KEJADIANNYA bermula pertengahan April lalu. Tapi akibatnya belum
juga usai. Waktu itu, atas perintah Kliang (kepala kampung),
ratusan wanita Desa Montong Betok, Lornbok Timur, NTB, sudah
berkumpul. "Untuk mendengarkan pengarahan Bapak-bapak dari
provinsi," ujar Nyonya Husna, istri Kliang Bangle. Seperti juga
Husna, mereka yang hadir waktu itu rata-rata akseptor KB yang
selama ini menggunakan pil.
Dalam pertemuan dengan pejabat-pejabat itu diminta agar para
akseptor mau beralih dari pil ke spiral -- disertai berbagai
janji. Antara lain, seperti yang dituturkan Kliang Bangle, H.
Husna: "Droping bantuan modal sebesar Rp 6 juta untuk semua
akseptor yang mau dipasang spiral." H. Husna sendiri atas
perintah kepala desanya, harus mengumpulkan paling sedikit 35
akseptor.
Pemasangan spiral memang kontan dilakukan setelah pidato-pidato
tersebut. "Padahal saya belum tahu apa sebenarnya yang mau
dipasang," ujar Inaq Ruma'iyah, 26 tahun, yang kini berbaring
sakit akibat pemasangan spiral. Secara tiba-tiba sekali dia
diminta masuk ke dalam kamar dan disuruh berbaring. Kainnya
disingkap dan masuklah benda asing itu ke rahimnya. Keesokannya
dia jatuh sakit. "Di bawah pusar terasa kejang," ujar Ruma'iyah
yang suaminya jadi kusir dokar. "Selalu ingin kencing, tapi tak
bisa keluar," tambahnya.
Minggu-minggu berikutnya, semakin banyak "korban" pemasangan
spiral massal. Di Montong Betok ada sekitar 25 wanita datang ke
Puskesmas Kutaraja minta spiralnya dicopot kembali. Demikian
pula di Ketangga. "Mereka mengeluh sakit pinggang, keputihan,
dan pendarahan terus-menerus," kata Sulastini, bidan Puskesmas
Kutaraja.
Bahrun, rekan Sulastini, menceritakan bahwa perkawinan lima
pasang suami istri buyar gara-gara spiral ini. Bahkan ada
seorang suami yang kontan angkat parang mendengar aurat istrinya
dilihat dan dipegang oleh paramedis. Sedangkan di Puskesmas
Terara, terjadi perkelahian antara perawat dan pnduduk
setempat, karena, katanya, perawat menolak memberi pertolongan
warga yang sakit akibat spiral.
Tak dijelaskan lebih lanjut realisasi bantuan modal Rp 6 juta
kepada akseptor seperti yang pernah dijanjikan.
Tetapi pihak BKKBN NTB menyangkal dan yakin pemasangan spiral
tak ada kekeliruan. "Bahkan spiral itu yang terbaik yang kami
miliki," ujar Kepala Penerangan & Motivasi BKKBN NTB, Abdul Muid
al-Lefaki. Dia juga menambahkan bahwa bidan yang memasangnya
sudah mendapat latihan. Kepala Desa Montong Betok Mahrip, juga
menyangkal keras. "Saya tak gila mau mencelakakan warga desa
saya," ujar Mahrip yang berpangkat kopral AD.
Penduduk Lombok sebagian besar beragama Islam. Organisasi
Nahdlatul Wathan pernah mengeluarkan fatwa bahwa KB yang
dianjurkan hanyalah pil dan suntikan. IUD dan spiral dinilai
haram, karena harus dipasangkan orang lain bukan dalam keadaan
darurat. Tapi kemudian ada fatwa para kiai di luar Nahdlatul
Wathan yang membolehkan pemasangan IUD.
Di Jawa Barat, ceritanya lain lagi. Paksaan pemasangan spiral
dikatakan terjadi di Kecamatan Surade, sekitar 120 km dari
Sukabumi. Akibatnya, banyak wanita yang pergi ke dukun untuk
mencopot kembali spiral itu. Program "Safari Spiral" untuk Jawa
Barat memang baru pertama kali diadakan -- untuk masa 3 bulan
sejak Januari 1983. Ketua BKKBN Dr. Haryono Suyono, Gubernur
Ja-Bar Aang Kunaefi dan aparat Pemda lainnya, turun sampai ke
desa-desa untuk pelaksanaan program itu. Hasilnya, rekor dalam
angka. Januari 1983, jumlah akseptor 108.689 orang. Maret
melonjak 60%. Untuk perbandingan, akseptor di Jawa Tengah dan
Jawa Timur Januari 1983 tercatat 138.917 orang. Bulan
berikutnya, dua provinsi itu cuma mengalami lonjakan 14%.
Menurut Bunyamin dari Seksi Penerangan & Motivasi BKKBN Ja-Bar,
"operasi KB dengan kecepatan penuh" seperti itu karena
diharapkan tahun 1990 dapat dicapai angka kelahiran 2,2%. H.
Romly, SH kepala BKKBN Kabupaten Sukabumi bahkan mengatakan di
tahun 1984 nanti, seluruh peserta KB aktif sudah harus
menggunakan metode IUD alias spiralisasi.
Walaupun di Ja-Bar dan tempat-tempat lain mencari akseptor
dilancarkan secara ngebut, Ketua BKKBN Dr. Haryono Suyono secara
tak langsung menolak adanya paksaan. "Banyak kemungkinan yang
bisa terjadi ada tidaknya paksaan," katanya kepada Zaim Uchrowi
dari TEMPO.
Ketua BKKBN ini sendiri belum mengetahui secara resmi beberapa
kasus di Lombok Timur. Kalau itu betul terjadi, "saya prihatin
sekali," ujarnya. Ia menjanjikan melalui jalur resmi akan
diberikan peringatan bagi petugas yang melanggar. Haryono juga
menekankan bahwa semua alat kontrasepsi baik. "Hanya harus
diimbangi dengan ini," katanya sambil menuding kepalanya
sendiri. Di NTT bahkan pantang berkala dapat terlaksana dengan
baik. "Cuma," demikian Haryono menekankan, "yang paling aman
adalah spiral."
Haryono mengakui, ada kemungkinan pejabat yang mengejar target.
"Tapi hendaknya, target tidak harus dikejar dengan membabi
buta." Haryono Suyono akan mengecek kasus di Lombok dan
Sukabumi. "Saya juga tidak ingin menyembunyikan fakta," katanya
mantap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini