Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Memenangkan Hadiah Adinegoro 82/83

Bernandus Sendow, memenangkan hadiah Adinegoro 1982/1983, untuk karya foto. (md)

14 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

REPORTASE perjalanan itu mengungkapkan, bagaimana seorang pemetik bawang mendapat upah Rp 300 per hari, dan hanya mampu sarapan seharga Rp 50. Juga tentang suami istri pembuat bata, yang biasa bekerja 10 jam penuh sehari tetapi penghasilannya tidak lebih dari Rp 1.500. Pendeknya mengenai mereka yang digolongkan penulisnya "berada di bawah garis kemiskinan." Reportase itu terpilih sebagai pemenang hadiah jurnalistik Adinegoro 1982/1983 bidang pembangunan. Diumumkan dalam suatu upacara di Gedung Dewan Pers, 3 Mei, Asbari Nurpatria Krisna, penulisnya, dengan begitu memenangkan Piala Adinegoro dan uang Rp 500.000. Tulisan itu rnerupakan hasil reportase on the spot di Sumatera Selatan, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, NTB, NTT, Maluku, dan Irian Jaya. Mencakup perjalanan sejak 1967, karya jurnalistik itu dimuat Asbari di majalah dua mingguan Aktuil yang dipimpinnya, secara bersambung berjudul "Menjelajah Kemiskinan Sesudah 37 tahun Merdeka." Istri Asbari, Yuyu A.N. Krisna, sebelumnya juga memenangkan hadiah yang sama (1979/1980) untuk tulisannya "Menyusuri : Remang-remang Jakarta" yang dimuat di Sinar Harapan. "Saya tidak mempersiapkan tulisan itu. untuk berlomba," tutur Asbari. Ia juga, katanya, tidak mengajukannya sebagai peserta perlombaan. Dan ia tahu sebagai pemenang, baru pada saat diumumkan. Tahun ini, tahun ke-9 Hadiah Adinegoro diadakan, memang terdapat perubahan sistem penilaian. Tahun-tahun lalu para peserta sendiri yang harus mengirimkan tulisan/foto yang akan dinilai kepada panitia. Tapi mulai tahun ini panitialah yang aktif mengumpulkan dan menyeleksi tulisan/foto itu. Selain perubahan sistem, juga ada tambahan bidang yang akan dinilai yakni tajuk-rencana, karikatur dan P4 -- selain bidang-bidang foto, metropolitan, olahraga dan film. Seluruh pemenang diumumkan malam itu juga. Hadiah Piala Adinegoro dan uang Rp 300.000 untuk karya foto diraih Bernandus Sendow dari Sinar Harapan. Yang lainnya hanya dapat piala, medali perak atau perunggu, tanpa hadiah uang. Sistem lama dinilai "kurang memenuhi sasaran," seperti kata Sugiarso Surojo, direktur Program Hadiah Adinegoro PWI Jaya. Dulu kadang-kadang ada karya baik yang tidak ikut dinilai. Karena juri hanya menilai karya yang dikirimkan pesertanya saja. Maka tahun ini, sejak 5 bulan lalu, angota panitia Hambas, bekas wartawan Suluh Indonesia (koran di zaman Orla) dan Subekti dari Terbit, mengumpulkan kliping berita dan foto yang akan dinilai. Dari jumlah yang terkumpul -- tidak diingat Sugiarso saking banyaknya -- akhirnya harus diciutkan, hingga tiap penerbitan hanya tiga karya saja yang bisa dinilai. Tapi kriteria peserta masih tetap: harus karya perorangan dan wartawan harian/majalah atau mereka yang tergabung dalam PWI. "Sistem ini saya rasa paling tepat," kata Sugiarso, kolonel purnawirawan, bekas pemred harian AB itu. "Sistem itu persis seperti yang dilakukan di AS untuk Hadiah Pulitzer," kata Sanjoto, ketua Tim Juri Karya Foto. Sebab, katanya, yang aktif kini PWI sebagai pelaksana, bukan para peserta atau pemimpin redaksi. Tapi menurut Sanjoto, pimpinan Business Ne7Ds yang telah 4 kali jadi ketua tim juri foto, sistem baru itu ada kelemahannya. Panitia tetap Yayasan Hadiah Adinegoro telah menyeleksi calon pemenang lebih dulu sebelum disampaikan ke dewan juri. Tim juri foto tahun ini menerima 69 kliping foto. Tim menyeleksi lagi hingga tinggal 17 saja. Jumlah inilah yang dinilai aktualitas, penting atau tidak peristiwanya, teknis foto, dan lain-lain. Drs. D.H. Assegaff berpendapat sama. "Saya tidak begitu sreg, karena panitia melakukan seleksi pendahuluan." Menurut anggota tim juri bidang pembangunan itu, karena di antara panitia pelaksana ada yang wartawan, seleksi pendahuluan itu bisa menimbulkan konflik kepentingan. Artinya si panitia akan mengutamakan karyanya sendiri. Juga, kata Assegaff, kriteria penilaian harus lebih jelas. "Ini untuk menghindarkan kesan panitia kerja asal jadi." Apalagi, tambahnya, dari 70 karya yang diterima tim, lebih dari 50% berupa karya tulis, bukan hasil pencarian si wartawan. Kebanyakan hanyalah hasil perjalanan lantaran undangan atau kebetulan menghadiri kongres atau pertemuan. Menurut Assegaff, cara yang dulu malah lebih mendekati sistem Hadiah Pulitzer. Joseph Pulitzer (1847 - 1911), wartawan dan penerbit terkenal di AS, menghibahkan uang US$ 2 juta pada Universitas Columbia, guna membuka jurusan jurnalistik, 1912, dan kemudian hadiah tahunan sejak 1917. Dari namanyalah Hadiah Pulitzer berasal. Hadiah di bidang jurnalistik saja ada 12 kategori. Di samping itu ada untuk penulisan buku, karya musik dan bea siswa. Hadiah puncaknya berupa medali emas. Lainnya berupa uang US$ 1.000. Pemenang biasanya ditetapkan pada setiap bulan Mei. Tapi Adinegoro memang tidak meninggalkan dana. Dana yang terkumpul untuk hadiah ke-9 tahun ini, kata Sugiarso, cuma mencapai Rp 11 juta - Rp 6 juta dari Pemda DKI Jaya dan sisanya dari Yayasan Prasetya Mulya. "Deppen, yang dulu biasanya menyumbang Rp 1 juta, kini tidak lagi," kata Sugiarso yang menjabat direktur program sejak lembaga hadiah itu didirikan 1974. "Dengan keadaan demikian, bagaimana mengembangkannya ke taraf nasional seperti saran Menpen Harmoko?" kata Sugiarso tercenung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus