REPORTASE perjalanan itu mengungkapkan, bagaimana seorang
pemetik bawang mendapat upah Rp 300 per hari, dan hanya mampu
sarapan seharga Rp 50. Juga tentang suami istri pembuat bata,
yang biasa bekerja 10 jam penuh sehari tetapi penghasilannya
tidak lebih dari Rp 1.500. Pendeknya mengenai mereka yang
digolongkan penulisnya "berada di bawah garis kemiskinan."
Reportase itu terpilih sebagai pemenang hadiah jurnalistik
Adinegoro 1982/1983 bidang pembangunan. Diumumkan dalam suatu
upacara di Gedung Dewan Pers, 3 Mei, Asbari Nurpatria Krisna,
penulisnya, dengan begitu memenangkan Piala Adinegoro dan uang
Rp 500.000. Tulisan itu rnerupakan hasil reportase on the spot
di Sumatera Selatan, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, NTB, NTT,
Maluku, dan Irian Jaya. Mencakup perjalanan sejak 1967, karya
jurnalistik itu dimuat Asbari di majalah dua mingguan Aktuil
yang dipimpinnya, secara bersambung berjudul "Menjelajah
Kemiskinan Sesudah 37 tahun Merdeka."
Istri Asbari, Yuyu A.N. Krisna, sebelumnya juga memenangkan
hadiah yang sama (1979/1980) untuk tulisannya "Menyusuri :
Remang-remang Jakarta" yang dimuat di Sinar Harapan. "Saya tidak
mempersiapkan tulisan itu. untuk berlomba," tutur Asbari. Ia
juga, katanya, tidak mengajukannya sebagai peserta perlombaan.
Dan ia tahu sebagai pemenang, baru pada saat diumumkan.
Tahun ini, tahun ke-9 Hadiah Adinegoro diadakan, memang terdapat
perubahan sistem penilaian. Tahun-tahun lalu para peserta
sendiri yang harus mengirimkan tulisan/foto yang akan dinilai
kepada panitia. Tapi mulai tahun ini panitialah yang aktif
mengumpulkan dan menyeleksi tulisan/foto itu. Selain perubahan
sistem, juga ada tambahan bidang yang akan dinilai yakni
tajuk-rencana, karikatur dan P4 -- selain bidang-bidang foto,
metropolitan, olahraga dan film.
Seluruh pemenang diumumkan malam itu juga. Hadiah Piala
Adinegoro dan uang Rp 300.000 untuk karya foto diraih Bernandus
Sendow dari Sinar Harapan. Yang lainnya hanya dapat piala,
medali perak atau perunggu, tanpa hadiah uang.
Sistem lama dinilai "kurang memenuhi sasaran," seperti kata
Sugiarso Surojo, direktur Program Hadiah Adinegoro PWI Jaya.
Dulu kadang-kadang ada karya baik yang tidak ikut dinilai.
Karena juri hanya menilai karya yang dikirimkan pesertanya saja.
Maka tahun ini, sejak 5 bulan lalu, angota panitia Hambas,
bekas wartawan Suluh Indonesia (koran di zaman Orla) dan Subekti
dari Terbit, mengumpulkan kliping berita dan foto yang akan
dinilai. Dari jumlah yang terkumpul -- tidak diingat Sugiarso
saking banyaknya -- akhirnya harus diciutkan, hingga tiap
penerbitan hanya tiga karya saja yang bisa dinilai. Tapi
kriteria peserta masih tetap: harus karya perorangan dan
wartawan harian/majalah atau mereka yang tergabung dalam PWI.
"Sistem ini saya rasa paling tepat," kata Sugiarso, kolonel
purnawirawan, bekas pemred harian AB itu.
"Sistem itu persis seperti yang dilakukan di AS untuk Hadiah
Pulitzer," kata Sanjoto, ketua Tim Juri Karya Foto. Sebab,
katanya, yang aktif kini PWI sebagai pelaksana, bukan para
peserta atau pemimpin redaksi. Tapi menurut Sanjoto, pimpinan
Business Ne7Ds yang telah 4 kali jadi ketua tim juri foto,
sistem baru itu ada kelemahannya. Panitia tetap Yayasan Hadiah
Adinegoro telah menyeleksi calon pemenang lebih dulu sebelum
disampaikan ke dewan juri. Tim juri foto tahun ini menerima 69
kliping foto. Tim menyeleksi lagi hingga tinggal 17 saja. Jumlah
inilah yang dinilai aktualitas, penting atau tidak peristiwanya,
teknis foto, dan lain-lain.
Drs. D.H. Assegaff berpendapat sama. "Saya tidak begitu sreg,
karena panitia melakukan seleksi pendahuluan." Menurut anggota
tim juri bidang pembangunan itu, karena di antara panitia
pelaksana ada yang wartawan, seleksi pendahuluan itu bisa
menimbulkan konflik kepentingan. Artinya si panitia akan
mengutamakan karyanya sendiri.
Juga, kata Assegaff, kriteria penilaian harus lebih jelas. "Ini
untuk menghindarkan kesan panitia kerja asal jadi." Apalagi,
tambahnya, dari 70 karya yang diterima tim, lebih dari 50%
berupa karya tulis, bukan hasil pencarian si wartawan.
Kebanyakan hanyalah hasil perjalanan lantaran undangan atau
kebetulan menghadiri kongres atau pertemuan. Menurut Assegaff,
cara yang dulu malah lebih mendekati sistem Hadiah Pulitzer.
Joseph Pulitzer (1847 - 1911), wartawan dan penerbit terkenal di
AS, menghibahkan uang US$ 2 juta pada Universitas Columbia, guna
membuka jurusan jurnalistik, 1912, dan kemudian hadiah tahunan
sejak 1917. Dari namanyalah Hadiah Pulitzer berasal. Hadiah di
bidang jurnalistik saja ada 12 kategori. Di samping itu ada
untuk penulisan buku, karya musik dan bea siswa. Hadiah
puncaknya berupa medali emas. Lainnya berupa uang US$ 1.000.
Pemenang biasanya ditetapkan pada setiap bulan Mei.
Tapi Adinegoro memang tidak meninggalkan dana. Dana yang
terkumpul untuk hadiah ke-9 tahun ini, kata Sugiarso, cuma
mencapai Rp 11 juta - Rp 6 juta dari Pemda DKI Jaya dan sisanya
dari Yayasan Prasetya Mulya. "Deppen, yang dulu biasanya
menyumbang Rp 1 juta, kini tidak lagi," kata Sugiarso yang
menjabat direktur program sejak lembaga hadiah itu didirikan
1974. "Dengan keadaan demikian, bagaimana mengembangkannya ke
taraf nasional seperti saran Menpen Harmoko?" kata Sugiarso
tercenung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini