Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Jepang dan orang asing

Sikap orang jepang terhadap dunia luar, khususnya barat, dan bagaimana mereka memanfaatkannya. (sel)

14 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI medan perang itu, 3.000 tentara tegak memegang bedil. Mereka berdiri di balik tonggak-tonggak kayu. Mereka menunggu. Dari seberang sana, ratusan samurai berkuda menyerbu dengan mengacungkan tombak dan pedang. Begitu mendekat, 3.000 tentara yang menunggu itu membidik. Tembakan menggelegar. Tubuh manusia dan kuda terbanting jatuh, bergelimpangan. Medan perang bersimbah darah. Hasilnya sudah bisa diduga: mereka yang bersenjata apilah yang menang. Senjata kebanggaan tradisional para kesatria Jepang, pedang baja yang bagai sembilu itu, tak berdaya apa-apa .... Adegan itu bisa dilihat pada bagian akhir film sutradara termasyhur Akira Kurosawa, Kagemusha. Adegan itu juga bisa dibaca di buku sejarah Jepang: peperangan Nagashino di tahun 1575. Itulah hari kemenangan Oda Nobunaga, penguasa Provinsi Owari. Juga hari itu adalah hari yang menandai berubahnya cara orang Jepang berperang -- dan menunjukkan bagaimana bangsa ini, yang terkenal tertutup, pandai memanfaatkan keunggulan orang asing. Cara berperang itu sendiri sebenarnya memang sudah agak lama berubah. Di masa lampau pertempuran lebih sering terbatas pada adu kecepatan memainkan pedang di antara para samurai. Tapi perlahan-lahan taktik baru dirasa lebih. efektif: tentara biasa, orang kebanyakan yang tak dilahirkan sebagai anggota kasta tinggi itu, dengan berbaris rapat mengacukan lembing panjang, ternyata dapat mengalahkan para kesatria. Dan ketika di tahun 1543 para penguasa Jepang mulai membeli bedil berbentuk korek api dari para petualang Portugis, babak baru pun terbuka. Dengan cepat senjata bermesiu itu diproduksi oleh orang Jepang sendiri. Meskipun para samurai banyak yang menganggapnya sebagai senjata pengecut, para panglima pasukan yang cerdik tak melepaskan kesempatan itu. Bedil yang kapasitasnya makin ditingkatkan oleh para pandai besi Jepang sendiri -- dapat merobohkan musuh yang paling tangguh dari jauh. Lagipula senjata api itu dapat memenuhi kebutuhan para penguasa kecil yang selama ini tak punya dukungan samurai dalam jumlah besar. Menggunakan bedil tak memerlukan latihan yang panjang seperti halnya menggunakan pedang. Petani biasa pun dengan cepat dapat dicetak jadi prajurit yang berbahaya. Nobunaga termasuk dalam kalangan daimyo yang memerlukan tentara secara cepat, murah, dan banyak. Dan ia bukan orang yang takut kepada adat. Bahkan dia tidak takut kepada siapa pun -- termasuk para rahib Budha dan siksa akhirat. Jangkung ramping, liat, dan bersuara jernih, Nobunaga yang mencicipi kemenangan besar pertama kali ketika masih berumur 26 tahun itu dengan kasarnya bisa memperlakukan para bangsawan lain. Seorang pastor Portugis, Padrea Frois, yang menemuinya ketika Nobunaga berumur 37 tahun -- kali pertama ia menerima orang asing -- mencatat bagaimana kurang-ajarnya tokoh ini. "Dengan terbuka ia menyatakan bahwa tak ada itu yang namanya Sang Maha Pencipta, juga tak ada kehidupan abadi atau hidup setelah mati." Ia dengan tak tanggung-tanggung menghancurkan kuil-kuil Budhis, guna mendapat batu untuk membangun kastil. Rakyat Kyoto yang akhirnya ia kuasai kaget dan ngeri menyaksikan patung-patung suci itu diseret ke tempat pembangunan kastil untuk dibikin berkeping-keping. Para rahib mengunci mulut tak berdaya. Apalagi setelah Nobunaga dengan kekejaman yang khas dia mengepung Gunung Hiei, sebuah bukit besar di utara Kyoto. Sebanyak 30.000 tentara dikerahkan buat merebut wilayah suci para padri Budha itu. Dengan satu gempuran, ketujuh sekolah tinggi keagamaan yang ada di sana dibakar sampai lumat. Para rahib, wanita, dan anak-anak yang tertangkap dengan serta merta dipenggal. Tak heran bila dalam film Kagemusha kita bisa melihat bagaimana Nobunaga membiarkan bebas -- dan bahkan dapat bantuan dari para pastor Jesuit yang mulai meninggalkan pengaruhnya di Jepang. Dalam satu adegan nampak ia berangkat berperang dengan diiringi doa para pastor itu dalam bahasa Latin. Nobunaga sambil setengah mencemooh berkata, "Amen . . . ". Dia bukan Nasrani. Dia cuma mainmain -- dengan doa, Tuhan, kematian, dan adat istiadat. Dia barangkali bukan tokoh urakan yang luar biasa dalam sejarah pembaruan Jepang. Tapi jelas, dia contoh sebuah sikap yang kemudian menang dalam perkembangan bangsa ini ke arah zaman modern. Tulisan ini adalah satu fragmen dari sejarah, yang menunjukkan contoh bagaimana orang Jepang bersikap terhadap dunia luas, khususnya Barat -- dan bagaimana mereka memanfaatkannya. Tak banyak yang diketahui sebetulnya, apa yang terjadi ketika orang Jepang pertama kali bersua dengan orang asing dari Barat itu. Nampaknya pertemuan pertama adalah dengan orang Portugis. Dan tidak seperti dibayangkan oleh orang Barat dewasa ini, di abad ke-16 itu sikap orang Jepang kepada para pendatang menimbulkan kesan yang enak -- setidaknya bila kita baca catatan tokoh besar Jesuit Spanyol yang termasyhur itu, Franciskus Xaverius. Franciscus Xaverius, dengan semangat yang bernyala-nyala untuk menyebarkan ajaran Kristus ke seluruh Asia, berangkat ke Jepang dari Malaka di bulan Aprii 1549, dengan kapal orang lanun dari Cina. Ia ditemani oleh dua padri Spanyol lain serta tiga orang Jepang yang pernah diselamatkan seorang kapten kapal Portugis. Mereka sampai di bandar Kagoshima di Kyushu Selatan 15 Agustus tahun itu. Ia disambut baik oleh daimyo yang berkuasa di wilayah itu -- bahkan diizinkan mengkristenkan penduduk dengan bebas. Tak ayal, Franciscus Xaverius terkesan. "Bangsa yang kami jumpai," demikian tertulis dalam laporan Xaverius ke Goa, "sejauh ini merupakan yang terbaik di antara yang kami temukan .... Mereka sangat bertatakrama, pada umumnya berbudi dan tidak jahat. Mereka orang-orang yang dalam memegang kehormatan sangat menakjubkan, dan menghargai kehormatan di atas segala-galanya di dunia." Tapi sejauh mana orang Jepang di bandar Kagoshima itu memahami ajaran Kristus masih jadi tandatanya. Bahasa Jepang Franciscus Xaverius terbatas. Ada sebagian penulis sejarah yang menduga bahwa mungkin saja orang Jepang itu menganggap agama yang dibawa orang Spanyol itu hanyalah salah satu sekte di antara sekte Budhis yang lain. Toh antara agama Kristen dan Budha ada beberapa hal yang sama. Betapapun dangkalnya hasil pengkristenan orang Jepang di masa itu, kaum Jesuit pada umumnya dihormati oleh penduduk dan kaum aristokrat setempat. Ada yang menduga bahwa hal ini disebabkan karena kaum samurai sangat terkesan oleh disiplin yang berlaku di kalangan padri yang tersusun secara hirarkis itu -- suatu hal yang juga ada di masyarakat Jepang. Tapi ada pula yang punya teori lain. Para padri Jesuit itu, apa pun kebangsaannya, dapat deking kuat dari para pejabat dan saudagar serta pelaut Portugis. Mereka ini sangat menghormati, dan umumnya tunduk kepada para rohaniawan itu, serombongan manusia alim yang bersusah payah ke negeri jauh atas nama Jesus. Karena kapal dagang Portugis sangat penting bagi kehidupan ekonomi kota-kota pantai Jepang masa itu, para daimyo tidak ingin merusak hubungan baik yang sudah terjalin dengan mengganggu para padri Jesuit. Bahkan seorang pembesar di barat laut Kyushu kontan masuk Kristen dan diganti namanya menjadi "Dom Bartholomew". Orang Jepang yang bernama baru inilah yang kemudian memberi kaum Jesuit sebuah kampung untuk pelabuhan perdagangan dengan Portugis. Nama kampung itu Nagasaki -- yang kemudian dengan cepat jadi sebuah kota, yakni kota perdagangan dan kota Nasrani. Itu terjadi di awal abad ke-17. Di pertengahan abad ke-20, kita tahu, Nagasaki hancur luluh oleh sebuah bom dahsyat dari pesawat Amerika Serikat. Sejarah pertemuan antara orang Jepang dan orang Barat memang tidak selamanya manis. Para padri Jesuit itu bukannya tanpa musuh. Memang, para rahib Budha tak sedikit yang korup dan karenanya tak disukai rakyat, namun sebaliknya semangat para penyebar agama Nasrani di Jepang masa itu kadang berlebih-lebihan. Beberapa kali mereka menghancurkan kuil Budhis dan tempat tinggal para pendetanya. Ini menyebabkan orang-orang Budha marah, dan mereka tak jarang mendapat bantuan militer dari para daimyo yang memandang orang asing itu dengan benci. Tapi nasib buruk Gereja Katolik di Jepang tidak datang dari dalam Jepang sendiri. Nobunaga -- orang kuat dari Owari yang sangat ditakuti itu -- mati di tahun 1582. Dia dikhianati salah seorang jenderalnya: di pagi hari itu, ketika fajar baru rekah, sepasukan samurai yang tadinya setia menyerbu tempatnya menginap di Kyoto. Panah menerobos perut dan pinggangnya, tapi Nobunaga -- yang selama hidupnya gemar berlatih keterampilan perang dan ketahanan tubuh -- masih melawan. Ketika lukanya kian paran, ia pun masuk ke dalam kamarnya, mengunci pintu. Di situ, kata sebuah sumber, panglima yang angkuh itu merobek perutnya sendiri. Ia malakukan bunuh diri rituil, seppuku. Pengganti Nobunaga adalah Hideyoshi -- agaknya tokoh terbesar dalam sejarah Jepang yang lahir dari kalangan rakyat biasa, hampir 500 tahun sebelum Perdana Menteri Tanaka di zaman kita. Seperti terlukis dalam lukisan lama, ia seorang yang lancip raut mukanya, kurus tapi kuat, sebagaimana laiknya seorang perwira perang yang terus-menerus di lapangan. Ia memang naik dari prajurit biasa menjadi perwira yang paling tangguh, dan disayangi Nobunaga, orang yang kini ia gantikan. Toh penguasa yang berasal dari anak petani ini dengan gampang melupakan asal-usulnya. Atau barangkali keadaan masa itu menyebabkannya harus demikian. Hideyoshi, orang pertama yang hampir berhasil menyatukan Jepang setelah berpuluh tahun dilanda perang antar-pembesar feodal, menggencet kaum tani secara efektif. Dia penguasa pertama yang mengadakan sensus pertanian, agar hasil agraria mudah dipajak. Dia melarang orang kebanyakan itu menyimpan senjata dan bepergian tanpa izin. Ketika ia mengharuskan rakyat untuk menyerahkan senjata simpanan mereka, Hideyoshi berdalih bahwa pemerintahnya perlu logam untuk membikin sebuah patung Budha raksasa. Dalam kenyataannya, Hideyoshi yang suka membangun istana gemerlap itu adalah orang yang anti-kaum rahib, seperti juga bosnya dulu, Nobunaga. Dan sebagaimana halnya Nobunaga, Hideyoshi juga membiarkan kaum Jesuit beroperasi di wilayah Jepang yang dikuasainya. Seorang tabib Istana bahkan tertarik dan menjadi Kristen. Itu tak berarti Hideyoshi dan agama Kristen cukup akur. Penguasa yang punya banyak gundik itu mengeluh bahwa agama Kristen menentang pria yang punya simpanan perempuan dalam jumlah besar. "Seandainya ini bisa diubah," katanya suatu kali, "saya mungkin akan masuk Kristen." Tiba-tiba di tahun 1586 Hideyoshi memerintahkan untuk mengusir missi Katolik keluar dari Jepang. Tentu tidak karena perbedaan sikap mengenai gundik. Ada dugaan bahwa ini akibat kesalahan Padre Caspar Coelho, wakil pemimpin Ordo Jesuit di Jepang. Ketika Hideyoshi menyebut hasratnya menyerbu Tiongkok, dan meminta bantuan untuk menggunakan dua kapal Portugis, Padre Coelho menjawabnya terlampau bersemangat. Pemimpin Jesuit ini bukan saja menjanjikan kapal-kapal Portugis, tapi juga bantuan pasukan Portugis di India. Hideyoshi nampak senang dengan jawaban ini. Tapi pada saat itu agaknya dia tahu: kaum Jesuit itu sebuah kekuatan asing yang besar, yang tak segan-segan menggunakan senjata. Jika ia lengah, dan membiarkan mereka terlampau berkuasa, ia akan menghadapi persoalan yang berbahaya kelak. Toh pada hakikatnya Hideyoshi tak sampai melaksanakan instruksi pengusirannya sendiri dengan keras. Cuma beberapa saja dari missi Jesuit yang meninggalkan Jepang. Sisanya bersembunyi, atau menyebarkan agama secara tak menyolok. Kenapa sebenarnya Hideyoshi tiba-tiba menunjukkan sikap anti-Kristen itu? Suatu instink khas Jepang yang menolak bangsa asing? Mungkin tidak. Ada beberapa dugaan. Kini dengan Jepang yang tidak terpecah-pecah lagi oleh perang antar-provinsi, sang penguasa seperti Hideyoshi makin keras pula tuntutannya untuk memperoleh sumpah setia -- semacam monoloyalitas -- dari rakyatnya. Agama Kristen dianggapnya bisa mengganggu hal itu. Tahun 1587 berada dalam abad yang riuh rendah. Di Eropa perang antara kaum Katolik dan Protestan membakar hampir seantero benua. Agaknya orang Jepang tahu akan hal itu. Ada di antara mereka yang telah pergi ke Eropa. Sementara itu juga orang Spanyol menaklukkan Filipina di tahun 1575. Tentang ini pun orang Jepang mungkin tahu. Di Kepulauan Asia Tenggara tersebut mereka juga, waktu itu, sudah punya sebuah pos. Hideyoshi agaknya mulai awas dengan perkembangan internasional itu -- dan ia memberi isyarat agar Jepang jangan diganggu. Dalam sejarah Jepang, kaum Jesuit memang tak ingin mengganggu. Mereka pada dasarnya berkehendak damai, untuk menyebarkan agama. Tapi di tahun 1596 terjadi suatu insiden yang menentukan. Di hari itu sebuah kapal Spanyol yang besar terdampar di Pulau Shikoku. Muatannya penuh dengan barang berharga. Tak ayal para samurai dan wakil Hideyoshi di tempat itu mengklaimnya. Melihat ini perwira kapal Spanyol itu pun bereaksi dengan keangkuhan yang tipikal buat orang Spanyol di Timur abad ke-16. Ia mengancam, bila barang muatan kapal itu tak dikembalikan kepadanya, Raja Spanyol akan menaklukkan Jepang. Dia juga menyebut bahwa para padri Fransiskan -- saingan dari Ordo Jesuit -- seperti biasanya telah menyiapkan jalan bagi kedatangan pasukan Spanyol. Di situlah salahnya. Mendengar laporan tentang ucapan opsir Spanyol itu Hideyoshi murka. Tanggal 5 Februari 1597, enam padri Fransiskan dan 17 calon pastor orang Jepang disalibkan. Dalam proses itu ternyata ada "sedikit" kesalahan: tiga orang Jepang pengikut Jesuit ikut dipasang di kayu palang. Para padri Ordo Fransiskan di jepang zaman itu memang menimbulkan problem -- juga bagi kaum Jesuit. Jika para padri Jesuit yang kebanyakan orang Portugis itu lebih mencurahkan perhatian kepada kelas atas, kaum Fransiskan yang kebanyakan orang Spanyol cenderung mengkristenkan orang Jepang secara massal, dan dengan cara yang lebih agresif. Tak heran bila orang-orang Jesuit agak cemas melihat cara ini, dan mencoba menghalangi mereka datang dari Filipina ke Jepang. Tapi Hideyoshi menyambut mereka dengan baik sampai insiden di Pulau Shikoku itu. Namun puncak pengusiran orang asing dari Jepang tak terjadi di masa Hideyoshi. Perlahan-lahan, proses berjalan ke arah yang tak menguntungkan bagi orang-orang Portugis dan Spanyol, setelah Hideyoshi digantikan oleh sekutunya, Ieyasu Tokugawa, pendiri wangsa Tokugawa yang memerintah Jepang selama 300 tahun. Jika Anda membaca novel James Clavell yang termasyhur itu, Shogun, (atau menonton filmnya yang jelek di bioskop di Jakarta kini), Anda akan dapat melihat bahwa masa Ieyasu Tokugawa inilah yang jadi latar belakang cerita fantasi itu. Di tahun 1600, di Teluk Beppu di Kvushu masuk sebuah kapal aneh: di atasnya bukan orang Portugis atau Spanyol, tapi jenis orang Barat yang lain. Mereka orang Belanda. Kapal itu bernama Liefde. Jurumudinya seorang Inggris bernama Will Adams. Kisah Adams itulah kemudian yang direka-reka oleh Clavell untuk novelnya: dalam Shogun ia diberi nama Blackthorne, dan kapalnya disebut Erasmus. Adams-lah yang bercerita kepada Tokugawa (dalam novel Clavell diberi nama Toranaga) tentang peperangan Katolik dan Protestan yang penuh darah di Eropa. Dan sebagai seorang Protestan, tentu saja Adams membawakan satu versi yang sangat tidak menguntungkan kaum Jesuit atau Katolik yang lain. Apalagi orang-orang Jesuit pernah mendesak kepada para pejabat Jepang untuk membasmi orang Inggris dan Belanda yang Protestan itu dengan alasan bahwa mereka bajak laut. Tapi ternyata Tokugawa terkesan kepada Adams, dan menjadikannya sebagai penasihat. Dan dengan itu lebih banyak orang Belanda yang masuk ke Jepang, hingga mendapatkan pos perdagangan di Hirado, Kyushu. Tokugawa mungkin perlahan-lahan mulai menelan laporan tentang "bahaya"-nya para padri Katolik, terutama orang-orang Spanyol. Dulu ia mendengarnya dari para pendeta Budhis, kini dari orang Barat sendiri. Bersamaan dengan itu agaknya Tokugawa kini telah mempunyai alternatif lain bila hendak meneruskan berniaga dengan dunia luar. Ia tak hanya harus memakai jasa kapal-kapal Portugis. Adams telah membuktikan bahwa kapal-kapal Belanda pun bisa dimanfaatkan. Syahdan, di tahun 1613, beberapa orang Nasrani dihukum mati. Ternyata 30.000 orang seagama mereka menyatakan solidaritas dengan berkumpul, berdoa, dan menyanyikan lagu-lagu kudus. Di Roma zaman kuno hal itu merupakan kisah tersendiri tentang heroisme dan kesetiakawanan dalam iman. Tapi di Jepang, waktu itu, bagi Tokugawa itu merupakan provokasi. Ia mengusir semua missi asing ke luar dari kepulauan Nippon. Dan dengan sistematis titah itu dilaksanakan. Di awal abad ke-17 di Jepang sudah ada sekitar 300.000 orang Kristen. Setelah perintah pengusiran oleh Tokugawa, jumlah itu tentulah berkurang -- tapi tak banyak. Sebab Tokugawa pada dasarnya tak hendak membasmi agama Kristen itu sendiri meskipun ia juga memerintahkan agar semua orang Nasrani Jepang masuk agama Budha. Tokugawa toh tidak dapat memaksakan keyakinan, biarpun dengan ancaman pedang. Dan dia pun kemudian yakin bahwa tanpa para padri asing, rakyat Jepang yang Kristen itu tak akan membahayakan kekuasaannya. Malangnya, Tokugawa yang pertama digantikan dengan Tokugawa yang berikutnya. Generasi baru ini ternyata lebih keras. Iemitsu Tokugawa -- yang merupakan shogun Tokugawa ketiga -- tampil sebagai penguasa di tahun 1623. Sepuluh tahun kemudian ia mengeluarkan apa yang disebut Titah Pengucilan. Dengan itu Jepang diputus dari dunia luar. Rakyat dilarang berlayar ke luar negeri. Kapal besar yang mampu melintasi samudra tak boleh dibikin. Siapa saja yang pernah tinggal di luar negeri untuk suatu waktu tertentu -- dan dianggap telah "najis" -- dilarang pulang kembali ke tanah air. Kalau pulang, dipancung. Titah Pengucilan inilah agaknya yang menyebabkan orang luar, sampai kini pun, menganggap bangsa Jepang sebagai bangsa yang mudah tertutup terhadap orang asing. Tapi toh ada ahli sejarah yang mengatakan bahwa seandainya Jepang tidak ditutup waktu itu, negeri itu akan jadi jajahan orang Barat. Bukankah banyak negeri Asia jadi sasaran perdagangan, dan akhirnya jadi koloni? Ketika Titah Pengucilan dikeluarkan, di Jawa, misalnya, kerajaan Mataram memang sedang berusaha juga menutup pintu bagi Belanda -- dan gagal. Tapi ada juga yang mengatakan, bahwa tertutupnya Jepang dari Eropa waktu itu merugikan Jepang sendiri. Berbeda dengan banyak negeri lain di Asia, waktu itu dari Tokyo (dulu Edo namanya) sudah berkembang suatu pemerintahan nasional dengan pusat yang kuat. Jadi sebenarnya Jepang tak perlu takut. Dinasti Tokugawa toh telah menjadikan Jepang suatu "negara polisi". Semua orang diawasi ketat, dan gejala penyusupan atau pemberontakan dengan gampang dapat diringkus. Maka ketertutupan Jepang, kata sebagian ahli sejarah, adalah tindakan berlebihan yang tak perlu. Hal itu melepaskan Jepang dari suatu kesempatan: ia tak dapat memanfaatkan secara intensif, di abad ke-17 itu, revolusi ilmu pengetahuan yang terjadi di Eropa. Sebab sebenarnya revolusi itulah yang tengah terjadi di kancah pergolakan agama. Tapi sayang: karena kontak yang sampai ke Jepang pada umumnya hanya terdiri dari orang-orang gereja (yang tak begitu mesra dengan kebangkitan ilmu dan kebudayaan Renaissance), perspektif yang sampai ke pandangan Jepang pun jadi lain. Eropa menjadi tak menarik. Nah, apa yang akan terjadi dalam sejarah seandainya Jepang, yang telah kukuh sebagai negara di abad ke-17 itu, dan juga punya kelas penguasa yang lumayan kuat, disertai tradisi tulis menulis yang meluas, mengambil semangat keilmuan Eropa? Barangkali sejak awal itu Jepang telah jadi No. 1 di dunia -- tak usah menunggu sampai menjelang akhir abad ke-20 sekarang. Tapi dalam ketertutupan itu kontak dengan ilmu pengetahuan Barat bukannya tidak ada. Biarpun orang asing harus hengkang dari Jepang, pengusaha di Edo masih memperkenankan kaum "rambut merah" (yakni orang Belanda) untuk menetap di Hirado, sebelah Barat Kyushu, dan akhirnya ke Pulau Deshima. Kenapa? Karena orang Jepang yakin bahwa orang Belanda yang sebenarnya wakil-wakil VOC dari Batavia -- memang datang buat berdagang. Buktinya telak: di tahun 1637-1638, ketika puluhan ribu orang Kristen Jepang terpojok oleh pasukan pemerintah ke Semenanjung Shimabara dengan putus asa, orang Belanda dengan senang hati meminjamkan artileri mereka guna membantu pemerintah Jepang. Memang tak ada solidaritas Nasrani di situ. Tapi orang Belanda punya dalih: mereka, orang Protestan, tak punya simpati kepada orang Katolik. Apalagi kepada orang-orang Portugis, musuh sengit mereka di Timur. Dan dari segi komersial, peminjaman artileri itu suatu investasi juga untuk dapat kepercayaan berdagang. Di Pulau Deshima gerak orang Belanda memang dibatasi. Tapi si "rambut merah" itu tak begitu mengeluh. Pokoknya cari duit. Orang Jepang senang dengan sikap ini seraya mereka memanfaatkan hal-hal asing yang menarik hati mereka. Misalnya, di antara benda asing yang jadi koleksi itu adalah beberapa jenis buku. Dari langkah-langkah kecil inilah kemudian tumbuh perhatian ke prestasi keilmuan Barat yang lebih luas -- meskipun masih terbatas pada apa yang diperoleh lewat orang Belanda di Deshima. Umpamanya soal anatomi tubuh manusia. Tanda perubahan sikap menghadapi pengetahuan dari luar agaknya nampak, ketika orang Jepang mulai memisahkan pengertian "pelajaran Belanda" (rangaku, dengan kata ran berasal dari kata Oranda) dari pengertian "pelajaran barbar" (bangaku). Dengan kata lain, belajar dari orang Belanda jadi sesuatu yang makin terhormat. Dan akhirnya juga pelajarannya dari Barat pada umumnya. Sejarah kemudian mencatat, bahwa Jepang kemudian membuka pintunya kembali, lebar-lebar. Menjelang akhir abad ke-19, di bawah perlindungan Yoshinobu Tokugawa, ada seorang tokoh antiasing, Shibusawa namanya. Tapi setelah berkunjung ke Eropa, ia menulis: "Saya memang antiasing, tapi tanpa pengetahuan tentang hal-hal asing. Saya kini berpendapat bahwa orang harus mengetahui hal ikhwal dari tangan pertama sebelum ia menentang atau mengkritiknya. Tambahan lagi, saya yakin bahwa banyak hal yang harus kita pelajari dari negeri asing ...." Shibusawa tidak sendiri -- bukan orang pertama dan orang terakhir di Jepang yang bersikap seperti itu. Di tahun 1980-an ini, di balik segala tindakan dan protes sekitar proteksionisme, orang Jepang sebenarnya lebih menghargai mobil impor dari mobil produksi mereka sendiri. Dan jika kita naik bis dari bandar udara Narita ke Tokyo, kita akan melihat di sebelah kiri, agak kejauhan, sebuah menara kuno. Tinggi, bagaikan menara dalam cerita peri. Tapi itu memang menara dalam taman Disneyland, yang baru dibuka. Di situ, kata orang, semua serba Amerika. Bahkan makanan Jepang sukar didapat..

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus