DI medan perang itu, 3.000 tentara tegak memegang bedil. Mereka
berdiri di balik tonggak-tonggak kayu. Mereka menunggu. Dari
seberang sana, ratusan samurai berkuda menyerbu dengan
mengacungkan tombak dan pedang. Begitu mendekat, 3.000 tentara
yang menunggu itu membidik. Tembakan menggelegar. Tubuh manusia
dan kuda terbanting jatuh, bergelimpangan. Medan perang
bersimbah darah.
Hasilnya sudah bisa diduga: mereka yang bersenjata apilah yang
menang. Senjata kebanggaan tradisional para kesatria Jepang,
pedang baja yang bagai sembilu itu, tak berdaya apa-apa ....
Adegan itu bisa dilihat pada bagian akhir film sutradara
termasyhur Akira Kurosawa, Kagemusha. Adegan itu juga bisa
dibaca di buku sejarah Jepang: peperangan Nagashino di tahun
1575. Itulah hari kemenangan Oda Nobunaga, penguasa Provinsi
Owari. Juga hari itu adalah hari yang menandai berubahnya cara
orang Jepang berperang -- dan menunjukkan bagaimana bangsa ini,
yang terkenal tertutup, pandai memanfaatkan keunggulan orang
asing.
Cara berperang itu sendiri sebenarnya memang sudah agak lama
berubah. Di masa lampau pertempuran lebih sering terbatas pada
adu kecepatan memainkan pedang di antara para samurai. Tapi
perlahan-lahan taktik baru dirasa lebih. efektif: tentara biasa,
orang kebanyakan yang tak dilahirkan sebagai anggota kasta
tinggi itu, dengan berbaris rapat mengacukan lembing panjang,
ternyata dapat mengalahkan para kesatria.
Dan ketika di tahun 1543 para penguasa Jepang mulai membeli
bedil berbentuk korek api dari para petualang Portugis, babak
baru pun terbuka. Dengan cepat senjata bermesiu itu diproduksi
oleh orang Jepang sendiri. Meskipun para samurai banyak yang
menganggapnya sebagai senjata pengecut, para panglima pasukan
yang cerdik tak melepaskan kesempatan itu. Bedil yang
kapasitasnya makin ditingkatkan oleh para pandai besi Jepang
sendiri -- dapat merobohkan musuh yang paling tangguh dari jauh.
Lagipula senjata api itu dapat memenuhi kebutuhan para penguasa
kecil yang selama ini tak punya dukungan samurai dalam jumlah
besar. Menggunakan bedil tak memerlukan latihan yang panjang
seperti halnya menggunakan pedang. Petani biasa pun dengan cepat
dapat dicetak jadi prajurit yang berbahaya.
Nobunaga termasuk dalam kalangan daimyo yang memerlukan tentara
secara cepat, murah, dan banyak. Dan ia bukan orang yang takut
kepada adat. Bahkan dia tidak takut kepada siapa pun -- termasuk
para rahib Budha dan siksa akhirat.
Jangkung ramping, liat, dan bersuara jernih, Nobunaga yang
mencicipi kemenangan besar pertama kali ketika masih berumur 26
tahun itu dengan kasarnya bisa memperlakukan para bangsawan
lain. Seorang pastor Portugis, Padrea Frois, yang menemuinya
ketika Nobunaga berumur 37 tahun -- kali pertama ia menerima
orang asing -- mencatat bagaimana kurang-ajarnya tokoh ini.
"Dengan terbuka ia menyatakan bahwa tak ada itu yang namanya
Sang Maha Pencipta, juga tak ada kehidupan abadi atau hidup
setelah mati."
Ia dengan tak tanggung-tanggung menghancurkan kuil-kuil Budhis,
guna mendapat batu untuk membangun kastil. Rakyat Kyoto yang
akhirnya ia kuasai kaget dan ngeri menyaksikan patung-patung
suci itu diseret ke tempat pembangunan kastil untuk dibikin
berkeping-keping. Para rahib mengunci mulut tak berdaya.
Apalagi setelah Nobunaga dengan kekejaman yang khas dia
mengepung Gunung Hiei, sebuah bukit besar di utara Kyoto.
Sebanyak 30.000 tentara dikerahkan buat merebut wilayah suci
para padri Budha itu. Dengan satu gempuran, ketujuh sekolah
tinggi keagamaan yang ada di sana dibakar sampai lumat. Para
rahib, wanita, dan anak-anak yang tertangkap dengan serta merta
dipenggal.
Tak heran bila dalam film Kagemusha kita bisa melihat bagaimana
Nobunaga membiarkan bebas -- dan bahkan dapat bantuan dari para
pastor Jesuit yang mulai meninggalkan pengaruhnya di Jepang.
Dalam satu adegan nampak ia berangkat berperang dengan diiringi
doa para pastor itu dalam bahasa Latin. Nobunaga sambil setengah
mencemooh berkata, "Amen . . . ". Dia bukan Nasrani. Dia cuma
mainmain -- dengan doa, Tuhan, kematian, dan adat istiadat.
Dia barangkali bukan tokoh urakan yang luar biasa dalam sejarah
pembaruan Jepang. Tapi jelas, dia contoh sebuah sikap yang
kemudian menang dalam perkembangan bangsa ini ke arah zaman
modern.
Tulisan ini adalah satu fragmen dari sejarah, yang menunjukkan
contoh bagaimana orang Jepang bersikap terhadap dunia luas,
khususnya Barat -- dan bagaimana mereka memanfaatkannya.
Tak banyak yang diketahui sebetulnya, apa yang terjadi ketika
orang Jepang pertama kali bersua dengan orang asing dari Barat
itu.
Nampaknya pertemuan pertama adalah dengan orang Portugis. Dan
tidak seperti dibayangkan oleh orang Barat dewasa ini, di abad
ke-16 itu sikap orang Jepang kepada para pendatang menimbulkan
kesan yang enak -- setidaknya bila kita baca catatan tokoh besar
Jesuit Spanyol yang termasyhur itu, Franciskus Xaverius.
Franciscus Xaverius, dengan semangat yang bernyala-nyala untuk
menyebarkan ajaran Kristus ke seluruh Asia, berangkat ke Jepang
dari Malaka di bulan Aprii 1549, dengan kapal orang lanun dari
Cina. Ia ditemani oleh dua padri Spanyol lain serta tiga orang
Jepang yang pernah diselamatkan seorang kapten kapal Portugis.
Mereka sampai di bandar Kagoshima di Kyushu Selatan 15 Agustus
tahun itu. Ia disambut baik oleh daimyo yang berkuasa di wilayah
itu -- bahkan diizinkan mengkristenkan penduduk dengan bebas.
Tak ayal, Franciscus Xaverius terkesan.
"Bangsa yang kami jumpai," demikian tertulis dalam laporan
Xaverius ke Goa, "sejauh ini merupakan yang terbaik di antara
yang kami temukan .... Mereka sangat bertatakrama, pada umumnya
berbudi dan tidak jahat. Mereka orang-orang yang dalam memegang
kehormatan sangat menakjubkan, dan menghargai kehormatan di atas
segala-galanya di dunia."
Tapi sejauh mana orang Jepang di bandar Kagoshima itu memahami
ajaran Kristus masih jadi tandatanya. Bahasa Jepang Franciscus
Xaverius terbatas. Ada sebagian penulis sejarah yang menduga
bahwa mungkin saja orang Jepang itu menganggap agama yang dibawa
orang Spanyol itu hanyalah salah satu sekte di antara sekte
Budhis yang lain. Toh antara agama Kristen dan Budha ada
beberapa hal yang sama.
Betapapun dangkalnya hasil pengkristenan orang Jepang di masa
itu, kaum Jesuit pada umumnya dihormati oleh penduduk dan kaum
aristokrat setempat. Ada yang menduga bahwa hal ini disebabkan
karena kaum samurai sangat terkesan oleh disiplin yang berlaku
di kalangan padri yang tersusun secara hirarkis itu -- suatu hal
yang juga ada di masyarakat Jepang. Tapi ada pula yang punya
teori lain.
Para padri Jesuit itu, apa pun kebangsaannya, dapat deking kuat
dari para pejabat dan saudagar serta pelaut Portugis. Mereka ini
sangat menghormati, dan umumnya tunduk kepada para rohaniawan
itu, serombongan manusia alim yang bersusah payah ke negeri jauh
atas nama Jesus. Karena kapal dagang Portugis sangat penting
bagi kehidupan ekonomi kota-kota pantai Jepang masa itu, para
daimyo tidak ingin merusak hubungan baik yang sudah terjalin
dengan mengganggu para padri Jesuit.
Bahkan seorang pembesar di barat laut Kyushu kontan masuk
Kristen dan diganti namanya menjadi "Dom Bartholomew". Orang
Jepang yang bernama baru inilah yang kemudian memberi kaum
Jesuit sebuah kampung untuk pelabuhan perdagangan dengan
Portugis. Nama kampung itu Nagasaki -- yang kemudian dengan
cepat jadi sebuah kota, yakni kota perdagangan dan kota Nasrani.
Itu terjadi di awal abad ke-17. Di pertengahan abad ke-20, kita
tahu, Nagasaki hancur luluh oleh sebuah bom dahsyat dari pesawat
Amerika Serikat.
Sejarah pertemuan antara orang Jepang dan orang Barat memang
tidak selamanya manis. Para padri Jesuit itu bukannya tanpa
musuh. Memang, para rahib Budha tak sedikit yang korup dan
karenanya tak disukai rakyat, namun sebaliknya semangat para
penyebar agama Nasrani di Jepang masa itu kadang
berlebih-lebihan. Beberapa kali mereka menghancurkan kuil Budhis
dan tempat tinggal para pendetanya. Ini menyebabkan orang-orang
Budha marah, dan mereka tak jarang mendapat bantuan militer dari
para daimyo yang memandang orang asing itu dengan benci.
Tapi nasib buruk Gereja Katolik di Jepang tidak datang dari
dalam Jepang sendiri.
Nobunaga -- orang kuat dari Owari yang sangat ditakuti itu --
mati di tahun 1582. Dia dikhianati salah seorang jenderalnya: di
pagi hari itu, ketika fajar baru rekah, sepasukan samurai yang
tadinya setia menyerbu tempatnya menginap di Kyoto. Panah
menerobos perut dan pinggangnya, tapi Nobunaga -- yang selama
hidupnya gemar berlatih keterampilan perang dan ketahanan tubuh
-- masih melawan. Ketika lukanya kian paran, ia pun masuk ke
dalam kamarnya, mengunci pintu. Di situ, kata sebuah sumber,
panglima yang angkuh itu merobek perutnya sendiri. Ia malakukan
bunuh diri rituil, seppuku.
Pengganti Nobunaga adalah Hideyoshi -- agaknya tokoh terbesar
dalam sejarah Jepang yang lahir dari kalangan rakyat biasa,
hampir 500 tahun sebelum Perdana Menteri Tanaka di zaman kita.
Seperti terlukis dalam lukisan lama, ia seorang yang lancip raut
mukanya, kurus tapi kuat, sebagaimana laiknya seorang perwira
perang yang terus-menerus di lapangan. Ia memang naik dari
prajurit biasa menjadi perwira yang paling tangguh, dan
disayangi Nobunaga, orang yang kini ia gantikan.
Toh penguasa yang berasal dari anak petani ini dengan gampang
melupakan asal-usulnya. Atau barangkali keadaan masa itu
menyebabkannya harus demikian. Hideyoshi, orang pertama yang
hampir berhasil menyatukan Jepang setelah berpuluh tahun dilanda
perang antar-pembesar feodal, menggencet kaum tani secara
efektif. Dia penguasa pertama yang mengadakan sensus pertanian,
agar hasil agraria mudah dipajak. Dia melarang orang kebanyakan
itu menyimpan senjata dan bepergian tanpa izin.
Ketika ia mengharuskan rakyat untuk menyerahkan senjata simpanan
mereka, Hideyoshi berdalih bahwa pemerintahnya perlu logam untuk
membikin sebuah patung Budha raksasa. Dalam kenyataannya,
Hideyoshi yang suka membangun istana gemerlap itu adalah orang
yang anti-kaum rahib, seperti juga bosnya dulu, Nobunaga.
Dan sebagaimana halnya Nobunaga, Hideyoshi juga membiarkan kaum
Jesuit beroperasi di wilayah Jepang yang dikuasainya. Seorang
tabib Istana bahkan tertarik dan menjadi Kristen. Itu tak
berarti Hideyoshi dan agama Kristen cukup akur. Penguasa yang
punya banyak gundik itu mengeluh bahwa agama Kristen menentang
pria yang punya simpanan perempuan dalam jumlah besar.
"Seandainya ini bisa diubah," katanya suatu kali, "saya mungkin
akan masuk Kristen."
Tiba-tiba di tahun 1586 Hideyoshi memerintahkan untuk mengusir
missi Katolik keluar dari Jepang. Tentu tidak karena perbedaan
sikap mengenai gundik. Ada dugaan bahwa ini akibat kesalahan
Padre Caspar Coelho, wakil pemimpin Ordo Jesuit di Jepang.
Ketika Hideyoshi menyebut hasratnya menyerbu Tiongkok, dan
meminta bantuan untuk menggunakan dua kapal Portugis, Padre
Coelho menjawabnya terlampau bersemangat. Pemimpin Jesuit ini
bukan saja menjanjikan kapal-kapal Portugis, tapi juga bantuan
pasukan Portugis di India.
Hideyoshi nampak senang dengan jawaban ini. Tapi pada saat itu
agaknya dia tahu: kaum Jesuit itu sebuah kekuatan asing yang
besar, yang tak segan-segan menggunakan senjata. Jika ia lengah,
dan membiarkan mereka terlampau berkuasa, ia akan menghadapi
persoalan yang berbahaya kelak.
Toh pada hakikatnya Hideyoshi tak sampai melaksanakan instruksi
pengusirannya sendiri dengan keras. Cuma beberapa saja dari
missi Jesuit yang meninggalkan Jepang. Sisanya bersembunyi, atau
menyebarkan agama secara tak menyolok.
Kenapa sebenarnya Hideyoshi tiba-tiba menunjukkan sikap
anti-Kristen itu? Suatu instink khas Jepang yang menolak bangsa
asing?
Mungkin tidak. Ada beberapa dugaan. Kini dengan Jepang yang
tidak terpecah-pecah lagi oleh perang antar-provinsi, sang
penguasa seperti Hideyoshi makin keras pula tuntutannya untuk
memperoleh sumpah setia -- semacam monoloyalitas -- dari
rakyatnya. Agama Kristen dianggapnya bisa mengganggu hal itu.
Tahun 1587 berada dalam abad yang riuh rendah. Di Eropa perang
antara kaum Katolik dan Protestan membakar hampir seantero
benua. Agaknya orang Jepang tahu akan hal itu. Ada di antara
mereka yang telah pergi ke Eropa. Sementara itu juga orang
Spanyol menaklukkan Filipina di tahun 1575. Tentang ini pun
orang Jepang mungkin tahu. Di Kepulauan Asia Tenggara tersebut
mereka juga, waktu itu, sudah punya sebuah pos. Hideyoshi
agaknya mulai awas dengan perkembangan internasional itu -- dan
ia memberi isyarat agar Jepang jangan diganggu.
Dalam sejarah Jepang, kaum Jesuit memang tak ingin mengganggu.
Mereka pada dasarnya berkehendak damai, untuk menyebarkan agama.
Tapi di tahun 1596 terjadi suatu insiden yang menentukan.
Di hari itu sebuah kapal Spanyol yang besar terdampar di Pulau
Shikoku. Muatannya penuh dengan barang berharga. Tak ayal para
samurai dan wakil Hideyoshi di tempat itu mengklaimnya. Melihat
ini perwira kapal Spanyol itu pun bereaksi dengan keangkuhan
yang tipikal buat orang Spanyol di Timur abad ke-16. Ia
mengancam, bila barang muatan kapal itu tak dikembalikan
kepadanya, Raja Spanyol akan menaklukkan Jepang. Dia juga
menyebut bahwa para padri Fransiskan -- saingan dari Ordo Jesuit
-- seperti biasanya telah menyiapkan jalan bagi kedatangan
pasukan Spanyol.
Di situlah salahnya. Mendengar laporan tentang ucapan opsir
Spanyol itu Hideyoshi murka. Tanggal 5 Februari 1597, enam padri
Fransiskan dan 17 calon pastor orang Jepang disalibkan. Dalam
proses itu ternyata ada "sedikit" kesalahan: tiga orang Jepang
pengikut Jesuit ikut dipasang di kayu palang.
Para padri Ordo Fransiskan di jepang zaman itu memang
menimbulkan problem -- juga bagi kaum Jesuit. Jika para padri
Jesuit yang kebanyakan orang Portugis itu lebih mencurahkan
perhatian kepada kelas atas, kaum Fransiskan yang kebanyakan
orang Spanyol cenderung mengkristenkan orang Jepang secara
massal, dan dengan cara yang lebih agresif. Tak heran bila
orang-orang Jesuit agak cemas melihat cara ini, dan mencoba
menghalangi mereka datang dari Filipina ke Jepang. Tapi
Hideyoshi menyambut mereka dengan baik sampai insiden di Pulau
Shikoku itu.
Namun puncak pengusiran orang asing dari Jepang tak terjadi di
masa Hideyoshi. Perlahan-lahan, proses berjalan ke arah yang tak
menguntungkan bagi orang-orang Portugis dan Spanyol, setelah
Hideyoshi digantikan oleh sekutunya, Ieyasu Tokugawa, pendiri
wangsa Tokugawa yang memerintah Jepang selama 300 tahun.
Jika Anda membaca novel James Clavell yang termasyhur itu,
Shogun, (atau menonton filmnya yang jelek di bioskop di Jakarta
kini), Anda akan dapat melihat bahwa masa Ieyasu Tokugawa inilah
yang jadi latar belakang cerita fantasi itu.
Di tahun 1600, di Teluk Beppu di Kvushu masuk sebuah kapal aneh:
di atasnya bukan orang Portugis atau Spanyol, tapi jenis orang
Barat yang lain. Mereka orang Belanda. Kapal itu bernama Liefde.
Jurumudinya seorang Inggris bernama Will Adams. Kisah Adams
itulah kemudian yang direka-reka oleh Clavell untuk novelnya:
dalam Shogun ia diberi nama Blackthorne, dan kapalnya disebut
Erasmus.
Adams-lah yang bercerita kepada Tokugawa (dalam novel Clavell
diberi nama Toranaga) tentang peperangan Katolik dan Protestan
yang penuh darah di Eropa. Dan sebagai seorang Protestan, tentu
saja Adams membawakan satu versi yang sangat tidak menguntungkan
kaum Jesuit atau Katolik yang lain. Apalagi orang-orang Jesuit
pernah mendesak kepada para pejabat Jepang untuk membasmi orang
Inggris dan Belanda yang Protestan itu dengan alasan bahwa
mereka bajak laut. Tapi ternyata Tokugawa terkesan kepada Adams,
dan menjadikannya sebagai penasihat. Dan dengan itu lebih banyak
orang Belanda yang masuk ke Jepang, hingga mendapatkan pos
perdagangan di Hirado, Kyushu.
Tokugawa mungkin perlahan-lahan mulai menelan laporan tentang
"bahaya"-nya para padri Katolik, terutama orang-orang Spanyol.
Dulu ia mendengarnya dari para pendeta Budhis, kini dari orang
Barat sendiri. Bersamaan dengan itu agaknya Tokugawa kini telah
mempunyai alternatif lain bila hendak meneruskan berniaga dengan
dunia luar. Ia tak hanya harus memakai jasa kapal-kapal
Portugis. Adams telah membuktikan bahwa kapal-kapal Belanda pun
bisa dimanfaatkan.
Syahdan, di tahun 1613, beberapa orang Nasrani dihukum mati.
Ternyata 30.000 orang seagama mereka menyatakan solidaritas
dengan berkumpul, berdoa, dan menyanyikan lagu-lagu kudus. Di
Roma zaman kuno hal itu merupakan kisah tersendiri tentang
heroisme dan kesetiakawanan dalam iman. Tapi di Jepang, waktu
itu, bagi Tokugawa itu merupakan provokasi. Ia mengusir semua
missi asing ke luar dari kepulauan Nippon. Dan dengan sistematis
titah itu dilaksanakan.
Di awal abad ke-17 di Jepang sudah ada sekitar 300.000 orang
Kristen. Setelah perintah pengusiran oleh Tokugawa, jumlah itu
tentulah berkurang -- tapi tak banyak. Sebab Tokugawa pada
dasarnya tak hendak membasmi agama Kristen itu sendiri meskipun
ia juga memerintahkan agar semua orang Nasrani Jepang masuk
agama Budha. Tokugawa toh tidak dapat memaksakan keyakinan,
biarpun dengan ancaman pedang. Dan dia pun kemudian yakin bahwa
tanpa para padri asing, rakyat Jepang yang Kristen itu tak akan
membahayakan kekuasaannya.
Malangnya, Tokugawa yang pertama digantikan dengan Tokugawa yang
berikutnya. Generasi baru ini ternyata lebih keras. Iemitsu
Tokugawa -- yang merupakan shogun Tokugawa ketiga -- tampil
sebagai penguasa di tahun 1623. Sepuluh tahun kemudian ia
mengeluarkan apa yang disebut Titah Pengucilan.
Dengan itu Jepang diputus dari dunia luar. Rakyat dilarang
berlayar ke luar negeri. Kapal besar yang mampu melintasi
samudra tak boleh dibikin. Siapa saja yang pernah tinggal di
luar negeri untuk suatu waktu tertentu -- dan dianggap telah
"najis" -- dilarang pulang kembali ke tanah air. Kalau pulang,
dipancung.
Titah Pengucilan inilah agaknya yang menyebabkan orang luar,
sampai kini pun, menganggap bangsa Jepang sebagai bangsa yang
mudah tertutup terhadap orang asing. Tapi toh ada ahli sejarah
yang mengatakan bahwa seandainya Jepang tidak ditutup waktu itu,
negeri itu akan jadi jajahan orang Barat. Bukankah banyak negeri
Asia jadi sasaran perdagangan, dan akhirnya jadi koloni? Ketika
Titah Pengucilan dikeluarkan, di Jawa, misalnya, kerajaan
Mataram memang sedang berusaha juga menutup pintu bagi Belanda
-- dan gagal.
Tapi ada juga yang mengatakan, bahwa tertutupnya Jepang dari
Eropa waktu itu merugikan Jepang sendiri. Berbeda dengan banyak
negeri lain di Asia, waktu itu dari Tokyo (dulu Edo namanya)
sudah berkembang suatu pemerintahan nasional dengan pusat yang
kuat. Jadi sebenarnya Jepang tak perlu takut. Dinasti Tokugawa
toh telah menjadikan Jepang suatu "negara polisi". Semua orang
diawasi ketat, dan gejala penyusupan atau pemberontakan dengan
gampang dapat diringkus.
Maka ketertutupan Jepang, kata sebagian ahli sejarah, adalah
tindakan berlebihan yang tak perlu. Hal itu melepaskan Jepang
dari suatu kesempatan: ia tak dapat memanfaatkan secara
intensif, di abad ke-17 itu, revolusi ilmu pengetahuan yang
terjadi di Eropa. Sebab sebenarnya revolusi itulah yang tengah
terjadi di kancah pergolakan agama. Tapi sayang: karena kontak
yang sampai ke Jepang pada umumnya hanya terdiri dari
orang-orang gereja (yang tak begitu mesra dengan kebangkitan
ilmu dan kebudayaan Renaissance), perspektif yang sampai ke
pandangan Jepang pun jadi lain. Eropa menjadi tak menarik.
Nah, apa yang akan terjadi dalam sejarah seandainya Jepang, yang
telah kukuh sebagai negara di abad ke-17 itu, dan juga punya
kelas penguasa yang lumayan kuat, disertai tradisi tulis menulis
yang meluas, mengambil semangat keilmuan Eropa? Barangkali sejak
awal itu Jepang telah jadi No. 1 di dunia -- tak usah menunggu
sampai menjelang akhir abad ke-20 sekarang.
Tapi dalam ketertutupan itu kontak dengan ilmu pengetahuan Barat
bukannya tidak ada. Biarpun orang asing harus hengkang dari
Jepang, pengusaha di Edo masih memperkenankan kaum "rambut
merah" (yakni orang Belanda) untuk menetap di Hirado, sebelah
Barat Kyushu, dan akhirnya ke Pulau Deshima. Kenapa? Karena
orang Jepang yakin bahwa orang Belanda yang sebenarnya
wakil-wakil VOC dari Batavia -- memang datang buat berdagang.
Buktinya telak: di tahun 1637-1638, ketika puluhan ribu orang
Kristen Jepang terpojok oleh pasukan pemerintah ke Semenanjung
Shimabara dengan putus asa, orang Belanda dengan senang hati
meminjamkan artileri mereka guna membantu pemerintah Jepang.
Memang tak ada solidaritas Nasrani di situ. Tapi orang Belanda
punya dalih: mereka, orang Protestan, tak punya simpati kepada
orang Katolik. Apalagi kepada orang-orang Portugis, musuh sengit
mereka di Timur. Dan dari segi komersial, peminjaman artileri
itu suatu investasi juga untuk dapat kepercayaan berdagang.
Di Pulau Deshima gerak orang Belanda memang dibatasi. Tapi si
"rambut merah" itu tak begitu mengeluh. Pokoknya cari duit.
Orang Jepang senang dengan sikap ini seraya mereka memanfaatkan
hal-hal asing yang menarik hati mereka. Misalnya, di antara
benda asing yang jadi koleksi itu adalah beberapa jenis buku.
Dari langkah-langkah kecil inilah kemudian tumbuh perhatian ke
prestasi keilmuan Barat yang lebih luas -- meskipun masih
terbatas pada apa yang diperoleh lewat orang Belanda di Deshima.
Umpamanya soal anatomi tubuh manusia.
Tanda perubahan sikap menghadapi pengetahuan dari luar agaknya
nampak, ketika orang Jepang mulai memisahkan pengertian
"pelajaran Belanda" (rangaku, dengan kata ran berasal dari kata
Oranda) dari pengertian "pelajaran barbar" (bangaku). Dengan
kata lain, belajar dari orang Belanda jadi sesuatu yang makin
terhormat. Dan akhirnya juga pelajarannya dari Barat pada
umumnya.
Sejarah kemudian mencatat, bahwa Jepang kemudian membuka
pintunya kembali, lebar-lebar. Menjelang akhir abad ke-19, di
bawah perlindungan Yoshinobu Tokugawa, ada seorang tokoh
antiasing, Shibusawa namanya. Tapi setelah berkunjung ke Eropa,
ia menulis: "Saya memang antiasing, tapi tanpa pengetahuan
tentang hal-hal asing. Saya kini berpendapat bahwa orang harus
mengetahui hal ikhwal dari tangan pertama sebelum ia menentang
atau mengkritiknya. Tambahan lagi, saya yakin bahwa banyak hal
yang harus kita pelajari dari negeri asing ...."
Shibusawa tidak sendiri -- bukan orang pertama dan orang
terakhir di Jepang yang bersikap seperti itu. Di tahun 1980-an
ini, di balik segala tindakan dan protes sekitar proteksionisme,
orang Jepang sebenarnya lebih menghargai mobil impor dari mobil
produksi mereka sendiri.
Dan jika kita naik bis dari bandar udara Narita ke Tokyo, kita
akan melihat di sebelah kiri, agak kejauhan, sebuah menara kuno.
Tinggi, bagaikan menara dalam cerita peri. Tapi itu memang
menara dalam taman Disneyland, yang baru dibuka. Di situ, kata
orang, semua serba Amerika. Bahkan makanan Jepang sukar
didapat..
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini