpraktek setiap akhir minggu dengan jumlah
pasien rata-rata 80 per bulan. Menurut Winata, "40% dari yang
datang adalah pegawai negeri dan ABRI, 40% swasta." Sisanya
pedagang dan buruh. Ongkosnya? "Rata-rata Rp 15.000," kata
Winata "kalau tak punya uang boleh cicil." Tapi seorang pasien
yang dianggapnya cukup mampu, bisa kena rekening sampai Rp
75.000.
Ongkos-ongkos itu biasanya disertai kontrol 4 kali setelah
pemasangan. Aan Tisna, kepala BKKBN Kotamadya Sukabumi
mengatakan, ongkos pelayanan IUD di Rido Galih sekitar Rp
40.000. Tapi dia juga menyebutkan, dokter umum melakukan hal
yang sama dengan spiral dari BKKBN menarik ongkos Rp 15.000.
Sedangkan dokter ahli kandungan menarik rekening antara Rp
15.000 sampai Rp 25.000.
Sejak 1960, Winata mengaku telah memasang 15.000 spiral. Data
copot kembali hanya 2 %o dan kehamilan juga 2 %o. Tahun 1968,
Winata mendapat izin ikut serta dalam program KB di Bandung.
Sedangkan di Sukabumi, baru Maret tahun ini. "Dia cukup membantu
program KB kita," ujar Drs. Romlar, Pj. Kepala Pelaksana PKBI
Jawa Barat. Tambah Romlan: "Meskipun penyebarluasannya kurang
menjangkau masyarakat kecil."
"Saya tidak tahu mengapa pemerintah tdak mau menggunakan spiral
saya yang murah ini," kata dr. Winau. H. Romly, SH kepala BKKBN
Kab. Sukabumi, berkata: "Spiral dr. Winata terbuat dari bahan
yang transparan, dari nylon. Kalau dicek posisinya dengan sinar
X, tidak bisa."
Dokter yang lain berkeberatan karena spiral Winata dianggap
tidak memenuhi syarat sterilisasi. Ini bisa dilihat dari
"bengkel" spiral yang mirip gudang penyimpanan benda-benda tua.
Pembuat spiralnya tidak berseragam seperti halnya Winata dan 5
orang perawatnya. Tiga karyawan pembuat spiral itu memberi kesan
bagai tukang rokok yang ada di alun-alun Sukabumi.
Dr. Winata sendiri hanya mencuci spiral itu di wastafel dekat
meja kerjanya, sebelum dimasukkan ke rahim. Tapi yang pasti,
Winata untung banyak dari hasil penemuannya ini. Karena diambil
dari bahan baku dan tenaga kerja (Rp 1.500 per hari per orang)
diperkirakan modal sebuah spirai siap pakai tak akan lebih dari
Rp 50.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini